Mata Darka terbelalak tak percaya, sesekali dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa maksudmu Alice?" mendengar pertanyaan Darka, gadis itupun mengalihkan pandangannya dari Darka.
"Sudah kubilang aku bukan Alice. Dengar dan jangan pernah bertanya lagi. Aku Alisa. Sedangkan gadis bernama Alice itu, dia sedang tertidur pulas jauhhh disana!!! Di tempat yang bahkan siapapun tidak akan tahu!"
Darka semakin merasa aneh pada Alice. Cara dia berbicara benar-benar berbeda dari Alice. Alice tidak pernah berbicara sedingin dan seketus ini padanya. Apa mungkin dia memang bukan Alice? Lalu kemana Alice? Ia ingat betul kalau wajah cantik dihadapannya ini adalah milik Alice.
"Alice, kamu baik-baik saja? Apa perlu kupanggilkan dokter?!" tanya Darka ragu.
"Berhenti memanggilku Alice!! Aku Alisa! Dan apa ini!! Cepat lepaskan! Aku ingin pulang!!" Alice memegang infusan ditangannya jijik. Sedangkan Darka, tanpa bertanya lagi dia segera pergi untuk memanggil dokter. Sepanjang jalan dia terus memikirkan ucapan dokter tadi dan keanehan Alice barusan.
'Dokter bilang Alice alergi dingin dan shock berat. Dokter tidak bilang apapun selain itu. Tapi kenapa Alice bersikap aneh?'
Setelah Alice diperiksa dokter, Darka kembali kebingungan. Dokter mengatakan keanehan Alice disebabkan oleh depresi yang baru saja dialaminya. Dan dia malah menyuruhnya untuk memeriksakan Alice pada psikiater atau psikolog.
"Besok kamu bisa pulang, istirahatlah!" bukannya menuruti perkataan Darka, Alice malah menuruni ranjangnya dan pergi keluar membuat Darka kembali menghela nafas berat.
"Kamu mau kemana?" tanya Darka sedikit kesal.
"Menemui keponakannya Alice!" Darka kembali bingung mendengar Alice membicarakan dirinya sendiri seolah dirinya adalah orang lain. Lalu Darka pun mengikuti Alice hingga ke meja resepsionis.
"Apa disini ada pasien baru? Seorang anak kecil yang jatuh dari tangga?" tanya Alice datar pada seorang wanita dibalik meja resepsionis.
"Ya ada. Pasien bernama Inara Nur Valgis," sungguh beruntung Alice, ternyata Inara juga dirawat di rumah sakit ini.
"Dimana kamarnya?" nada bicara Alice benar-benar seperti bos yang sedang bicara pada bawahannya, dan ini benar-benar bukan seorang Alice.
Setelah bertanya pada resepsionis, Alice pun menghampiri Inara di kamarnya dengan diikuti Darka dibelakangnya. Infus Alice memang sudah dilepas sesuai keinginannya, tapi ia masih harus dirawat hingga besok pagi.
Cklek
Dengan kasar Alice membuka kamar rawat Inara.
"Hai keponakan!!" oh ini memang bukan Alice. Sejak kapan Alice berbicara seperti ini. Rasa bersalahnya pun entah hilang kemana.
"Kenapa kamu kesini heh? Cepat pergi!!" usir Nenek saat melihat Alice melambaikan tangannya dari ambang pintu.
"Nenek mengusirku? Kenapa?" tanya Alice dengan nada mengejek.
"Kamu benar-benar tidak tahu diri!! Kamu sudah melukai cicitku, dan masih bertanya kenapa? Apa kamu tidak merasa bersalah sedikitpun?!!" bentak Nenek dengan emosi meluap-luap.
"Owhh begitu ya.. Tapi tahu darimana Nenek kalau aku yang melukainya? Apa cicitmu yang masih belum sadar itu mengirim telepati padamu?" entah dapat keberanian darimana Alice bisa berbicara begitu pada Neneknya.
"Ka-"
"Nek, sudahlah. Kalian bisa membangunkan Inara," nada lelah itu mengalun pada ucapan Vania. Dia berbicara tanpa menoleh sedikitpun pada Nenek maupun Alice.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTACHE [Completed]
General FictionAlice, gadis yang hidup dengan bayang-bayang masa lalu kelam. Setiap harinya selalu tak luput dari berbagai kejadian menyakitkan. Harinya yang buruk semakin buruk dengan kemunculan orang yang sangat turut andil dalam masa lalunya. Hingga suatu hari...