Sutradaraku
Sasuke x Naruto"CUT..!" untuk ke sekian puluh kalinya Sasuke berteriak.
Pria raven itu bangkit dari kursinya. Berjalan cepat ke arah beberapa orang yang tengah berkumpul di tengah studio.
Lampu studio latihan hari ini terang benderang. Backround gambar untuk keperluan latihan teater terbentang apik di setiap dinding studio. Naruto berdiri di sana. Bersama beberapa artis teater lainnya.
Anak baru gede itu mendongak mendapati sang sutradara berdiri gusar di hadapannya.
"Kau, bocah dekil!" telunjuk panjang Sasuke menunjuk wajah Naruto. "Berapa lama kau ikut teater ini, ha?" Sasuke berkacak pinggang sombong, "kemarin sore? Tadi malam?" pria dengan tinggi dan bentuk badan proporsional itu membungkuk di hadapan Naruto yang tingginya hanya seperutnya.
"Berapa tahun umurmu? Tujuh, lima, jangan-jangan baru lahir tadi pagi. Kenapa kau bego sekali, Naruto-dobe."
Naruto tidak menjawab ucapan kasar si sutradara yang sedang marah besar. Ini sudah biasa. Bocah pirang berusia empat belas tahun itu sudah terlalu kebal dengan amukan Sasuke. Sutradara sekaligus orang tua asuhnya itu.
Dulu, saat usia Naruto tujuh tahun, dirinya yang yatim piatu sejak lahir tidak memiliki siapapun. Naruto kecil hidup menggelandang dari satu kota kecil ke kota lainnya. Saat itu Konoha baru saja pulih dari perang besar. Seluruh kota sibuk berbenah diri. Tidak ada waktu mengurusi bocah-bocah malang yang tidak memiliki apapun seperti Naruto.
Saat itu di Konoha sedang tren pementasan teater. Naruto sering melihat papan iklan pementasan di dinding gedung teater. Tidak sedikitpun berharap akan bisa menonton salah satupun dari judul yang terus berganti setiap minggunya.
Warga Konoha menyambut baik pementasan teater ini untuk hiburan dan kemajuan perfilman tanah air.
Suatu hari Naruto di suruh membersihkan sampah-sampah yang berserakan di gedung teater, dengan bayaran satu kotak nasi sisa. Bocah itu sangat gembira dan mau membantu membersihkan sampah yang menggunung dalam gedung itu.
Yang ia tidak tahu bahwa dia bekerja hanya sendirian membersihkan kolong-kolong bangku penonton beserta panggung besarnya. Tapi dasarnya Naruto anak polos dan sabar, ia menerima pekerjaan itu dengan semangat.
Tangan mungilnya menggenggam sapu dan di bahunya tersampir lap basah untuk membersihkan ceceran air minum atau tumpahan makanan berkuah di lantai atau kursi penonton.
Saat itu malam sudah hampir larut. Di luar sangat dingin, dan Naruto belum menyelesaikan separuh dari pekerjaannya.
Wajah berkumisnya sangat kotor karena debu. Bajunya lusuh sebab hanya itulah satu-satunya miliknya. Rambut jabriknya juga kumal sebab tidak di cuci berhari-hari. Badannya juga bau karena seharian berkutat dengan sampah.
Malam itu, lampu gedung teater sudah di matikan. Naruto yang sedang menyapu panggung tidak menyadari seseorang sedang duduk dan membaca berkas-berkas di salah satu bangku penonton.
Ialah Uchiha Sasuke. Sutradara terkenal di Konoha. Sudah jadi kebiasaan sang direktor untuk pulang belakangan setelah semua artis dan kru pendukung acara pulang terlebih dahulu.
Lelaki berumur dua puluh enam tahun itu sedang sibuk dengan urusan naskah di tangannya saat mata lelahnya ia alihkan ke seberang tempatnya duduk. Di sanalah pandangan mereka bertemu.
Hanya sesaat dan dalam keremanga. Sebab hanya di atas panggunglah lampu masih menyala terang benderang menearangi si bocah dekil yang sedang bersusah payah mengangkut satu kantong besar sampah panggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubuk Racun
Fiksi PenggemarKumpulan cerita tidak jelas, absurd, dan plesetan kurang kreatif. Sebaiknya baca dengan kepala dingin, tidak sedang emosi, tidak sedang lapar, atau menahan kencing. Mohon maaf bila ada kesamaan ide dan jalan cerita, anggap aja kebetulan, oke..