Maret 2009
Matahari tampak sembunyi-sembunyi seperti keceriaan seseorang yang sedang berjalan dengan menahan sesuatu dalam hatinya dan mencoba menutup rapat-rapat kedua mata dan telinganya.
"Lihat! Dia bahkan sangat berbeda jauh dari Liana!" seru seorang wanita paruh baya berkacamata pada beberapa orang teman sebayanya. Sejak tadi matanya yang sarat akan ketidaksukaan tak pernah lepas memperhatikan langkah Alice yang sedang berjalan melewatinya.
"Ya, dia sangat jauh di bawah Liana. Wajahnya juga sangat jelek dan menyedihkan jika dibandingkan Liana! Ck. Dia bahkan tidak pernah tersenyum sedikit pun, wajahnya hanya selalu terlihat masam dan rasanya sangat pahit untuk dilihat!" balas wanita tua lainnya yang juga sedang memperhatikan Alice.
Sedangkan gadis itu, Alice. Ia berusaha keras untuk menulikan pendengarannya dan membutakan matanya. Hinaan seperti itu sudah tidak asing lagi baginya, bahkan sudah seperti makanan sehari-harinya selama ini. Dan itu jugalah yang membuat ia malas keluar rumah, tapi bahkan ia juga tidak betah berlama-lama di dalam rumah.
Dan nama yang sedari tadi disebutkan para ibu-ibu itu, nama yang tak hentinya dibandingkan dengan Alice. Pamilik nama itu sebenarnya seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan Alice. Tapi entah apa yang terjadi hingga hubungan itu retak dan hancur berkeping-keping.
Dulu, Alice dan Liana bersahabat dekat dan hubungan itu berjalan baik hingga mereka mulai memasuki tahun ketiga sekolah dasar. Tahun dimana semuanya mulai berubah. Ambisi, persaingan, dan kebencian mulai menguasai hati Liana. Gadis itu mulai menjadikan Alice sebagai saingannya dalam hal apa pun sejak Alice mendapat juara kelas pertama di tahun itu. Lambat laun Liana merenggut segalanya dari Alice.
Harga diri dan reputasi Alice seakan sudah hancur di tempat ini, tempat yang dulunya sangat ia banggakan sebagai tempat kelahirannya. Entah apa yang dilakukan keluarga Liana hingga ia dihina habis-habisan setiap harinya. Entah itu oleh orang-orang di desanya, maupun di sekolahnya.
Awalnya ia selalu sakit hati mendengar hinaan itu. Namun lama-kelamaan ia merasa bosan dan mulai mengabaikan segala hinaan itu. Ia selalu berusaha hidup dengan baik, melanjutkan prestasinya tanpa memikirkan orang-orang yang sudah tidak menyukainya. Dia tidak punya teman. Liana menjauhinya, dan teman-temannya yang lain juga. Ia tidak suka hidup sendiri, tapi toh ia masih memiliki ibunya. Jadi dia berpikir, tak apa sendirian di sekolah yang penting dia tidak sendirian di rumahnya.
Saat kaki-kaki mungil Alice sampai di teras rumahnya, ia terdiam memandangi ujung sandalnya. Ia merasa ragu untuk melangkah masuk."Alice! Kenapa diam disitu Nak? Ayo masuk! Sampul bukunya sudah dapat?" teriak Bu Larina, ibunya Alice dari dalam rumah. Ia adalah satu-satunya orang yang membuat Alice tidak merasa sendirian dan bisa bertahan untuk tidak pergi dari rumah. Ia juga orang yang sangat dihormati Alice.
"Iya Bu Alice masuk. Alice tidak dapat sampulnya, tidak ada yang mau menjual sampul buku untuk Alice!" jawab Alice lirih namun masih terdengar oleh Ibunya. Dengan perasaan yang masih ragu ia melangkah masuk ke rumahnya.
"Oh?! Tidak ada?!.. Ah!! Yasudah, Alice tenang saja! Besok Ibu pergi ke pasar untuk membeli sampul bukunya. Jadi sekarang lebih baik Alice tidur siang," ucap Bu Larina menenangkan, ia pun mengusap-ngusap rambut Alice yang panjang.
"Baik Bu," sebenarnya selama ini Alice ingin sekali menceritakan masalahnya, hanya saja ia tidak ingin menambah beban pikiran Ibunya. Jadi dia lebih memilih memendam semua yang dia rasakan sendirian.
Kakinya kembali melangkah ke dalam kamar kecilnya, dan mengunci pintu dari dalam. Ia menaiki ranjangnya dan menenggelamkan dirinya dibalik selimut.
Hiks
Hiks
Hiks
Terdengar isak tangis dari dalam selimut itu. Alice menangis keras tanpa suara, dan hanya isakkan pelannya saja yang terdengar. Inilah yang selalu dilakukannya, menangis dalam diam dan sendirian. Ia tidak ingin membuat Ibunya khawatir. Tapi perasaan sakitnya sudah tidak bisa dibendung lagi hingga hanya sebuah tangisan yang bisa meredakannya. Tak peduli besok kepalanya akan sakit jika ia terus menangis hingga tertidur dengan wajah yang basah air mata.
Sedangkan di luar kamar itu, Ibunya juga sedang menahan tangis melihat kehidupan anak keduanya yang sangat menyedihkan. Ingin rasanya ia menghukum semua orang yang membuat putrinya menangis. Walaupun selama ini Alice menyembunyikan semuanya, tapi ia tahu. Ia tahu ada sesuatu yang menimpa Alice, hingga ia mencari tahu dan menemukan sebuah kebenaran yang tidak bisa ia selesaikan.
Dalam benaknya ia ingin sekali membantu Alice dan membuatnya kembali bahagia. Tapi apa yang bisa dilakukannya, ia tidak sekaya keluarga Liana yang bisa melakukan apa pun sesuai keinginan mereka. Keluarga Alice hanyalah keluarga sederhana biasa yang tidak punya pengaruh besar di tempatnya ini.
Cklek
Bu Larina membuka pintu kamar Alice menggunakan kunci cadangannya. Ia masuk dan duduk di tepi ranjang Alice. Sedikit menyingkap selimut yang menutupi wajah gadis itu, dan dengan lembut ia membelai rambut Alice sambil berucap lirih.
"Kamu akan bahagia Nak, kembalilah menjadi putri Ibu yang ceria.. Kamu tidak perlu mendengarkan mereka. Mereka hanya iri sehingga mereka mengatakan hal buruk tentangmu. Percayalah, kamu sangat cantik dan pintar. Mata mereka saja yang sudah rusak hingga mereka mengatakan kamu jelek. Alice adalah yang tercantik. Kamu ingat cerita yang pernah Ibu bacakan untukmu? Alice In A Wonderland. Bukankah kamu selalu bilang ingin menjadi seperti Alice dalam cerita itu?! Alice yang cantik dan pemberani. Ia bisa menunjukkan pada musuhnya kalau ia hebat. Kamu harus melakukan itu. Teruslah berprestasi dan jadilah orang hebat yang sukses. Tunjukkan pada mereka kalau yang mereka katakan tidaklah benar," Bu Larina menjeda ucapannya beberapa saat.
"Alice.. Ibu menyayangimu!! Sangat sangat menyayangimu.." Bu Larina memeluk leher Alice yang berbaring kemudian mengecup kecil dahinya dengan sayang. Lalu Bu Larina beranjak dari duduknya dan keluar.
"Ibu tahu kamu mendengarnya Alice! Ingatlah terus ucapan Ibu!" Bu Larina mengatakannya sambil berjalan keluar dan menutup kembali pintu kamar Alice.
Hingga beberapa saat berlalu, Alice bangkit dan menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang dengan mata yang menerawang jauh.
"Ibu benar, kenapa aku menangis?! Apa yang bisa berubah dengan menangis? Menangis tidak pernah menyelesaikan masalahku. Aku harus berusaha bukan seperti ini," dengan segera Alice turun dari ranjangnya dan berjalan menuju meja belajarnya. Ia membuka buku dan mulai membacanya dengan serius.
"Lihat saja, aku akan jadi orang hebat. Aku akan melakukannya Liana, aku akan melakukannya jika itu maumu. Kamu selalu menjadikanku sainganmu, dan sekarang aku benar-benar akan menjadi sainganmu. Aku bersumpah akan mengalahkanmu!" tekad Alice mantap. Ia mengepalkan kedua tangannya dan kembali belajar. Sedangkan Bu Larina hanya tersenyum simpul melihat Alice dari balik pintu kamar anaknya itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTACHE [Completed]
Ficción GeneralAlice, gadis yang hidup dengan bayang-bayang masa lalu kelam. Setiap harinya selalu tak luput dari berbagai kejadian menyakitkan. Harinya yang buruk semakin buruk dengan kemunculan orang yang sangat turut andil dalam masa lalunya. Hingga suatu hari...