14

25.6K 475 13
                                    

Karena perut terasa lapar, segera kuraih kotak makanan yang disediakan Dita. Setelah dibuka, bentuk makanan di dalam kotak sudah tidak karuan. Mungkin karena membawanya asal, jadi kocar-kacir. Tapi karena cacing sudah keroncongan. Ya terpaksalah di makan. Saat aku menikmati makananku, Izzil tiba-tiba nyelonong masuk, membuatku tergagap dan menjatuhkan kotak makan itu.

"Bisa nggak sih, ketuk pintu dulu," ucapku gusar. Baru makan dua suap, makanan itu sudah jatuh. Sial!!! Sedangkan Izzil hanya nyengir kuda melihatku, kemudian menuju sofa yang ada di sebelah kiri ruanganku. Dasar perempuan, di mana-mana menyebalkan. Apalagi slogan emak-emak zaman now, yang katanya tidak pernah salah. Padahal banyak salah, di rumah pakai daster, ke luar pakai gaun. Hah... kalau begitu ceritanya, yang egois sebenarnya laki-laki atau perempuan?

"Mas, ini kenapa sih? Perasaan dari tadi sewot mulu," ucapnya tanpa rasa berdosa lalu mengeluarkan hape dari tas merahnya. Seperti biasa ia bicara sambil mengutak-atik hape pintarnya. Maklum di tempat tugasnya tak ada sinyal. Jadi mumpung di kota ia puas-puaskan untuk bermain sosial media.

"Kesel," jawabku pendek lalu menenggak segelas air putih yang tersedia di meja.

"Why?" tanyanya penasaran, sok bule.

"ATM dan Kartu kreditku hilang." Izzil memandang tak percaya. Lalu meletakkan hape di meja.

"Hilang di mana? Kok Mas ceroboh banget. Barang sepenting itu bisa hilang. Udah diblokir kalau belum...." Aku segera membekap mulutnya dengan tangan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Adikku ini salah satu wanita yang dari tidak perlu diragukan lagi kecerewetannya. Apalagi sejak jadi guru dan punya anak. Level kecerewetannya berada jauh di atas rata-rata wanita biasanya.

"Ga hilang," ucapku sambil melepaskan bekapan tangan di mulunya.

"So?" Gaya tengilnya yang sok ke inggris-inggrisan membuatku ingin sekali menjitak kepalanya.

"Disita, siluman gagak," ucapku datar yang ditanggapinya dengan terbahak hingga mengeluarkan air mata.

"Pantes," sahut Izzil lalu terkekeh lagi.

"Pantes kenapa?"

"Kere." Jawabannya yang singkat namun menohok perasaan, membuatku tak bisa menahan untuk mencubit pipinya.

"Sialan kau!!! Siniin uangnya, cepetan."

"Iya, iya bentar. Nih." Dia mengeluarkan sejumlah uang dari dompet pink bergambar Hello Kitty dan menyodorkannya padaku.

"Kok banyak, Dek. Katanya tadi cuman seratus atau dua ratus?"

"Kesian lihat muka Mas. Ngennes!!"

"Makasih adikku yang cantik," pujiku padanya yang sepertinya terdengar tidak tulus.

"Tapi inget, balikinnya dua kali lipat!" ujarnya dengan senyum penuh kemenangan.

"Apa??? Rentenir! Ga usah, dah. Ga jadi pinjam!" Aku melempar uang di tanganku ke meja. Pura-pura tidak mau.

"Ya udah," ucapnya santai sambil mengambil uang yang kulempar. "Serius nih, nggak jadi?" tanyanya melirik padaku sambil mengangkat kedua alisnya. Ini bagai makan buah simalakama. Tidak pinjam, tapi butuh. Pinjam tapi mencekik.

Aku diam sejenak. Berpikir mau terima atau tidak. Tapi tidak apalah, dari pada tidak pegang uang. Toh, ini hanya sementara. Perkara balikinnya nanti dua kali lipat, anggap saja sedekah sama adik sendiri. Haks..

"Ya udah deh, Mas ambil. Tapi nggak janji dibalikin dalam waktu dekat."

"Okay, deh. Tapi ntar kalo aku balik ke pulau, kasih sangu yang banyak ya, Mas," ujarnya sambil tersenyum menggodaku.

"Hallah, sama aja bohong!" Kutonyor lembut kepalanya yang dibalut jilbab lebar itu.

Tiba-tiba di tengah obrolan kami, ada orang mengetuk pintu. Mayang masuk dengan membawa tumpukan map di tanggannya. Dia melirik sinis ke arahku. Ngapain juga pakai lirik-lirik? Apa dia tidak tau ada seekor kancil yang cerdik sedang bersamaku?

"Kenapa, Mbak? Kok lirik-lirik? Ada yang salah?" Izzil menangkap ada yang tidak beres. Nah, kan. Bisa panjang urusan kalau begini.

"Nggak kok, Bu? Permisi," ucap Mayang gugup karena Izzil menangkap basah dia sedang melirikku.

"Ehh.. tunggu," cegah Izzil pada Mayang yang hendak pergi, "besok-besok pakai roknya yang agak panjangan ya, terus kemejanya itu. Mbok ya dikancing dikit," lanjut Izzil sambil beranjak dari sofa mendekati Mayang. Lalu mengancingkan kemeja Mayang di bagian dada yang memang sengaja dibiarkan terbuka.

"Nah begini kan lebih bagus! Ya udah pergi sana!" Usir Izzil secara sadis. Mayang pun buru-buru meninggalkan ruanganku.

"Adek! Ngapain sih kamu?" tanyaku heran dengan perlakuan adik bungsuku yang tidak ramah.

"Biarin. Eneg aku lihat dia," sahutnya tanpa rasa berdosa lalu mengambil tas merahnya. "Ya udah aku balik dulu ya, Mas. Inget lho, dua kali lipat."  ujarnya tengil, sebelum menghilang di balik pintu.

---------

Saat pulang ke rumah kulihat Dita sedang sibuk dengan hape barunya. Gadget terbaru dengan spesifikasi yang mumpuni, sudah dapat di pastikan harganya juga tidak murah. Begitulah dia, jika sudah membeli suatu pasti memilih yang ter- dalam segala hal. Tercanggih? Iya. Terbaru? Jelas. Termahal? Pasti. Makanya dia sering menunda-nunda barang yang ia beli. Dan sekali beli, dia tidak akan ganti lagi dalam waktu yang lama. Tapi, tumben ia beli hape?

Dia tidak menyambut kepulanganku, hanya melihat sekilas dan kembali asik dengan gadget  barunya. Aku juga langsung nyelonong masuk, tak menyapanya, kesal!

Masuk ke dalam rumah membuatku shock. Segala macam jenis belanjaan terserak di sofa dan meja ruang tengah. Ada beras merah, teh hijau, minyak VCO, baju-baju olahraga dan sebuah alat treadmill. Aku hanya geleng-geleng kepala tanpa berkata apa-apa. Buat apa dia beli alat olahraga segala? La wong, dulu pernah membeli sepeda statis, juga tidak terpakai. Teronggok begitu saja sampai karatan. Dan berakhir di tukang rongsokan.

Masuk ke dalam kamar semakin membuatku menahan napas. Berbagai model lingerie  warna-warni terserak di kasur. Membayangkan si Dita memakainya membuatku tak bisa menahan senyum.

"Ngapain senyum-senyum?" tanyanya ketus. Rupanya aku tertangkap basah sedang membayangkan siluman gagakku memakai lingerie. Geli, Nunung Srimulat pakai lingerie? Wadaaww

"Terserah saya mau senyum, mau nangis, mau teriak," jawabku tak kalah sengit menyembunyikan rasa geliku.

"Membayangkan bispakmu itu?" tanyanya dengan raut muka menjengkelkan. Mengapa sih, wanita itu selalu saja mengungkit-mengungkit kesalahan yang sudah-sudah. Padahal kan, aku sudah bertekad untuk berubah. Tapi kalau dituduh-tuduh terus. Mending melakukan saja sekalian apa yang dituduhkan. Iya, Nggak?

"Muat?" ucapku sambil mengangkat salah sati lingerie dengan ujung jari. Mencoba mengalihkan pembicaraan. Karena kalau ingat itu terus, Dita akan marah lagi. Nangis lagi.

"Huhh... awas!!" Ia mendengus kesal.

"Mana ATMku?

"Buat apa? Buat booking perempuan lagi?" Lagi dan lagi, membuat emosiku tersulut.

"Ma, ayo dong jangan berpikiran ke situ terus!"

"Lha, buktinya!"

"Ya memang. Siapa coba yang betah, makanan nggak ada, rumah berantakan, diatur-atur, mending kawin lagi sekalian," gertakku padanya.

Dia tidak menjawab. Hanya air mata yang mulai meleleh di pipinya. Jika sudah begini, alamat tidak akan menang. Jurus wanita jaman Tutur Tinular yang masih dipakai oleh emak-emak jaman now.

"Aku lo, nggak pakai ATMmu, Mas." ucapnya di antara isak tangis.

Tunggu-tunggu, kalau Dita tidak memakai ATMku siapa yang melakukan penarikan uang? Kenapa ada pemberitahuan ke nomorku? Wah, kecolongan, ada penyusup.

Next

Nb. Karena banyak yang kangen sama Andre. Jadi liburnya di tunda besok.😊😊😊

Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang