BAB 8 SHOCKED

138 11 0
                                    

"Alice, kamu mau ikut tidak?!" tanya Bu Larina saat melihat Alice pulang dari sekolah.

"Memang Ibu mau kemana?" Alice balik tanya.

"Kami semua akan ke rumah Nenek. Katanya Nenek ingin melihat cicitnya," jawab Bu Larina.

Alice heran, ia ingat jelas kalau neneknya adalah orang yang paling kecewa pada Vania saat dia pergi dari rumah. Dia bahkan bilang kalau dia tidak akan pernah memaafkan Vania saat dia pulang kembali. Tapi apa sekarang? Kenapa jadi seperti ini? Apa neneknya tidak benar-benar kecewa? Apa selama ini semuanya palsu? Dan Alice hanya dibodohi? Atau mungkin ini karena Inara? Inara yang membuat semua orang memaafkan Vania? Tapi tentu saja Alice adalah pengecualian, ia masih belum percaya jika kakaknya itu sudah benar-benar berubah.

"Bukannya Nenek.." Alice sengaja menggantungkan ucapannya, tapi ia tahu ibunya pasti mengerti.

"Nenek sudah memaafkannya. Lagipula Vania sudah berubah, dia tidak akan mengulangi kesalahannya apalagi dia sudah memiliki Inara sekarang. Dia tidak mungkin memberi contoh yang tidak baik untuk anaknya," tepat seperti digaan Alice, Bu Larina mengerti akan maksudnya.

"Tapi Bu-"

"Sudahlah Alice. Oh ya, kamu ikut tidak?" Alice menggeleng lemah. Jawabannya selalu tidak setiap diajak menemui Neneknya. Karena dia tahu mereka tidak pernah menyukai Alice. Mereka selalu mengabaikan Alice entah karena apa.

"Kamu yakin? Kamu sudah lama lho tidak bertemu Nenek. Apa kamu tidak berpikir Nenek merindukanmu?!" tawar Bu Larina kembali. Sebenarnya Alice merindukan Nenekya, sangat sangat rindu. Tapi keadaan memaksanya untuk menahan perasaan.

"Nenek tidak merindukanku Ibu, Nenek hanya akan merindukan Kak Vania!" Alice tersenyum getir dengan kata-katanya sendiri.

"Apa maksudmu Alice?! Nenek juga pasti merindukanmu, apa yang membuatmu pesimis begitu hm?!" tanya Bu Larina membuat Alice meneetawakan dirinya sendiri yang begitu menyedihkan.

"Tidak Ibu.. Berhenti mencoba menghiburku! Aku yakin Ibu tahu pasti kenyataannya," Bu Larina merasa sangat bersalah melihat anaknya kini tertunduk dalam sedih. Namun apalah, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga akhirnya Bu Larina hanya menepuk pundak Alice pelan sambil berbisik 'Maafkan Ibu Nak!', lalu berlalu pergi.

'Aku merindukanmu Nek'

Setetes cairan panas jatuh di pipi gadis itu.

"Alice, kami pergi sekarang. Tolong jaga rumah baik-baik ya! Kalau mau makan kamu bisa masak sendirikan? Lihatlah ada apa di lemari es," Alice melihat Vania sedang menggendong Inara. Mereka terlihat sudah rapi dan siap berangkat. Dalam hati kecilnya dia berdo'a semoga Neneknya bahagia melihat cicit pertamanya.

"Alice? Kamu melamun?" Bu Larina kembali memegang pundak Alice untuk menyadarkannya.

"Iya Bu ada apa?" ucap Alice sedikit tersentak saat lamunannya buyar.

"Kamu mendengar ucapan Ibu tadi?!" Bu Larina memastikan.

"Iya Bu," ucap Alice pelan seraya mengangguk kecil.

"Yasudah kalau begitu kami pergi dulu! Ayah sudah menunggu di mobil," Alice memperhatikan setiap langkah mereka. Hatinya bergetar sakit saat ia ditinggalkan. Mungkin garis hidupnya memang untuk sendirian. Alice memang menolak ikut, tapi jika ibunya sedikit membujuk mungkin Alice akan pergi karena dia tidak suka sendirian.

"Aku tidak mau sendirian di rumah, tapi aku juga tidak mau ikut ke rumah Nenek!" gumam Alice dengan setetes liquid bening menuruni pipinya. Hingga lama ia mematung di tempat, dia pun mulai berjalan menuju kamarnya. Sepanjang jalan benaknya kembali menampilkan wajah Kakaknya dan Inara yang sedang tersenyum bahagia tadi.

HEARTACHE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang