10

40.3K 495 20
                                    

Aku sengaja diam saja melihat kemarahan Dita. Wajar, dalam hal ini seluruh dunia pasti menyalahkanku karena telah berselingkuh, tanpa bertanya apa sebabnya. Seperti kata peribahasa, tak ada asap kalau tak ada api. Tapi di mana-mana yang dicari orang adalah apinya bukan asapnya. Sama dalam kasusku, yang dilihat orang pasti kesalahanku, bukan mengapa aku berselingkuh. Apa lagi kaum emak- emak jaman now yang tak pernah salah.

"Mas kamu jahat!!! Aku kurang apa? Aku kerjakan semua sendiri, aku juga membantumu mencari uang. Coba katakan aku kurang apa, Mas. Hu...hu...hu..." teriak Dita sambil membating sebuah vas bunga di hadapanku. Dia menangis tersedu-sesu seperti anak kecil yang kehilangan balonnya.

Inginnya sih, kujawab kurang kurus atau kurang wangi, bahkan kurang perhatian. Tapi bisa panjang urusan. Walaupun itu jawaban yang jujur. Tapi kalau jujur bisa mati. Wanita kan, emang selalu ingin dimengerti katanya tapi lebih suka dibohongi.

"Tega-teganya kamu berkhianat di belakangku. Dulu saat masih miskin siapa yang ada bersamamu. Aku! Sekarang enak sedikit, kau sudah bertingkah! Laki-laki tidak tau diuntung," tandasnya sengit, dengan air mata bercucuran.

Laki-laki tidak tau diuntung? Sebenarnya aku atau dia yang tidak tau diuntung? Aku sudah bekerja, gaji aku berikan padanya semua, eh... dia malah buka toko. Alasannya bosan di rumah. Di suruh pakai karyawan, katanya sayang duitnya. Lebih sayang uang dari pada suaminya. Emosiku mulai tersulut.

"Sekarang kau pilih, aku atau dia?" bentaknya padaku dari kursinya.

Aku masih diam. Kalau di suruh memilih antara Dita dan Mayang. Ya jelas pilih Ditalah, walaupun sepet di mata, tapi paling enggak dia bukan sisa. Beda sama Mayang, walaupun cantik tapi bekas banyak orang. Cewek bispak itu hanya asyik di towel-towel aja, tidak layak untuk dijadikan istri. Sebejat-bejatnya lelaki pasti memilih wanita baik-baik untuk dijadikan istri.

"Mas, jawab!!!! Jangan diam saja. Dasar banci!!!" Bentaknya padaku. Kata-kata terakhir Dita membuatku naik pitam. Harga diriku seperti diinjak dibilang banci. Aku paling benci dibilang banci.

"Heh!!! Jangan sebut aku banci!" sahutku tak kalah sengit sambil menunjuk ke arah wajahnya yang sembab karena tak henti-hentinya menangis sambil mengomel. Rahangku gemerutuk menahan amarah.

"Lalu apa namanya, untuk orang yang suka berkhianat. Sekarang ketahuan, malah diam saja. Dasar banci!!!" Teriaknya mendekat padaku, semakin membuat emosiku tak terkendali. Tanganku mengepal. Seluruh tubuhku terasa panas.

"Sekali lagi kau..." bentakku sambil mengangkat tangan kananku hendak menamparnya. Tapi tertahan.

"Kenapa berhenti? Pukul ayo pukul!! Aku tidak takut. Biar Puas sekalian," lawan Dita sambil mengarahkan pipinya ke wajahku.

Aku menarik napas berusaha mengendalikan emosi, kemudian menghempaskan tangan yang terangkat, memukul udara kosong. Untung saja masih sadar, jika saja aku sampai memukulnya, tak tau lagi apa yang akan terjadi. Hatinya sudah terluka, kalau masih harus ditambah sakit fisik olehku, betapa kurang ajarnya diriku. Lagian bisa kena pasal KDRT, tambah panjang urusannya.

"Kamu didiemin malah ngelunjak," desisku menahan emosi.

"Ngelunjak? Ha...ha.." cibirnya sambil tertawa getir di antara tangisnya. Dia melangkah ke arah jemdela samping, mengarahkan pandangan ke kolam ikan yang terdapat di sana. Berdiri memunggungiku.

"Iya, kamu pikir aku selingkuh karena apa? Karena kamu!" Sanggahku tak terima dengan cibirannya yang terkesan meremehkan.

Dita berbalik, memandangku dengan tajam. Tetlihat dengan jelas kilatan amarah dalam tatapannya.

"Ooo.. bagus ya! Pintar sekali memutar balikkan kata-kata. Sekarang aku yang salah? Sudah jelas-jelas kamu yang selingkuh. Aneh!" makinya padaku dengan sorot mata tajam, khas siluman gagak.

"Iya lah, bagaimana aku tidak selingkuh kalau istri dirumah, selalu awut-awutan tidak karuan. Cantiknya kalau ke luar saja. Ogah-ogahan melayaniku, alasan sibuk, sibuk, sibuk terus!!!" cicitku mengeluarkan uneg-uneg yang sudah lama tersimpan dalam hati. Berharap semoga dia mengerti. Dan berhenti mengomel. Semakin dia panjang dia bicara, semakin pusing aku dibuatnya.

Tak ada gunanya berdebat, diam adalah emas, katanya. Tapi kalau dia terus menyudutkanku, menginjak harga diriku, mana mungkin bisa diam.
Bagaimanapun aku laki-laki, suaminya yang harus dihormati.

"Aku kan, bekerja buat kepentingan keluarga kita. Kalau cuma mengandalkan gaji kamu, mana mungkin sekarang kita bisa punya segalanya," ucapnya nanar berusaha membela diri. Ini nih, sifat perempuan yang paling aku tidak suka. Uang, uang dan uang. Aku merasa direndahkan oleh kata-katanya.

"Penting? Kamu merasa sakit karena diduakan dengan wanita lain, sedangkan aku kau nomor duakan dengan kesibukanmu. Yang ada di otakmu hanya mengumpulkan uang dan uang," aku berhenti sejenak, membiarkan dia mencerna kata-kataku. "Ma, aku butuh kamu, nggak butuh yang lain," ujarku datar.

Dia tak menyahut lagi. Air matanya tumpah. Tak tau apa yang dibenaknya.

Hening.

"Apa kamu mencintainya, Mas?" tanyanya ragu dengan suara parau. Setelah sekian lama, baru kali ini ia bertanya tentang cinta lagi. Nampaknya emosinya mulai terkendali.

"Tidak, aku hanya butuh dia," sahutku jujur. Sekarang emosiku sudah mereda. Melihat air matanya yang tak berhenti mengucur,  menyiratkan bahwa dia sangat terluka.

"Kalau tidak, bagaimana kau bisa tidur dengannya," selidiknya. Aku harus menjaga emosinya agar tidak naik lagi. Entah mengapa tiba-tiba hatiku menjadi terenyuh.

"Laki-laki tak butuh cinta untuk itu, beda dengan perempuan. Dan aku normal. Jika di rumah selalu tersedia apa yang dibutuhkan. Ngapain susah-susah cari di luar," jelasku.

Egoku sebagai laki-laki terlalu tinggi. Jangan harap aku mau minta maaf duluan pada Dita. Walaupun sudah jelas-jelas aku yang salah. Toh, dia juga turut andil pada peristiwa ini.

Sekali lagi air matanya tumpah. Sebenarnya ada berapa galon, sih persediaan air matanya? Kok, dari tadi nangisnya tidak selesai-selesai.

Next

Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang