16. Nggantung

81 8 0
                                    

"Terbang enggak, Jatuh juga enggak"

Sepulang sekolah, Arra nglembur bareng kakaknya untuk belajar bermain gitar. Ia memilih untuk memainkan alat musik gitar dalam musikalisasi puisinya nanti. Karna dulu dia lebih hebat di gitar daripada piano. Jadi sekarang hanya tinggal mengingatkan sedikit saja kunci-kuncinya, dibantu oleh kakaknya. Baru sebentar memegangnya, ia langsung mahir sama seperti dulu. Gitar membuatnya throwback ke masa lalu.

Dia seperti melihat semua kenangan manis pahit di masa-masa gitar sebagai temannya dulu. Ingin rasanya kembali, tapi kembali hanya akan membuatnya semakin sulit.

Keesokan harinya, dia sudah siap untuk mengikuti sebuah gladi bersih H-1 perlombaan. Disana para peserta akan di bagi menjadi beberapa pasangan secara acak. Mengingat tak semua peserta yang mengajukan diri bisa bermain musik sekaligus membaca puisi secara bersamaan.

Istirahat pertama seluruh perwakilan lomba diminta berkumpul di ruang kesenian. Arra datang ke ruangan itu lebih awal. Belum ada orang sama sekali disana. Kesempatan bagus untuk Arra. Ia bisa sedikit melemaskan jari-jarinya lagi setelah semalaman berlatih. Ia sedikit gugup. Berbeda dengan Arra yang dulu selalu percaya diri.

ZAHRA POV

Saat aku mulai memetik senar gitarku, aku melihat ada seseorang yang berdiri di depan pintu, dan sedari tadi memperhatikanku. Dia melangkah masuk. Tak pernah kusangka dia akan duduk di sebelahku. Aneh, tapi aku menyukainya.

"Lo bisa main gitar?" Tanya Gibran.

"Ah mmm.. sedikit."

"Udah jago tuh."

"Hehe.. dulu emang suka main gitar. Sekarang udah enggak."

"Kenapa? Bakat kok di pendem."

"Emm.. ada sesuatu yang bisa bikin hati gue sakit tiap main gitar sekarang."

"Gitar bikin lo flashback?"

"Ya gitu deh. Lo sendiri ngapain disini? Lo ikut lomba ini juga?"

"Gue di paksa."

"Lo mau ngapain?"

"Baca puisi."

Aku membelalakkan mataku tak percaya. Gibran sang pencipta puisi? Dia bisa? Sejak kapan? Kenapa baru tau?

"Kok lo nggak cerita kali bisa bikin puisi."

"Nggak penting. Gue juga udah lama nggak nulis."

"Alasannya?"

"Kurang lebih sama kayak lo. Ada kenyataan pahit yang bikin gue males nulis."

"Gue ngerti. Good luck."

"Too."

Aku suka Gibran yang seperti ini. Aneh, terkadang dia dingin, tiba-tiba di juga bisa lembut. Mungkin memang kemarin aku terlalu terburu-buru untuk bertanya. Harusnya aku tau kalau dia belum mau diganggu.

Tak lama kemudian ruangan di penuhi para perwakilan masing-masing kelas. Disusul oleh Pak Radit selaku guru bahasa Indonesia sebagai guru pembimbing. Ada juga salah satu penulis puisi terkenal di Indonesia.

"Abis ini, ada yang mau gue omongin ke elo. Plis jangan nolak." Bisik Gibran.

Aku hanya mengangguk. Aku penasaran dengan apa yang akan Gibran katakan. Duh pikiranku jadi kemana-mana.

Selesai penyuluhan saatnya pembagian tim. Aku dan Gibran dipasangkan sebagai satu tim gabungan dari XI IPA 2 & XI IPA 5. Aku senang kami menjadi satu rekan. Akan lebih mudah nantinya kalau sama Gibran. Apalagi saat mengetahui bahwa sebenarnya dia adalah seorang penulis puisi yang handal.

Pulang sekolah aku menunggu Gibran di gerbang sekolah. Dia bilang ada yang ingin ia bicarakan denganku. Jadi deg-degan. Tapi nggak boleh GR juga sih.

"Udah lama nunggu?"

"Baru kok."

"Sorry."

"Nggak papa"

"Bukan. Gue nggak jadi ngomong sekarang. Gue minta maaf. Hari ini nyokap gue sakit. Gue harus balik cepet. Besok aja ya."

"Apa? Nyokap lo sakit?"

"Iya." Jawabnya sambil menundukkan kepala. Nampaknya Gibran sangat menyayangi ibunya.

"Gue ikut."

"Hah?"

"Gue mau ikut. Gue pengen jenguk mama lo. Pliss izinin gue buat ikut ya."

"Yaudah."

Aku pergi bersama dengan Gibran menuju rumahnya. Ternyata rumahnya lumayan dekat dengan rumahku.

Aku memasuki ruang utama lalu menuju ke kamar tante Ranti, mamanya Gibran. Tante Ranti tampak sangat pucat. Badannya panas. Dia demam.

"Tante, cepet sembuh ya."

"Iya, makasih ya sayang ya."

"Iya tante, sama-sama. Tante nggak boleh sakit. Kalo tante sakit, Gibran juga sakit, aku juga jadi ikutan sedih lihat tante pucat kayak gini. Jangan sakit lagi ya tante."

"Iya manis. Tante pasti sembuh."

Terkadang hatiku merasa sangat senang diperlakukan seperti anak sendiri oleh tante Ranti. Serasa kayak dirumah sama mamaku sendiri. Hangat.

"Ma, makan dulu ya, aku suapin." Tawar Gibran

"Iya"

Setelah selesai menyuapi mamanya, gibran lalu menidurkan mamanya. Setelah mamanya tertidur, ia mencium kening mamanya, membisikan kata yang manis, dan mengantarku pulang.

"Udah sampek."

"Maksih bran."

"Gue juga makasih, udah mau jengukin nyokap gue. Makasih ya."

"Iya."

"Bran,"

"Apa?"

"Sebelumnya maaf kalo pertanyaan gue nantinya bikin lo badmood sama gue. Tapi gue perlu tau bran. Kediaman lo itu nggak bikin gue lega. Plis lo jawab. Lo tuh sebenernya marah sama gue, apa baik-baik aja sama gue? Kenapa sikap lo gampang banget berubah sih? Kadang lo bikin gue terbang, kadang juga lo bikim gue jatuh. Tapi hari ini, lo nggantungin gue. Posisi gue sama lo disini tuh ngambang. Gue butuh kepastian. Plis kasih gue jalan terang. Biar kita sama-sama tau gimana."

"Iya. Gue salah. Gue tau. Gue nggak punya kebranian buat ngomong sama lo. Nggak kayak gini gue seharusnya. Maafin gue yang udah nggantungin lo. Gue nggak bisa jelasin sekarang. Besok gue jelasin semuanya. Sekarang lo pikirin aja gimana kita tampil besok. Gue nggak mau lo jadi nggak fokus sama perlombaan ini gara-gara masalah ini. Gue harap lo ngerti."

"Iya. Makasih udah mau jelasin. Lo jangan dingin lagi ya sama gue. Gue nggak suka."

"I-iya. Gue balik dulu."





BUDAYAKAN VOTE DAN COMMENT READERS
❤❤❤💜❤❤❤

Hati Ini Juga MilikmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang