Ternyata di situ terlihat Anton dan Mayang bersama seorang laki-laki botak, yang tidak dapat aku lihat wajahnya, karena ia duduk membelakangi pintu masuk. Mereka bertiga tampak sedang bercengkrama akrab. Dari tempat berdiri saat ini, tak bisa kudengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Tapi dari raut wajahnya mereka tampak bahagia.
Aku mengaktifkan aplikasi perekam suara yang ada di hape. Di tempat umum seperti ini akan sangat mencolok, jika aku menggunakan perekam video.
Aku berjalan mendekat, supaya bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.
"Aktingmu memang hebat Mayang!!" sayup-sayup kudengar Anton berkata dengan bangga. Sedangkan Mayang, hanya mengedikkan bahu lalu tersenyum licik. Aku terus mendekat. Sambil memperhatikan gerak-gerik mereka bertiga.
"Setelah kita singkirkan si Andre sialan itu, kau bisa menggantikannya," sahut laki-laki yang hanya terlihat tubuh bagian belakangnya itu. Aku kenal dengan suara itu.
"Tentu saja, si cecunguk sialan itu selalu menang dariku, tapi tidak sekarang. Ha... ha...," sahut Anton disertai dengan seringai kemenangan. Tanganku mengepal, menahan emosi. Anton yang selama ini kuanggap sebagai sahabat, ternyata ia musuh dalam selimut. Dia mengincar posisiku.
"Tinggal beberapa hari lagi, dia akan resmi dipecat," timpal pria misterius itu.
"Dan Pak Handoko, dia itu hanya orang bodoh yang percaya pada apa yang dia lihat. Hapenya saja hape butut, mana dia tau tentang sosial media," lanjut pria itu yang disambut derai tawa oleh Mayang dan Anton.
Benar, ternyata ada konspirasi di balik penonaktifan ini. Hatiku panas mendengar percakapan mereka. Aku terus mendekat, dan mereka masih belum menyadari kehadiranku.
"Tapi Andre memang hebat, kerjanya bagus. Cuma dia kurang hot. Kalah sama kamu, goyang sedikit saja sudah menggelepar. Ih.. nggak asik," ucap Mayang pada Anton, merendahkanku.
Mereka semua tertawa, wajahku terasa panas. Apa yang lebih menyakitkan bagi seorang laki-laki, selain diragukan keperkasaannya. Awas kau Mayang!!! Aku berusaha sekuat tenaga mengendalikan emosi.
Aku terus mendekat, hingga Mayang menyadari keberadaanku. Dia berhenti tertawa, raut mukanya langsung berubah pias. Anton dan pria misterius melihat perubahan pada Mayang, lalu mereka berdua mengarahkan pandangannya ke arahku. Dan ternyata pria misterius itu adalah Pak Sigit, orang kepercayaan Pak Handoko. Dia juga anggota komisaris. Pasti dia yang sudah memberikan video itu pada ketua komisaris. Shitt!!!! Anton menelan ludah, tawa kebahagiaannya mendadak hilang, berganti wajah terkejut, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pak Sigit salah tingkah melihatku.
"Wah, kayaknya ada yang bahagia, nih," sapaku pura-pura ramah. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tenang. Hati boleh panas, tapi kepala harus tetap dingin.
"Pak Andre," sapa Pak Sigit ragu-ragu.
"Iya, apa kabar Bapak Komisaris?" jawabku dengan nada datar.
"Nggak nyangka berjumpa dengan Anda di tempat seperti ini,"--aku menjabat tangannya-- "bersama mereka," lanjutku menatap Anton dan Mayang dengan sinis.
"Eh... mari silahkan duduk," ucap Pak Sigit gugup. Sedangkan Mayang dan Anton mereka hanya menunduk saja. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut ularnya.
"Terima kasih. Maaf saya buru-buru. Lain kali saja. Silahkan dilanjut ngobrolnya. Aku berbalik hendak keluar, tapi kusempatkan menoleh sebentar pada Anton yang masih tercekat di kursinya.
"Bro, selamat ya. Semoga cita-cita lo tercapai," ucapku ketus. Lalu mematikan perekam suara.
Aku keluar tergesa dari cafe itu. Langsung menuju mobil yang terparkir di jalan dekat toko roti. Menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
Sampai saat ini Dita masih belum kembali. Dasar perempuan hanya untuk membeli roti, butuh waktu selama ini. Jangan-jangan dia malah menunggu yang baru keluar dari oven?
Tak sabar menunggu, aku menyusulnya ke dalam. Mengedarkan seluruh pandangan ke dalam toko roti itu. Terlihat Dita sedang asik mengunyah roti, dengan nikmat, di salah satu meja yang ada di pojok. Ya Tuhan ...
"Ehm... ehm..." sengaja aku berdeham keras. Dita terlonjak, roti di tangannya hampir saja terjatuh.
"Aku kepanasan nunggu di mobil, kamu malah enak-enakkan di sini," ujarku sewot.
"Lah, tadi aku ke mobil, kamu tidak ada," sahutnya santai, sambil mengunyah roti berwarna hijau. Dari warna dan aromanya aku tau itu roti pandan.
"Kapan kurusnya, Sayang...," ucapku sambil geleng-geleng.
"Tenang saja Mas, roti itu terbuat dari tepung almond, dan gula nonkalori. Cocok bagi orang yang sedang menjalani program penurunan berat badan seperti, Dita ini," ucap seorang laki-laki dari arah belakang. Spontan aku menoleh pada arah datangnya suara itu.
Seorang laki-laki berperawakan tinggi, beralis tebal dan hidung mancung dengan rahang tegas muncul di hadapanku. Badannya tegap dan kekar. Dia tersenyum manis.
"Tino, " laki-laki itu memperkenalkan diri.
"Andre," sahutku sambil menyambut uluran tangannya.
"Saya kakak kelas SMP Dita," lanjut pria itu. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan. Pantes, tapi kok, kakak kelas bisa kenal dengan adik kelas. Akrab lagi. Jangan-jangan....
"Kak Tino ini hebat lo, Mas. Dia yang punya toko roti ini, terus dia juga baru buka pusat kebugaran. Hebat, khan?" cicit Dita memujinya. Entah mengapa bukannya senang, aku malah kesal. Dita tak pernah memuji laki-laki lain di depanku, selain ayah mertua.
"Biasa aja kali, Dit. Oh ya, kalau kamu mau bergabung di pusat kebugaranku, nanti aku kasih harga spesial buat kamu. Dan aku sendiri yang bakal menangani kamu. Gimana, tertarik?"
"Wah... mau banget," sahut Dita kegirangan. Lebih tepatnya keganjenan. Sebal. Belum lagi mata lelaki itu. Membuatku muak. Dia menatap Dita dengan teduh. Huh... ingin kucongkel saja.
"Ayo, Ma. Udah siang ini," bisikku pada Dita, tak tahan berlama-lama dengan kakak kelasnya itu.
"Oke," jawab Dita pendek, "Kak Tino, kami duluan, ya," pamit Dita pada pria yang bernama Tino.
"Oh ya, boleh minta nomer hape sekalian WA-nya." Tino mengeluarkan hape pintarnya, lalu menyerahkan pada Dita. Maksudnya, meminta Dita untuk memasukkan nomornya langsung ke hapenya. Hadeeh... lebay banget. Biasa saja kenapa, sih? Ini lagi si Dita, malah sok ramah.
Sementara Dita mengetikkan nomor hapenya, Tino mengangguk, memberi kode pada salah seorang pelayan. Sebentar kemudian pelayan itu datang dengan bungkusan kresek di tangannya.
"Ini buat cemilan di jalan." Tino menyerahkan bungkusan itu pada Dita.
"Makasih Kak," Dita menjawab kecentilan. Pria bernama Tino itu tersenyum manis. Huh...
"Mari, Mas," ucapku sambil menarik kasar tangan Dita. Kebiasaan!!!
Next
Nb. Pengarang nggak menerima protes dalam bentuk apapun.Terutama komen LANJUT / NEXT. Itu bikin yang ngarang langsung kena darting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?
Romance@cover by Badriklisiansyah Hmmm... aku heran orang-orang menganggapku pendiam. Mungkin karena tak banyak bicara. Sesungguhnya aku hanya belum menemukan lawan bicara yang pas termasuk istriku, walaupun beratus hari sudah kulewati dengannya. Dia sama...