Dia terlihat sedang asyik mengutak-atik keyboard komputer desktop dan sesekali melihat ke arah map yang terbuka. Saking konsentrasinya, sampai-sampai tidak menyadari kedatanganku. Apa sesungguhnya yang sedang dia lakukan? Padahal aku tak pernah memberikan akses pada siapapun untuk menyentuh barang-barang di ruangan ini, tanpa izin. Termasuk pada dia.Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, segera kuambil hape dan mengabadikan momen ini dengan video. Siapa tau berguna suatu saat nanti.
"Selesai," gumamnya lirih dengan senyum penuh kemenangan, lalu menekan tombol enter dengan cepat. Melihatnya sudah selesai, aku segera menyentuh tombol 'stop' lalu menyimpan hape di kantong celana.
"Sudah selesai, ya?" tanyaku diiringi senyuman dingin. "Hebat!!! Sungguh luar biasa," ujarku sinis, sambil memberi tepuk tangan pura-pura kagum. Sejurus dia memalingkan wajah padaku.
"Mas... eh..Pak... aku cuma..." Mayang terkesiap, lalu terlonjak bangkit dari kursi. Senyum yang tadi tersungging di bibirnya tiba-tiba lenyap. Wajah ayunya mendadak pucat pasi. Dengan cekatan tangannya segera merapikan map merah yang terbuka itu dengan buru-buru. Yang justru malah membuat berkas yang tertumpuk di meja semakin kocar-kacir.
"Cuma apa, Sayang? Mengapa kau jadi pucat?" tanyaku pura-pura ramah seolah tidak terjadi ap-apa.
Aku melangkah cepat menuju komputer itu. Dia mundur sedikit, memberi jalan padaku. Wajahnya masih tertunduk, namun mata bulatnya melirik gelisah. Aku duduk dengan santai di kursi kerjaku lalu memeriksa komputer yang belum sempat ia matikan.
Ternyata, dia mengubah laporan keuangan kantor, yang besok akan kupresentasikan dalam rapat komisaris. Suara ketukan halus sepatunya memberi tanda kalau wanita sialan itu melangkah menjauh dariku.
"Jangan kemana-mana! Kalau kau tidak ingin berurusan dengan polisi!" perintahku dengan lantang. Aku bangkit dari kursi dan menghampirinya yang berdiri mematung di dekat sofa.
"Apa maksudmu melakukan semua itu?" bisikku geram menahan amarah. Dia hanya diam. Bibirnya terkatup semakin rapat.
"Jawab!!!" bentakku, sambil menatapnya tajam. Dadaku naik turun karena amarah. Panas. Dia sudah mengacak-acak laporan keuangan yang kubuat dengan susah payah. Selain itu, ini bukan saja hanya masalah karir tapi juga hidup dan matiku. Jika sampai besok gagal, aku bisa didepak dari perusahaan.
"Aku cuma ingin melihatmu hancur," ucapnya sengit. Kulihat ada dendam yang tersimpan di bola matanya.
"Kau gila." Emosiku semakin tak terkendali.
"Ya, aku memang gila, anak ini telah membuatku gila," ucapnya getir.
"Anak kamu, kan? Bukan anakku. Atau jangan-jangan kau tidak hamil," cibirku meragukan perkataannya.
"Aku hamil. Dan ini anakmu!" Mayang terlihat tersinggung dengan ucapanku. Dia memandangku dengan tatapan sinis.
"Apakah kau juga mengatakan ini pada pelangganmu yang lain?" tanyaku santai sambil berjalan mengitarinya. "Kau pikir aku tidak tau?" lanjutku berbisik di telinganya dari belakang. Tanpa sedikitpun menyentuhnya.
"Jangan menuduh sembarangan," sahutnya ketus berusaha membela diri. Masih bergeming dan tetap memunggungiku. Kurogoh hape di kantong celana, mencari-cari sesuatu. Ketemu. Kembali kulangkahkan kaki dan kini bediri tepat dihadapannya.
"Oya, Sembarangan? Lihat ini," ucapku sambil mengarahkan layar hape di tanganku pada wajahnya, dari tempatku berdiri. Menunjukkan screenshot percakapan yang waktu itu aku ambil dari hape Mayang.
Wajah masam di hadapanku memicingkan mata bulatnya. Tampak netra kecoklatan itu berusaha keras menangkap gambar yang ada di layar.
"Bukti bahwa kamu adalah cewek bispak. Dan aku tidak akan sudi menikahi barang bekas sepertimu. Ba-rang be-kas," ucapku terkesan menghinanya. Mungkin terdengar sadis. Tapi ia juga sudah keterlaluan. Jika saja ulahnya tidak tertangkap basah, aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya besok.
"Kau..." telunjuknya terangkat, tapi ia tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Kilatan amarah terlihat jelas di mata indahnya.
"Hei... singkirkan tanganmu, Nona. Carilah pelanggamu yang bodoh, siapa tau mau jadi bapak anakmu. Tapi jangan saya. Mengerti!!" ucapku sambil menepis telunjuknya yang terarah ke wajahku.
Tiba-tiba saja dengan secepat kilat, dia berusaha merebut benda pipih itu dari tanganku. Karena kaget, refleks aku mengelak. Menghempaskan tangannya yang berusaha menggapai hapeku. Kemudian aku begerak mundur beberapa langkah menjauh.
Namun, dia tak putus asa. Masih mengejar dan berusaha merebut sekuat tenaga. Aku berusaha mempertahankan diri, dengan cepat memelintir tangannya dan mendorongnya dengan kuat. Membuat Mayang terhuyung limbung.
Perbuatan Mayang membuat gejolak emosiku semakin tak terkendali. Aku lupa jika aku sedang berhadapan dengan seorang perempuan. Wanita yang pernah membuat gairahku sebagai laki-laki menggelora indah.
Kumasukkan kembali benda pipih itu ke saku celana, kemudian aku menghampiri dan mendorong tubuh sintal itu kebelakang hingga menempel ke tembok. Membuatnya terpojok tidak bisa bergerak, karena tangan kiriku menekan bahunya dengan kuat. Sementara tangan kananku mencengkeram pipinya dengan kasar.
"Kau jangan macam-macam," ucapku mengancam. Semakin kueratkan cengkeraman di pipinya. Dia meringis kesakitan. Tapi aku tak peduli. Wanita binal ini bisa menghancurkan karirku sekarang. Aku harus membuatnya jera.
"Lepas! Sakit..." erangnya kesakitan. Aku melepaskan cengkeramanku dengan kasar. Dia tersengal.
Mayang berusaha mendorong tubuhku, tapi kekuatan yang ia miliki tak sebanding dengan kekuatanku. Apalagi dalam keadaan marah, tenagaku menjadi dua kali lebih kuat. Aku justru semakin mendekatkan wajahku padanya. Supaya dia melihat dengan jelas, bahwa aku tidak main-main dengan ancamanku.
"Kalau kau berani macam-macam, awass!!!" bisikku di telinganya, ia masih meronta. Walaupun kulihat ada ketakutan yang terpancar di bola matanya, tapi sedikitpun tak ada air mata yang jatuh. Benar-benar luar biasa.
Tiba-tiba pintu terbuka dan...
"Maasssss...." lengkingan suara Dita mengagetkan aku dan Mayang. Ya Tuhan apalagi ini? Semoga mata siluman gagak kali ini sedang waras.
Next
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?
Любовные романы@cover by Badriklisiansyah Hmmm... aku heran orang-orang menganggapku pendiam. Mungkin karena tak banyak bicara. Sesungguhnya aku hanya belum menemukan lawan bicara yang pas termasuk istriku, walaupun beratus hari sudah kulewati dengannya. Dia sama...