20

18.6K 355 36
                                    

Dia melahap nasi goreng di piring kedua tanpa dosa. Tak peduli dengan diriku yang hanya menelan ludah, tiap kali dia menyuapkan nasi kemulut dan mengunyahnya dengan nikmat.

"Ma, nasi gorengnya ada lagi? tanyaku memelas. Dia hanya menggeleng sambil asyik mengunyah.

"Kok dimakan sih?" tanyaku lagi, sewot. Merasa di-php.

"Kirain nggak mau, habisnya diliatin doang," sahutnya enteng, menyelesaikan suapan terakhir. Lalu mengeluarkan suara sendawa yang cukup keras. Kayak kodok. Huh... tidak sopan!

Tapi syukur deh, akhirnya dia buka mulut. Kalau buka mulutnya sih, dari tadi. Buka suara maksudnya. Mungkin tadi kehabisan tenaga kali, ya. Sehingga mau buka mulutpun tak mampu.

Dia beranjak dari kursi membereskan meja dan berlalu ke dapur. Aku menghela napas, tak jadi makan. Harus puas melihat dia makan dengan lahap. Lapar? Sedikit.

Beruntung tadi sore sudah makan dengan Izzil. Jadi tidak begitu lapar. Kalau darurat ya, nanti bikin mie instan saja. Tak usah ribet. Atau pandangi saja badan Dita. Pasti kenyang. Ha... ha... payah.

"Ma, masih marah?" tanyaku saat dia muncul di ruang tengah. Dita tak menjawab lagi. Hanya mendengus pelan, lalu duduk di sofa mengambil jarak dariku. Lah, aksi diam masih berlanjut. Aku beringsut mendekati.

"Semua tak seperti yang kau lihat. Saat itu aku sedang mengancamnya, agar tak macam-macam denganku. Dia telah mengobrak-abrik laporan keuangan yang besok akan aku presentasikan, Ma. Percayalah. Aku tidak tidak bohong," ucapku sambil mengeluarkan jurus tatapan maut seorang laki-laki tampan tak berdosa yang terkena fitnah. Eaaa...

Sekarang adalah waktu yang tepat untuk merayu wanita. Saat sedang kenyang, pikirannya jadi sedikit lebih waras. Tidak terkontaminasi bisa ular piton yang bergelayut manja di perut.

Sebenarnya Dita itu punya beberapa kelebihan, selain kelebihan berat badan yang tak perlu diragukan lagi. Dia itu punya insting yang kuat, untuk mengetahui aku sedang berbohong atau tidak. Dulu, ketika dia tak terlalu menyibukkan diri, boro-boro aku bisa bohong sampai menginap sama Meyong, ngumpetin uang recehan, buat beli Tamiya aja ketahuan.

Tapi sejak jadi wanita berbobot, kepekaannya berkurang. Karena tertutup lemak mungkin. Padahal dulu dia adalah gadis paling aduhai di kampus. Sumpah. Tingginya sekitar 170 cm dengan berat badan 65 kg. Cukup tinggi dibanding rata-rata wanita Indonesia pada umumnya. Terlihat semlohay, tidak kurus tapi tidak gemuk. Tipe idamanku banget.

Belum lagi lesung pipi dan tahi lalat di dagunya. Membuat senyumnya terlihat manis kayak Preety Shinta, artis India. Tau kan? Tapi kalau sekarang mah, Preety Asmara. Pokoknya dia itu incaran para senior. Termasuk aku. Kalau cuma si Meyong lewat. Tapi dulu sepuluh tahun yang lalu, masih jaman Misteri Gunung Merapi.

Saat Dita lulus kuliah, aku memberanikan diri untuk melamarnya. Pada waktu itu, ada dua orang yang datang meminang, salah satunya aku. Dia anak Pak Camat. Wajahnya juga tampan. Tapi berhubung dia baru lulus kuliah, sedangkan aku sudah bekerja. Ya jelaslah, Dita dan orang tuanya memilih yang mapan. Apalagi ditambah dengan wajah yang innocent dan tubuh atletis. Tak akan ada yang bisa menolakku.

*

Dita masih menatapku lekat. Hal yang tak pernah ia lakukan setelah Aya lahir. Kesibukannnya membuatku dan Dita jarang melakukan hal-hal seperti ini. Duh, mata gagaknya seperti sedang mencari-cari mangsa dalam mataku. Kutambah lagi kekuatan tatapan maut ala Andre, supaya mata gagak yang garang itu klepek-klepek. Pasti saat ini terlihat seperti adegan film Bollywood, saat Shah Rukh Khan menatap mesra Kajol. Tapi Kajolku, Kajol karung beras. Waks...

"Ma, percayalah. Aku nggak bohong. Suer," ucapku sambil meraih tangan dan menciumnya. Amis telor masih terasa. Sialan.

Dia melengos. "Mas, kamu cinta gak sama aku?"

Hatiku mencelos. Bukan karena pertanyaannya, tapi karena sisa cabe yang menempel di giginya. Ya Tuhan.

Enaknya dijawab apa tidak, ya? Kalau iya, harus jawab cinta. Jika jawab enggak, bukan hanya aka  ada piring terbang season dua tapi, riwayat cinta Pangeran dan Siluman Gagak akan berakhir. Siluman gagak apa gajah ya, enaknya?

Aku pilih  tak menjawab saja. Hanya meraih tubuh tambun itu lalu merengkuhnya dalam pelukanku. Hmmm... lumayan. Hanya sedikit bau asap. Tidak asem apalagi apek. Progres yang bagus.

"Besok jemput Aya, ya," bujukku menggunakan anak gadisku sebagai umpan. Dia hanya mengangguk. Entahlah kali ini apa yang kurasa. Kenapa darahku berdesir. Entah terbawa suasana atau sebenarnya lagi pengen. Sudah beberapa hari puasa 'ihik-ihik'.

"Ma, maafin aku," ucapku sambil mencium keningnya. Kuangkat wajahnya, mengamati setiap detail wajah yang pernah membuat diri ini  tak tidur nyenyak dan tak enak makan. Aku mengusap lembut pipi tembam. Mata gagak itu terpejam. Kudekatkan wajah, makin dekat. Hembusan napasnya terasa lembut di wajah ini. Tiba-tiba ia memalingkan muka hingga bibir ini hanya mengenai telinganya. Shit!!! Lalu dia beranjak menuju kamar dan berhenti tepat di depan pintu.

"Maaf itu mudah, tapi sampai kapanpun aku tidak akan lupa," ucapnya sambil menutup pintu dengan kasar. Menimbulkan bunyi berdebam yang cukup memekak telinga.

Aku menghela napas berat. Hasrat sudah di ubun-ubun, ditinggal pergi begitu saja. Sabar. Terpaksa malam ini kuhabiskan dengan lembur memperbaiki laporan yang diubah si Meyong. Nasibmu, Ndre.

============

Suara berisik musik ajeb-ajeb memenuhi rongga telinga, membangunkanku dari tidur. Kubuka mata dengan malas. Leher terasa sakit. Nampaknya aku tertidur di meja belajar Aya. Layar laptop masih terbuka. Potongan adegan film dewasa yang belum selesai ditonton, terlihat di layar 11 inch itu, setelah mouse tersenggol tanganku. Ya, setelah memperbaiki laporan sedikit, pilihan langsung jatuh menonton film biru. Seperti biasa. Tak bisa berhot-hot ria. Nonton yang hot sajalah.

Aku melangkahkan kaki mencari asal musik ajeb-ajeb aneh itu. Aneh, karena terdengar ada hitungannya. Mungkin ajeb-ajeb jaman now. Hah... rasanya dekat sekali. Benar saja, baru keluar, aku sudah melihat Dita berjingkrak-jingkrak dengan semangat di depan layar plasma 40 inch itu.

Kursi sofa dan meja di ruang tengah, dipepetkan ke tembok. Sehingga ruang keluarga kami itu terlihat lebih luas. Dan membuat dia lebih leluasa bergerak kesana-kemari. Seperti gajah mau kepanasan.

Dita memakai setelan baju senam berwarna merah jambu, menempel ketat di badan tambunnya. Tak lupa sepatu kets dan kaus kaki yang juga berwarna pink kombinasi abu-abu terpasang di kaki. Bagai arum manis jumbo. Haks...

Dita mengikuti gerakan sang instruktur senam yang lincah dengan kaku kadang juga ragu. Tapi dia cukup energik, membuat peluhnya bercucuran. Mungkin ini yang menyebabkan aroma asam asetat menyeruak memenuhi ruangan. Aku ingin tertawa, tapi sekuat tenaga kutahan. Berani tersenyum saja, nanti di-smack down. Bisa-bisa kena sesak napas.

Kutinggalkan Dita yang masih jingkrak-jingkrak, tak beraturan. Segera menuju kamar mandi, aku harus buru-buru bersiap untuk rapat komisaris hari ini.

Setelah selesai, aku segera memasang sepatu. Tak perlu sarapan. Toh, dia tak akan sempat membuat  makanan. Kotak makanan buat bekal juga tak terlihat.

Musik ajeb-ajeb sudah berakhir sejak aku masih berada di dalam kamar mandi. Terlihat Dita selonjoran, sambil ngos-ngosan.

"Ma, aku berangkat dulu," pamitku cepat.

"Sarapannya udah dimakan?" tanyanya sambil mengatur napas. Eh... dia menyiapkan sarapan ternyata.

Aku menggeleng. Tapi, sorotan mata gagaknya yang sedang kelelahan, mengisyarakat bahwa aku wajib memakan sarapan yang telah ia siapkan.

Dalam hati bertanya-tanya, kapan dia menyiapkannya? Bukankah dari tadi dia sibuk jumpalitan? Ah... bodo amat. Aku segera menuju meja makan. Dan ketika tudung saji terbuka aku harus menahan napas sejenak. Masa' harus makan ini?

Next

Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang