Aku membaca pesan itu berulang-ulang.
[Hari ini bisa kan, Say], tulis sang pengirim pesan. Dita terlihat mengambil hapenya buru-buru.
[Bisa dong], balas Dita. Mau apa sebenarnya dia? Hari ini bukan jadwal dia ke pusat kebugaran si Tino Saurus.
Sebenarnya sih, kalau dilihat lagi memang tidak ada yang begitu mesra. Tapi panggilan 'Say' itu, kan, merujuk kata 'sayang'. Iya kalau perempuan, no problem. Kalau laki-laki, minta bogem itu namanya. Aku juga tidak tau ini nomor siapa. Laki-laki atau perempuan? Mau tanya, gengsi.
Aku terus memperhatikan Dita yang mondar-mandir memilih baju, sambil bersenandung ria. Lalu mematut diri di depan cermin. Kemudian seperti biasa, setiap habis berdandan, ritual yang hampir tak pernah lupa ia lakukan. Selfie. Pasti sebentar lagi foto profilnya akan berubah. Tunggulah lima menit lagi.
"Mas, keluar dulu, ya," pamitnya buru-buru.
Aku tak menjawab. Biarlah saja ia pergi sesuka hati. Toh, aku juga bisa ber-chat ria dengan para wanita alay di luar sana. Fix...
Namun rasanya itu hanya pelarian saja. Aku tak benar-benar menikmati. Sebenarnya apa yang kucari dari mereka. Tak ada.
[Say, dimana], sebuah pesan masuk lagi.
[Di bangku nomer 12], balas dari nomer Dita.
Ada rasa panas yang tiba-tiba menjalar. Tapi tetap harus cool. Ini baru permulaan. Percuma usaha penyadapan yang kulakukan andai semuanya dibongkar saat ini juga. Itupun jika benar, kalau tidak, berarti kan, sama saja mempermalukan diriku sendiri.
Apakah aku cemburu? Tidak!! Sama sekali tidak. Aku bisa mendapatkan wanita seribu kali lebih cantik dan lebih baik dari Dita. Tapi untuk apa? Aya adalah semua alasannya.
Lalu apa nama perasaan yang aku rasa saat ini. Kenapa jadi marah-marah tak jelas. Apa diri ini terlalu munafik untuk mengakuinya?
Kalau memang iya, ternyata sungguh tidak enak. Padahal ini belum apa-apa dibanding semua yang telah kulakukan bersama Mayang.
Mengapa semua terasa begitu sulit. Saat aku ingin berubah. Selalu ada saja hal yang membuatku kesal dan ragu untuk melanjutkannya. Tapi dulu, ketika melakukan kebejatan itu semuanya terasa mudah dan baik-baik saja.
Sekali lagi aku intip akun fesbuk Dita. Jika ia pergi dengan teman-teman sosialitanya, ia akan segera mengunggahnya. Tapi ini sudah satu jam berlalu. Dan tidak ada unggahan. Bukankah itu mengindikasikan jika dia sedang melakukan sesuatu yang pribadi.
Di ruang tengah, terlihat Aya tengah asyik melihat kartun kesukaannya. Lama, aku tak melihat tawa lepas dari bibir mungil gadis kecilku.
"Aya, lihat apa, Sayang?"
"Itu tuh, Pa. Upin sama Ipin kejatuhan pupuk kandang. Huweekk!!!" Dia tertawa lagi. Sederhana sekali pemikiran anak berusia delapan tahun ini.
"Sayang ... nggak bosen di rumah terus?" tanyaku sambil membelai rambut lurusnya. "Mau jalan-jalan?" lanjutku lagi.
"Mau mau, Pa," jawabnya antusias. Replika mini mata gagak Dita itu berbinar-binar.
"Kemana?"
"Ke Time Zone aja, ya, Pa. Aya lama nggak ke sana," sahutnya cepat, tak perlu waktu lama.
"Oke. Sekarang Princesnya Papa ganti baju dulu dong."
Aya segera lari ke kamarnya, lalu keluar memakai celana jins dan kaos berwarna merah jambu bergambar Hello Kitty. Cantik.
"Sudah siap?" tanyaku sambil menggandeng tangan mungil gadis kecilku.
"Lets go!!!" Aya menjawab riang sambil mengepalkan tangan kirinya ke udara.
![](https://img.wattpad.com/cover/130563355-288-k800236.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?
Romance@cover by Badriklisiansyah Hmmm... aku heran orang-orang menganggapku pendiam. Mungkin karena tak banyak bicara. Sesungguhnya aku hanya belum menemukan lawan bicara yang pas termasuk istriku, walaupun beratus hari sudah kulewati dengannya. Dia sama...