11

34.5K 523 19
                                    

Setelah beberapa saat, Dita berhenti menangis dan diam tidak mengomel lagi. Capek mungkin atau jangan-jangan lapar. Dia, kan, paling tidak tahan lapar. Ini sudah jam makan siang. Apalagi sejak tadi tenaganya terkuras.

Aku membersihkan pecahan-pecahan barang yang dibanting oleh siluman gagak saat sedang marah tadi. Yah,  hitung-hitung sebagai penebusan dosa. Lagian, kan, berbahaya jika tidak dibersihkan. Takut kena kaki, bisa terluka nanti. Juga untuk menghilangkan jejak-jejak pertengkaran kami pada Aya.

Dan benar saja, baru saja selesai membersihkan beling-beling yang terserak, Aya datang bersama  Izzil, adikku satu-satunya yang sudah pulang dari tempat tugas.

Izzil bertugas di daerah terpencil sebagai guru. Dan sekarang memasuki masa libur sekolah jadi dia  pulang. Aku menyambutnya dengan gembira.

"Dek, kapan datang?" tanyaku sambil merentangkan kedua tangan, memeluk adik kesayangan.

"Sebenarnya kemarin, sih, Mas. Aku izin pulang dulu. Karena masih capek ya, istirahat di rumah. Mbak Dita mana?"

Waduh, dia langsung tanya kakak ipar kesayangannya. Tidak mungkin terus terang padanya. Bisa-bisa dilaporin sama Ibu. Jangan sampai Ibu tau, bisa berabe. Aku harus cari alasan yang pas. Izzil ini tidak seperti istriku, dia wanita yang cerdas dan cerdik.

"Di kamar nggak enak badan," jawabku sekenanya. Hanya itu yang terlintas di otak. Semoga dia percaya saja.

"Oh, pantes tokonya tutup," sahutnya sambil mengutak-atik hapenya.

"Sana makan dulu kebelakang. Tadi pagi Mbak Dita, kayaknya masak sayur kesukaan kamu, tuh," ucapku sambil beranjak ke meja makan. Padahal itu trik secara halus mengalihkan perhatiannya.  Dan untuk sementara berhasil. Izzil mengikutiku.

"Mas, Aya tak bawa ke rumah aku, ya. Biar nginep  beberapa hari," ucapnya sambil mengunyah makanan.

"Jangan!" tolakku cepat.

"Kenapa? Jahat, ih." Dia memanyunkan bibirnya tanda kecewa.

"Pokoknya jangan!" Aku tak bisa menjelaskan alasannya. Bahwa Aya itu senjata pamungkas untuk mendamaikan aku dan Dita yang sedang ngambek.

"Tapi Aya mau ikut, Pa. Aya mau maen sama adek Nisa dan Silvi. Disini bosen, nggak ada temennya. Papa kerja, Mama di toko," protes Aya dari depan tivi. Rupanya dari tadi dia menyimak pembicaraan kami.

"Tuh denger." Izzil tersenyum penuh kemenangan.

Sudah kebiasaan adikku dari kecil, setelah makan langsung mencuci piring bekas makanan. Begitu pula saat ini. Dan ketika membuang tulang ikan dia memperhatikan tempat sampah di dapur. Perasaanku jadi tidak enak.

"Ehmmm... Mas, abis berantem sama Mbak Dita, ya? Hayo ngaku!!" tandasnya, membuatku tak bisa mengelak.

Aku mendengus kesal, sebagai jawaban 'ya'. Dia filingnya kuat. Apa karena lama di pedalaman, hingga ia punya ilmu kebatinan?

"Aya, siapin baju-bajumu, Tante mau menemui Mamamu dulu ya!" teriak Izzil dari dapur. Aya yang mendapat komando, langsung melesat ke kamarnya.

Izzil mengetuk pintu kamar, Dita membuka dan menghambur ke pelukan Adikku. Ahh... dua wanita itu memang cocok. Sudah dapat di pastikan kalau siluman gagakku pasti curhat tentangku yang didramatisir.

Satu jam kemudian.

"Te, Ayo!!! Kapan berangkat?" teriak Aya dari depan tivi merasa bosan. Sebentar kemudian Izzil keluar kamar dengan lirikan dan seringai mengerikan.

"Sayang, pamit dulu sama Mama, dikamar, gih," pintanya pada Aya.

Adik kesayanganku mendekatiku. Ia pamit pulang.
"Jangan macem-macem sama perempuan. Kalau gak mau... heeekk," bisiknya sambil mengisyaratkan seperti orang hendak memotong leher dengan tangannya. Aku hanya menelan ludah, bisa mampus beneran kalau si kancil ini bergabung dengan siluman gagak. Kemudian dia berlalu dari rumah sambil terkekeh melihat ekspresiku.

Sialan!!! Dimana-dimana solidaritas perempuan teraniaya memang kuat, ya. Harusnya adikku membela kakaknya, malah membela iparnya. Shit!!!

----------

Seharian Dita tidak keluar kamar, juga tidak makan. Berhibernasi mungkin dia. Tapi kasihan juga, kalau telat makan nanti dia sakit. Kalau sakit kan aku juga yang repot. Arrrgghhh

"Ma, makan dulu yuk," bujukku. Dia menepis tanganku dengan kasar.

Aku menghela napas, keluar ke dapur dan mengambil sepiring nasi lengkap dengan lauknya, tak lupa dengan segelas air.

"Ma, yuk makan dulu. Ayo ini, aku suapin ya," bujukku sekali lagi dengan manis. Berharap dia akan luluh. Seumur-umur, baru kali ini aku mau nyuapin dia. Kalau keadaan normal, sih, ogah.

Dia berbalik dan menatap sinis, aku menyodorkan sendok. Tapi sesaat kemudian dia mendorongku dan menepis makanan yang ada di tanganku dan.... Prraaangggg. Pecah dan berantakan lagi. Huffttt...

Aku terkesiap melihat reaksinya. Tak menyangka, Ditaku yang manis dan polos bisa semarah itu. Kilatan amarah di matanya terlihat menyala-nyala. Aku berusaha meredam emosiku yang mulai tersulut. Marah sih marah tapi bisa kan, tidak membuang makanan seperti itu. Apalagi niatku tulus.

Aku kembali kebelakang, mengambil sapu dan cikrak untuk membersihkan makanan dan pecahan piring. Lalu mengepel lantai. Berapa piring lagi yang harus pecah? Capek juga ya....

Setelah bersih, ku kembalikan sapu dan cikrak pada tenpatnya. Terlihat Dita sedang duduk termenung di kursi taman belakang rumah.

"Ma, kok di sini? Ayo masuk!" ajakku, dia tidak menjawab hanya menggeleng lemah. Tatapannya kosong, wajahnya kuyu, rambutnya awut-awutan, dan dasternya itu lo. Haduh. Horor juga ya, lihat dia seperti ini. Kayak orang kesambet.

Katanya, orang yang lagi tertekan karena masalah dan hanya diam mudah dirasuki setan. Di tambah lagi angin malam dan suara burung hantu di belakang rumah menambah suasana horor. Aku harus mengajaknya terus bicara, biar tidak ditempeli  setan.

"Mama mau makan apa? Ayo ngomong, aku belikan. Atau mau makan di luar? Yuk, mumpung masih jam sepuluh," ucapku basa-basi.

Dia tidak merespon. Duh, jangan-jangan bener nih. Kerasukan. Biasanya dia akan meloncat kegirangan jika aku ajak makan. Tapi kali ini, not responding.

"Ma, jangan gini terus dong, ayo bilang Mama mau apa, nanti aku turutin semuanya. Janji," bujukku dengan gaya meyakinkan.

Dita menoleh, yes!!!

"Semua?" tanyanya merespon.

"Tentu," sahutku penuh keyakinan.

"Aku mau cerai," ucapnya tegas.

Ya Tuhan. Apa-apaan ini? Dia minta cerai. Tidak-tidak. Dalam kamus Andre tidak ada yang namanya perceraian. Harus cari cara untuk membujuknya.

Jika aku sampai bercerai, di mana lagi bisa dapat wanita seperti Dita yang manis dan polos. Yang lebih cantik sih, banyak. Yang lebih baik? Mungkin ada, tapi belum tentu mau sama aku. Belum lagi Aya. Ya Allah tolong berilah petunjuk di mana pawang siluman gagak berada?

Next

Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang