"Mas, tadi gimana ceritanya Mbak Dita bisa berantem sama Meyong?" tanya adikku membuyarkan khayalan kucing garong.
"Mayang!"
"Udahlah, Meyong aja." Dia bersikeras menyebut Mayang dengan panggilan Meyong. Kreatif juga.
Aku menceritakan kronologi kejadian, sebelum Dita muncul. Sampai akhirnya mereka adu mulut lalu adu jotos. Dia mendengarkan dengan serius. Terbukti dengan ber-ah oh saja.
"Waduh, bahaya tuh, Meyong! Harus segera diamankan," gumamnya lirih.
"Ada ide?"
Dia menggeleng. Lalu menguap, menarik kedua tangannya merenggangkan otot.
"Anterin aku ke rumah, Mas." Suara Izzil . Aku tak menjawab, hanya memgangguk saja.
"Motormu?" tanyaku, mengingatkannya.
"Biarlah toh, besok aku juga mau ke rumah Ibu sama anak-anak dan Mas Gusti. Ga dipake juga motornya," sahutnya menyandarkan kepala ke jok mobil.
"Mas," panggilnya manja.
"Hmmm," jawabku sekenanya sambil tetap berkonsentrasi ke jalan. Menjelang malam jalanan semakin ramai.
"Sebenarnya Mas sayang nggak sih, sama Mbak Dita?" Pertanyaan macam apa itu? Kayak ABG labil saja. Dasar perempuan! Apa setiap cinta harus diungkapkan. Gengsi tau! Apalagi sama dia. Bisa jadi bahan banyolan.
"Sayanglah, Dek," sahutku asal. Lampu merah menyala. Kuinjak pedal rem. Mobil berhenti perlahan.
"Kalau sayang, kenapa Mas lakukan itu semua. Lihat efeknya?" Dia menatapku meminta penjelasan. Terkesan menyalahkan. Jelas saja dia kan, perempuan. Pasti membela sesamanya. Walaupun jelas-jelas akulah kakaknya. Bukan Dita. Apalagi, dalam masalah perselingkuhan biasanya kaum hawa merasa yang menjadi korban, walaupun sebenarnya mereka juga turut andil dalam masalah itu. Taunya paling termehek-mehek.
"Dek, Mas ini laki-laki normal." Lampu hijau menyala. Aku menginjak pedal gas perlahan.
"Maksudnya?" tanyanya mengharap penjelasan lebih. Aku tetap pada fokusku mengendalikan laju mobil. Dari nada bicaranya, aku tau dia penasaran.
"Ibarat kata ya, kita di rumah makan nasi goreng terus. Betapapun enaknya, suatu saat akan bosan juga." Sebenarnya percuma memberi tau Izzil. Secerdas apapun wanita, kalau sudah menyangkut urusan perasaan, mereka tidak akan bisa berpikir sehat.
"Gak ngerti, ah. Terus terang kenapa sih, Tidak usah pakai peribahasa-peribahasaan gitu." Tuh kan, benar perkiraanku.
"Laki-laki itu suka dengan sesuatu yang indah. Pelayanan yang maksimal. Jangan dinomor duakan. Apapun alasannya," jelasku sok bijak.
Perempuan terlalu banyak pakai perasaan. Pakai logika sedikit, kek? Semua mata yang normal menyukai keindahan. Coba deh, bandingkan melihat wanita pakai daster bolong dengan melihan wanita pakai rok mini. Lebih suka lihat yang mana?
"Pelayanan yang maksimal? Misalnya?" cecarnya terus menginterogasiku.
"Istri yang selalu wangi, ada di rumah, pandai merawat badan. Ga usah ngapa-ngapain lagi, wes. Lah, Mbakmu? Tau sendiri kan, kamu? Kalau Mas macem-macem di luar, mencak-mencak dia. Nangis bombay. Merasa jadi korban, La wong, di rumah aku dicuekin," jelasku panjang lebar. Aku yakin, dia pasti ngomong pada Dita. Kan, cs-nya. Lagian bisa sebagai pembelajaran pada dia juga.
"Sesimpel itu, kah?"
"Ya, tidak sulit, to?"
Izzil menarik napas berat. "Mas, jujur aku takut," ujarnya getir.
"Takut kenapa?" tanyaku penasaran. Baru kali kudengar dia bilang takut.
"Takut akan karma," ucap Izzil membenahi posisi duduknya, "anakmu cewek Mas, aku juga. Jika suatu saat nanti apa yang dialami Mbak Dita itu juga dialami aku atau Aya saja, deh. Bagaimana perasaanmu sebagai seorang ayah? Mas tega?" cetusnya terdengar serius.
Deg... kata-kata Izzil menghujam ulu hatiku. Bisa-bisanya dia berpikir sejauh itu. Benar, jika itu menimpa anakku atau adikku, pasti aku bunuh laki-laki itu. Tak peduli siapa dia. Apalagi Izzil, dia kan, jarang di rumah. Berbulan-bulan baru pulang. Apa iya suaminya betah tidak 'ihik-ihik' selama itu? Atau sudah mati rasa, kelamaan ditinggal. Loh... kok, jadi mikir ke situ.
"Jangan berpikiran macam-macam, ah. Ucapan adalah doa." Aku tak punya jawaban lebih baik dari itu saat ini. Kalau boleh jujur, aku juga takut. Tapi peduli amat. Takdir orang beda-beda. Tergantung manusianya. Manusia gagak, manusia buaya, atau manusia jadi-jadian. Eh...
"Mas, kau adalah saudaraku satu-satunya. Bagaimanapun aku harus ngingetin kamu, Mas. Aku gak mau Mas terjerumus lebih jauh," ucapnya bijak. Untuk saat-saat tertentu dia memang bisa lebih dewasa di banding aku.
"Iya Dek, Mas ngaku salah. Mas Janji ga akan ngulangin lagi," sahutku datar. Untuk saat ini, entah nanti. Haks....
"Salah itu tobat. Matanya coba dirukiyah. Barusan bilang tobat, tapi udah jelalatan lagi," ucapnya kesal.
Aku meringis kesakitan. Dia mencubit pahaku dengan keras. Karena barusan tertangkap basah melirik paha seorang gadis. Montok lagi, gadis itu memakai hot pants dan kaos oblong, menyalip mobilku dengan sepeda maticnya. Rambutnya tersibak terkena angin. Mana tahan.
"Rejeki, Dek!" pekikku tertahan. Lalu terkekeh.
------------------
Setelah sampai di rumah Izzil, aku mampir sebentar. Kangen sama Aya, sudah beberapa hari tak bertemu. Kuajak pulang tapi sayang, tidak mau. Katanya masih mau ikut Izzil yang besok mau ke rumah Ibu, neneknya. Padahal sekarang aku sedang butuh seseorang untuk membantu meredakan kemarahan Dita. Tak ada Izzil dan Aya, mampus! Mau tidak mau harus menghadapi siluman gagak seorang diri.
Aku memasuki rumah dengan was-was, takut ada peristiwa piring terbang season dua. Terlihat Dita sedang duduk manis di depan tivi. Kali ini dia tidak pakai daster. Wajahnya datar, bukan datar tak berbentuk. Tapi datar tanpa ekspresi. Dia juga tak menyambut kedatanganku.
Aku langsung masuk kamar. Istirahat sebentar, lalu mandi membersihkan badan dan pikiran yang seharian sudah terforsir menghadapi dua wanita super. Eh... salah bukan dua, tapi tiga. Kancil, siluman gagak, dan si ular kobra. Berasa kayak kebun binatang ya. Haks...
Aroma khas nasi goreng tiba-tiba tercium. Pasti Dita yang memasak. Siapa lagi? Aku keluar menuju dapur. Dita hanya melirik sekilas menyadari kehadiranku. Kemudian dia meneruskan aktivitasnya. Seolah tak berdosa aku duduk manis menunggu nasi goreng spesialku jadi di meja makan.
Dita menghidangkan dua piring nasi goreng hangat. Tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Entah sariawan, sakit gigi atau kena lem itu bibir. Perasaan sejak sehabis bergulat tadi, dia jadi bisu.
"Makasih, Ma." ucapku dengan senyum mengembang, saat ia menghidangkan nasi goreng itu di meja makan. Jika dilihat dari sikapnya yang masih mau masak untukku, berarti Dita tidak marah. Dia hanya mengangguk saja. Tetap tanpa ekspresi. Haduh, jangan-jangan dia benar-benar kehilangan kemampuan berbicara. Tidak-tidak ini tak boleh dibiarkan. Horor juga kalau seperti ini.
Aku tidak ingat, kapan terakhir kali makan bersamanya. Memang dia selalu menemani, tapi jarang ikut makan. Sekarangpun begitu.
Aku tak segera memakannya. Takut kejadian sianida terulang. Wajar dong, khawatir. Orang kalau sakit hati bisa melakukan apa saja.
Dita tiba-tiba duduk di hadapanku, menatap dengan mata gagaknya. Lalu menyendok nasi goreng hangat yang tersaji di piring satunya. Dia melahap sendok demi sendok dengan cepat. Habis. Tiba-tiba ia menyeret piring nasi goreng yang tersaji di depanku. Melahapnya tak bersisa. Aku tak sempat menghalaunya. Bukan tak sempat, tapi lebih tepatnya takut. Takut ditelan juga. Katanya diet. Tapi kok makan? Lapar apa doyan? Kalau begini terus, dia bisa bertransformasi jadi siluman gajah. Wadaawww....
Next
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?
Romansa@cover by Badriklisiansyah Hmmm... aku heran orang-orang menganggapku pendiam. Mungkin karena tak banyak bicara. Sesungguhnya aku hanya belum menemukan lawan bicara yang pas termasuk istriku, walaupun beratus hari sudah kulewati dengannya. Dia sama...