36. Sahabat

60 4 0
                                    

"Persahabatan yang sesungguhnya adalah disaat kita bisa menumpahkan semua masalah kita tanpa rasa ragu."

RISMA POV

Aku sedang berada di kantin bersama dengan kedua sahabatku. Kemarin, aku dan Dita mengurungkan niat kami untuk pergi menjenguk Arra sepulang sekolah. Tentu saja hal itu karena Yovan yang tiba-tiba datang dan langsung menyatakan perasaannya kepadaku. Aku jadi harus bertengkar hebat dengannya sampai-sampai aku tak sanggup lagi untuk bernafas karena dadaku terasa sesak. Aku menangis sejadi-jadinya sampai aku lupa bagaimana cara memasukkan oksigen kedalam tubuhku di sela-sela air mataku.

Aku masih diam memperhatikan Dita yang masih menginterogasi Arra. Aku sama sekali tidak mood untuk mengatakan satu patah kata pun. Karena pikiranku masih terngiang kejadian kemarin. Ditambah papaku yang akhir-akhir ini terus memaksaku akan hal yang sama sekali tidak aku sukai. Hal itu juga yang membuatku mundur dengan perasaanku. Aku benci hal itu.

"Ya ampunnn!!! Sumpah ya, lo itu gila tau nggak! Kita disini panik mikirin lo yang sama sekali gak ada kabar eh malah lo nya colut bareng pacar ke taman." Omelan Dita kepada Arra. Arra sudah menceritakan alasan dia tidak masuk ke sekolah kemarin. Dita yang sedari tadi lebih fokus langsung mengomeli Arra habis-habisan.

"Hehe.. iya sorry. Lain kali nggak gitu lagi kok."

"Eh monyet! Kita tuh khawatir tau nggak sama lo! Ye gak Ris?"

Aku sedikit terkejut mendengar Dita seperti memanggilku. "Ha?" Aku menjawabnya bingung karena sedari tadi aku kurang fokus dengan pembicaraan mereka.

"Arghh.. dari tadi lo nggak dengerin gue? Budek amat lo!" Dita menampakkan wajah kesalnya kepadaku.

"Lo kenapa Ris?" Kini giliran Arra yang sudah mulai kepo denganku.

"Nggak papa kok."

"Masih mikirin Yovan lo? Udah lah, salah siapa kemaren malah di tolak. Udah tau saling cinta, tinggal terima aja susah. Sekarang? Galau kan lo!" Omel Dita. Aku hanya bisa menunduk.

"Apa? Yovan kemaren nembak lo? Kok gue nggak tau?"

"Ya iya lah! Lo kan lagi pacaran sama Gibran."

"Enggak kok. Mungkin kemaren Yovan cuman salah ngomong. Ngaco dia." Aku tertawa. Pastinya dengan tertawa yang di buat-buat.

"Ha ha ha, garing" bantah Dita.

"Yovan itu sodara gue. Gue tau dia nggak pernah main-main soal apapun. Lo tolak dia karena lo masih ngurusin soal perbedaan nggak penting itu Ris? Ris, Yovan itu manusia. Lo tau semua manusia nggak ada yang sempurna. Lo nggak bisa nuntut sesuatu yang sama persis seperti apa yang lo mau. Lo liat Gibran, anak satu sekolah juga tau kalo Gibran nggak sempurna. Bahkan kalo dibandingin Yovan itu lebih sempurna dari Gibran. Tapi gue bisa terima dia apa adanya. Kenapa? Karena kebahagiaan hati gue ada di Gibran. Sama kayak lo dan Yovan, lo nggak boleh egois Ris!"

Aku menghela nafas pelan.

"Kalo kalian berpikir gue nolak Yovan karena perbedaan, kalian salah. Gue udah singkirin semua pikiran gue tentang perbedaan itu semenjak gue sadar kalo ada sesuatu tumbuh dalam hati gue. Yaitu cinta. Gue cinta sama Yovan. Tapi keadaan lain memaksa gue buat tetep menjauh dari dia supaya dia nggak tersakiti karena hal itu."

Hati Ini Juga MilikmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang