25

17K 408 27
                                    

Di perjalanan, Dita hanya berceloteh tentang Tino terus. Jengah mendengarnya, tapi mau bagaimana lagi? Kalau ditegur, nanti dikira aku cemburu. Idih ... sorry, tak ada ceritanya Andre cemburu. Emang siapa yang mau sama Dita? Ya,  entah kalau laki-laki itu kena katarak. Waks....

Sementara Dita berceloteh, pikiranku terus menerawang pada kejadian di kafe tadi. Begitu kejamnya dunia ini. Aku tak menyangka, Anton terlibat dalam konspirasi itu. Apalagi Pak Sigit, tak pernah terlintas di benakku. Di dewan komisaris dia anggota yang paling low profile. Tak banyak bicara, dan neko-neko.

"Maaassss...," Dita terpekik, ketika aku menginjak pedal rem secara tiba-tiba. ada pengendara motor yang nyelonong menyebrang tanpa lihat kanan-kiri. Untung saja aku sigap, jika tidak pasti tabrakan tak dapat dihindarkan.

"Hati-hati ta, Mas! Konsentrasi kalau nyetir. Gimana coba kalau nabrak tadi? Pasti bla... bla.." Nah, sudah mulai tuh, jurus siluman gagaknya. Ngomel berkelanjutan kayak program pemerintah.

"Bisa diam nggak, sih! Gimana mau konsentrasi kalau kamu nyerocos terus!" bentakku kesal. Wanita di sampingku mendengus kasar. Lalu menutup mulutnya rapat. Sebentar kemudian, terdengar dengkur halus. Yah... Tidur!

Setelah hampir dua jam di jalan, sampailah kami berdua di rumah adikku Izzil. Rumah mungil bergaya minimalis dengan halaman yang cukup luas. Ada banyak tanaman bunga hias terawat apik di sana. Tentu saja bukan Izzil yang menanam, tapi suaminya, Gusti.

"Papa, Mama..," seru Aya sambil menghambur ke pelukanku. "Dek, sini! Ada Pak Dhe sama Budhe," lanjut Aya langsung memanggil dua gadis kecil lainnya, Silvi dan Nisa, keponakanku. Tak lama kemudian yang di panggil pun datang. Mereka bertiga bergelayut manja. Aku menggendong keponakan yang paling kecil. Wajahnya sangat mirip dengan ibunya. Ibarat kertas, fotokopi tapi diperkecil.

Lalu tak lama kemudian Izzil dan suaminya juga turut menyambutku.

"Kurusan, Mbak?" ucap Izzil pada Dita sambil cipika-cipiki. Dasar kancil, tau saja cara mengambil hati orang. Padahal menurut sepenglihatanku masih begitu-begitu saja. Apanya yang kurus? Kelingkingnya?

"Masa' sih," sahut Dita dengan senyum bangga. Ish ... sudah tau bohong. Masih juga percaya. Dasar perempuan! Lebih senang dibohongi.

"Beneran. Iya, kan Mas?" Izzil mencoba meyakinkan pendapatnya dengan meminta persetujuanku. Dari pada berabe, lebih baik mengangguk saja.

Jadilah rumah Izzil, seperti pasar yang baru pindah, riuh dengan canda tawa kami. Setelah setengah jam bercengkerama, Gusti menerima telepon, lalu dia bersiap-siap.

"Maaf, Mbak, Mas. Saya tinggal dulu. Ini ada panggilan dari orang Disdik katanya surat penerimaan pindah untuk istri saya sudah turun. Saya harus mengambilnya sekarang. Keburu sore," ucap Gusti sopan. Aku mengangguk mengiyakan. Izzil mengantarnya sampai depan rumah.

Gusti adalah pria yang sabar dan sopan, beruntung Izzil mempunyai suami seperti dia. Setia. Kadang aku sampai tak habis pikir, bagaimana bisa ia betah di tinggal Izzil bertugas di tempat yang jauh. Berbulan-bulan, dengan mengurus dua anak, si sulung berusia tujuh tahun, dan yang bungsu berusia lima tahun. Semua ia lakukan sendiri. Hanya saat dia bekerja, ibu atau adiknya membantu menjaga kedua keponakanku, karena rumahnya berdekatan.

Sedangkan ibu tak mau tinggal bersamaku, tapi maunya tinggal sama Izzil. Karena bungsu katanya. Tapi nanti, setelah dia resmi pindah tugas ke wilayah kami. Sekarang ibu masih tinggal di desa. Di rumah peninggalan almarhum ayah.

Gusti adalah seorang guru PNS di SMP. Entah mengajar apa katanya. Aku lupa. Yang paling salut, kok, bisa ya ia berpuasa 'ihik-ihik' selama itu. Apa resepnya? Atau jangan-jangan ia impoten. Eh... tak mungkin itu. Buktinya anaknya sudah dua. Cantik-cantik lagi.

Padahal dia termasuk pria yang tampan, meskipun tak setampan aku. Ahay... minimal wajahnya itu enak dilihat. Tak membosankan. Kulitnya hitam manis, matanya bulat hidungnya juga tidak pesek. Tingginya juga lumayan. Pokoknya standar di atas rata-ratalah. Mustahil tak ada wanita yang menggodanya. Dan hebatnya dia tidak tergoda. Ckckckck...

"Mas...," suara Izzil menyadarkanku dari lamunan.

"Hmmm...," jawabku pendek.

"Mikirin apa? Dari tadi aku perhatikan bengong terus," dia mulai menginterogasiku. Aku menghela napas berat. Haruskah aku menceritakan masalah pekerjaan pada Izzil. Tak ada salahnya juga, sih. Siapa tau ia bisa membantu. Kancil kan, banyak akal.

"Mas dinonaktifkan dari kantor, Dek," ucapku lesu.

"Kok??" Dia memekik.

"Sssttt ... jangan keras-keras, nanti Mbakmu denger," aku berbisik sambil mendelik.  Langsung menyilangkan tangan di bibirny

"Emang Mbak Dita belum tau?" Izzil merendahkan suaranya. Lalu dia melongok ke dalam. Melihat Dita yang ada di ruang tengah. Kemudian mengangkat ibu jarinya pertanda situasi aman terkendali.

"Udah, tapi kejadian yang tadi Mbakmu belum tau," jelasku padanya.

"Kenapa Mbak Dita nggak boleh tau?" Selalu seperti itu, pertanyaannya melebar ke mana-mana. Tidak fokus pada permasalahan. Kalau tak dijawab, akan mencecar terus. Dijawab asal, pasti muncul pertanyaan baru. Sepertinya dia lebih cocok jadi wartawan dari pada guru. Belum lagi kecepatan bicaranya yang di atas rata-rata. Salah jurusan kayaknya dia.

"Takut Mbakmu ngamuk," jawabku asal. Tapi dari raut mukanya, nampak dia bisa menerima alasan itu. Buktinya dia hanya mencebik.

"Kejadian apa?"tanyanya menyelidik.

Aku menceritakan secara singkat hal ihwal penonaktifanku. Kemudian, pertemuanku di kafe dengan para pengkhiatan tadi. Izzil mendengarkan dengan serius. Tanpa menyela sedikitpun.

"Untung, Dek. Mas tadi sempat merekam pembicaraan mereka," pungkasku mengakhiri cerita.

"Oya, coba-coba. Mana?" tanya Izzil tak sabar.

Sebelum itu dia sekali lagi memeriksa situasi. Setelah dirasa benar-benar aman, aku mengeluarkan hape, dan mencari hasil rekaman tadi. Kami berdua sama-sama diam. Mendengarkan dengan serius.

Sial.

Yang terdengar hanya suara riuh tidak jelas.  Hanya pada detik-detik terakhir, saat aku bicara dengan Pak Sigit bisa terdengar, itupun suaraku saja yang jelas. Suara Pak Sigit hanya kedengaran sayup-sayup.

"Cuma begitu? Mana bisa dijadikan bukti," ucapnya kecewa. "Mas tadi sempet moto, nggak?" cecarnya lagi. Aku menggeleng lemah. Hmmm... kenapa aku tadi tidak sempat berpikiran ke sana, ya? Bodoh!!

"Aku nggak mau kehilangan pekerjaan, Dek," ucapku getir.

"Salah sendiri. Dah lihat kan, akibatnya. Nikmatnya seuprit, ruwetnya nggak karu-karuan," cerocosnya sok bijak. Membuatku kesal.

"Bantuin, dong...," pintaku dengan sedikit memelas.

"Ogah! Kok, jadi aku yang ribet," sahutnya tengil membuatku semakin kesal.

"Ayo Dek, plisss... kamu mau Masmu ini jadi pengangguran, gitu?"

Izzil diam. Dia tampak berpikir keras.

"Ehm... Mas masih punya data-data Mayang, nggak?" tanyanya dengan wajah serius.

"Mungkin di kantor masih ada," sahutku singkat.

"Mas bisa ambil?"

"Itu mudah, tapi buat apa?" tanyaku penasaran.

"Ambil saja. Ingat, Mas cuma punya waktu satu minggu. Ini sudah hari kedua. Kita masih punya lima hari lagi untuk mengamankan posisimu, Mas. Kita harus bergerak cepat," tukasnya dengan serius.

"Untuk ...." aku sengaja menggantung kalimatku.

"Jangan banyak tanya, aku punya rencana, tapi aku harus lihat dulu data-datanya," jelasnya lagi. Lalu ia berlalu ke ruang tengah karena anak-anak memanggilnya. Memotong pembicaraan kami.

Cil, cil. Kamu punya rencana apa, sih?

Next.

Nb. Tolong di krisan, ya. This post without editing (bener gak ya, inglisnya😂)

Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang