15

23.7K 430 11
                                    

Kepala mendadak pusing. Baru pulang, rumah berantakan, uang raib entah kemana. Makin lengkap saja kesialan hari ini. Eits, tapi kartu ATM ada padanya, pin juga cuma dia sendiri yang tau dan ada penarikan. Siapa yang tarik kalau bukan dia? Di kira aku sebodoh itu apa? Gampang percaya.

"Lalu, ATM-nya sekarang di mana?" selidikku.

Bukannya tak percaya pada Dita. Kalau dia orangnya sih, cukup terpercaya. Kalau bilang tidak, berarti benar-benar tidak. Apalagi sampai acara nangis segala. Tapi aneh saja, masa' iya di zaman yang sudah canggih seperti ini ada uang hilang sendiri. Jangan-jangan kelakuan  tuyul zaman now. Tuyulnya nyolong pake ATM. Haks...

"Tuh, di lemari," timpal Dita, sambil menyusut air mata lalu mengelap ingusnya. Kemudian membereskan lingerie yang terserak di kasur.

"Bener, kamu nggak pake?" Sekali lagi aku bertanya dengan nada tak percaya.

"Iya," sahutnya mantap. Menatapku dengan kesal. Benar. Tak ada kebohongan yang terpancar di matanya.

"Trus, kamu beli barang-barang uang dari mana?" Aku masih terus mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaanku. Berharap dapat petunjuk.

"Dari Izzil," sahutnya datar. Sambil mencoba memakai salah satu lingerie yang ia beli. Modelnya lucu sih. Ala-ala dokter gitu. Tapi tidak tau nanti kalau sudah dipakai. Masih lucu, tambah lucu atau malah aneh.

"Izzil?" tanyaku heran. Kalau masalah belanja memang tidak diragukan lagi. Pasti kerjaan dia. Dita mana ngerti sama model-model lingerie. Paling taunya daster paling murah atau paling adem.

"Iya." Dita menjawab sambil susah payah melepas lingerie yang barusan ia coba. Benar, kan? Tidak muat. Badan segede gaban, beli baju imut-imut. Pengen tertawa, tapi kutahan. Kalau saja ada tempat pendonoran lemak, mungkin tanpa berpikir dua kali Dita langsung kudaftarkan.

"Tumben dia baik banget," ucapku sambil beranjak untuk membantu melepaskan apa yang barusan dicoba.

"Ga tau." Ia menjawab kesal ditandai dengan dengusan keras sambil melengos. Entah kesal karena lingerie yang tidak muat, atau karenaku yang terkesan tidak percaya dengan ucapanya.

"Ma, beneran kamu gak pake?" tanyaku, masih memastikan. Yang direspon dengan sorotan  mata yang tak bersahabat dan bibir monyong, makin tak enak dilihat.

"Iya, Mas," jawabnya singkat.

"Kartunya tidak kamu bawa kemana-mana?" Tak puas dengan jawabannya, aku masih terus menginterogasi. Pura-pura tak melihat ekspresinya yang sudah mulai kesal. Ini masalah uang, jadi tak boleh putus asa. Harus jelas las las.

"Di bawa." Jawabnya datar. Tapi cukup membuatku untuk menahan napas. Loh, loh? Bilangnya tidak dipakai. Katanya ada di lemari. Tapi kok dibawa.  Kan, pasti ada yang tidak beres.

"Kemana?" Aku kembali mencecarnya, ada titik terang.

"Tau Izzil," ucapnya sambil mengangkat bahu kemudian beranjak duduk di depan televisi. Memindahkan chanel dengan asal.

"Loh, kok Izzil terus?" Aku merebut remote dari tangannya. Lalu mematikan televisi, sengaja!

"Tadi, katanya Mas nyuruh dia buat ambil uang di ATM, karena bensin mobil mau habis."

"Trus kamu kasihkan?" Rasanya jantung hampir copot tak percaya."Sama nomor pinnya juga?" tanyaku mencicit, berharap jawabnya 'tidak'. Tapi Dita hanya menggaruk kepalanya seperti orang kebingungan.

Arrrrggghhhh.... kancil satu ini, bikin ulah. Kesal. Aku harus buat perhitungan. Langsung kusambar hape dan menelponnya.

"Hallo, assalamualaikum," sapanya di seberang dengan renyah.

Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang