28

33.6K 742 160
                                    

Aku kaget menerima pesan Izzil yang tiba-tiba. Tapi tak bisa langsung ke sana, aku harus memenuhi janji yang telah terucap pada gadis kecil ini.

Restoran bergaya klasik menjadi pilihanku. Di sini tersedia menu ala barat dan makanan Indonesia. Lumayanlah, banyak variasi menu. Karena memang aku kurang suka dengan makanan bule. Lidah warteg. Haks...

Aku tak mengangkat hapeku yang berdering berkali-kali. Panggilan dari Dita. Biarlah! Persetan dengan dia!

"Kok, nggak diangkat, Pa?" tanya Aya sambil melihat ke arah hape, yang tergeletak tak jauh darinya. Dia terus menyuapi mulutnya dengan santai. Tak tau kalau papanya sedang kalut. Lebih cepat dong, Aya makannya. Duhh...

"Biarin! Makan aja dulu," sahutku sambil mematikan hape pintar yang sudah mulai low bat.

Matahari hampir masuk ke peraduannya meninggalkan semburat jingga yang mempesona. Saat aku sampai di rumah adik kesayanganku, dia tampak gelisah. Mondar-mandir tak jelas di teras. Seperti mandor kebun yang kurang kerjaan.

Baru turun dari mobil, aku sudah langsung kena semprot bibir tipis yang kecepatan bicaranya di atas rata-rata.

"Mas, apa-apaan, sih?" Aku tak mengerti apa maksud pertanyaannya. Ini siluman gagak apa kancil? Datang langsung nyerocos tak karuan.

Mencium aroma devil yang kuat dari tantenya, Aya segera berlari memasuki rumah minimalis itu. Menyelamatkan diri, memilih bermain-main di depan televisi dengan dua sepupu centilnya.

"Apa sih, Dek?" sahutku sambil terus ngeloyor ke ruang tamu. Dan merebahkan diri di sofa. Lelah. Dia terus mengekor.

"Tadi,"- ia mendengus kasar- "ngapain Mas pukul-pukul Tino di tempat umum."

Aku tak menjawab. Hanya mengernyitkan kening. Dia tau dari mana?

"Mas tau dia siapa?" lanjutnya lagi sambil membenahi posisi kacamatanya yang melorot. Mata bulat di balik kacamata minus itu melotot. Seperti hampir copot.

"Nggak penting!"sahutku kesal. Dia membanting pantatnya ke sofa.

"Dia anak Pak Handoko," ujarnya dengan pekik tertahan.

"Aku nggak peduli, Dek, dia anak siapa. Yang aku tau dia jalan sama istriku. Ngerti?!" Izzil memutar bola matanya. Tampak kesal. Tak biasanya anak ini terlihat sangat emosi.

"Masss!!! Harusnya nanya dulu, kek. Apa, kek? Jangan main tonjok gitu." Dia tampak sangat bersungut-sungut.

"Asal Mas tau, ya. Itu bagian dari rencana kita, untuk meminta bantuan dia jelasin ke bokapnya. Memang aku yang minta Mbak Dita nemuin Tino. Dia baru ada waktu tadi, karena sibuk terus. Mas nggak perlu cemburu, dia nggak mungkinlah suka sama Mbak Dita. Dia nggak suka perempuan," cerocosnya kesal.

"Ha? Serius?" Aku terlonjak, kaget. Kalau dia tidak suka pada Dita. Jangan-jangan suka sama aku malah. Ih ....

"Makanya pakai otak, jangan pakai otot."

"Kamu itu dari mana ngilang dua hari. Ini waktunya makin mepet, tau!" ujarku tak mau kalah.

Dia masuk ke kamarnya, lalu keluar dengan membawa sebuah Map merah. Kemudian meletakkannya ke atas meja. Aku segera meraih Map itu. Sebuah surat pernyataan yang ditandatangani Mayang di atas materai, bahwa ia tidak mengakui kebenaran semua foto yang tersebar. Dan sebuah foto percakapan antara dia dengan Anton, yang berisi konspirasi penonaktifanku.

"Dari mana kamu dapat ini?" tanyaku penasaran.

"Kemarin setelah aku dapat data-data Mayang, aku langsung ke tempat asalnya, di desa Smartvillage."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 26, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang