Pemakaman
Sasuke x NarutoHujan masih mengguyur desa Konoha saat rombongan para pengantar jenazah tiba di pemakaman. Artinya, langit turut bersedih pada kematian orang ini.
Pengantar berdiri di dataran rendah melingkari liang lahat yang di persiapkan untuk tempat peristirahatan terakhir jenazah ini. Sosok pemuda tampan, perhatian, dan pantang menyerah.
Mendiang selalu berusaha menunjukan yang terbaik, terlebih pada keluarganya. Klannya.
Neji Hyuuga, tiba di peristirahatannya yang terakhir.
Peti mati di masukan. Jeritan Rock Lee dan Tenten menggema menyayat hati. Memilukan. Hujan mengguyur deras. Sahabatnya terkubur disana. Selamanya.
.
Malam beranjak naik saat hujan berubah gerimis dan udara di Konoha tiba-tiba dingin mencekam.
Tak ada suara jangkrik atau serangga lainnya malam ini. Seluruhnya berkabung untuk Hyuuga Neji.
Naruto duduk termangu pada dipan di flat kecilnya. Matanya bergetar mengingat peristiwa kepergian seorang sahabat untuk selamanya. Belum apa-apa dia sudah rindu pada pemuda berambut panjang itu.
Angin malam meniup jendela kayu hingga terbuka. Naruto tersentak kaget. Berjalan gontai berniat menutup kembali jendela itu.
Tangannya di cengkeram.
Sedetik dia bersiaga pada apa yang ada di luar sana. Tapi urung, saat dilihatnya seseorang tersenyum tipis disana. Berdiri di balkon dengan tubuh hampir kuyup.
"Sasuke, apa yang kau lakukan disini?"
Sasuke, orang yang berdiri disana, masih memegang tangan Naruto. Sedikit menariknya agar Naruto mau keluar dari kamar. Tapi si pirang bertahan.
"Kau saja yang masuk, di luar hujan. Aku tidak mau kita sakit nanti."
Naruto balik menarik tangan putih porselen itu masuk kedalam kamarnya. Sasuke menurut tanpa kata.
Mereka duduk di karpet di depan televisi jadul yang mengeluarkan suara kresek kresek khas-nya.
Sasuke masih berdiam tidak memulai pembicaraan. Dia sibuk memerhatikan sahabatnya yang berhasil meyakinkan ia untuk kembali ke desa ini.
Naruto senang akhirnya Sasuke mau kembali ke tempat ini mengingat dirinya yang berjuang mati-matian membujuk sahabat raven-nya itu untuk pulang namun tidak pernah di gubris. Malah di ancam kematian.
Sekarang, malam ini sahabatnya, Sasuke ada disini, di desa ini, di kamarnya. Di hadapannya.
"Dobe,"
"Hm?"
Suasana hening malam ini membuat suara keduanya jernih tanpa distraksi. Sasuke tidak menjawab.
Ah, andai saja Sakura ada disini. Gadis itu pasti senang karena orang yang di sukainya ada disini. Semakin tampan dan dewasa saja orang ini.
Biji obsidian Sasuke masih melekat pada wajah sahabatnya. Perasaan yang telah dia kubur selama ini tiba-tiba muncul kembali. Dia tidak akan membohongi dirinya sendiri lagi. Tidak akan.
"Sayang sekali Sakura dan Sai tidak disini. Mereka akan senang mengobrol denganmu." Naruto tersenyum menghangatkan suasana.
Sasuke membenarkan duduknya, kali ini dia melihat gambar runyam televisi.
"Kudengar Lee dan Tenten tidak berhenti menangis," Sasuke menginfokan. Kebetulan dia melewati rumah guru Guy tadi saat di perjalanan menuju kemari.
"Wajar saja," sambil duduk Naruto meregangkan tubuhnya. "Sahabatnya meninggal, mereka tidak bisa begitu saja menerimanya. Bukankah kau juga akan begitu, Sasuke?" Naruto menoleh pada Sasuke yang menatapnya intens.
"Hanya saja kau tidak mungkin menangis, teme." Naruto tertawa hambar. Lalu kepalanya menoleh pada si sahabat yang hanya duduk tanpa banyak bicara.
"Kau tidak akan menangis kan, Sasuke." Naruto tiba-tiba penasaran. Dahinya mengernyit. Sasuke menoleh padanya.
"A-apa yang akan kau lakukan jika aku meninggal?" Naruto bertanya dengan bimbang, dia tidak tahu topik apa yang pas untuk di bicarakan pada malam seperti ini.
Sasuke bergeming. Menatap lurus pada biji safir di depannya. Angin berhembus lembut membelai surai mereka dari arah jendela yang tidak sempat di tutup.
Naruto balik menatap. Dia ragu, apa dia salah bicara kali ini. Kenapa sahabatnya itu diam saja. Oh, jelas pasti Sasuke tidak mau menjawab pertanyaan bodoh seperti itu. Mulut kurang ajar.
Naruto mendengus, dia siap tertawa hambar untuk menetralkan suasana, saat tiba-tiba Sasuke bergerak ke arahnya.
"Berat, dobe," suara berat Sasuke menggema ruangan. "Aku tidak bisa melanjutkan hidup jika kau tak ada. Tidak lagi."
Naruto tidak ingin percaya ucapan itu jika dirinya tidak segera di tarik ke dalam pelukan hangat si Uchiha bungsu. Naruto membeku.
Si pirang bersumpah, baju yang di kenakan Sasuke tadi basah tapi kenapa pelukannya bisa sehangat ini. Mata birunya nanar menerawang udara kosong.
"Sa-Sasuke----"
Sasuke menggeleng ribut.
"Jangan lagi tanyakan hal yang tak sanggup aku jawab, Naruto!" pelukan mengetat, Sasuke melirih tegas.
Seperti tersihir Naruto mengangguk yakin tidak mau kehilangan lagi sahabatnya.
Gerimis masih setia. Konoha seperti menjeda kehidupannya. Membiarkan kedua pemuda itu melepas kerinduan yang telah lama menumpuk.
Janji keduanya, mereka tidak akan pernah melepas--lagi--satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubuk Racun
FanfictionKumpulan cerita tidak jelas, absurd, dan plesetan kurang kreatif. Sebaiknya baca dengan kepala dingin, tidak sedang emosi, tidak sedang lapar, atau menahan kencing. Mohon maaf bila ada kesamaan ide dan jalan cerita, anggap aja kebetulan, oke..