The Beast - 6

602 73 14
                                    

Felice menyukaiku. Hanya dalam beberapa hari aku bisa melihat sorot matanya ia menyukaiku. Ini bagus. Aku yakin sebelum semua bunga mawar berguguran, aku bisa kembali seperti semula. Lalu setelahnya aku akan menikahi Felice.

Rencana yang bagus. Ia wanita yang membebaskanku dari kutukan ini. Ia cinta sejatiku. Tidak ada salahnya jika aku menikahinya seperti yang ada di dongeng. Happily ever after.

Toh, aku mendapatkan wanita yang cantik, cerdas dan baik. Tidak peduli ia bukan berasal dari keluarga kaya raya. Yang terpenting ia mencintaiku apa adanya. Bahkan disaat aku menjadi monster ia jatuh cinta padaku. Dibandingkan wanita lain yang hanya mengincar kekayaanku.

Aku bersandar di kursi. Membayangkan wajah cantik Felice. Senyumannya. Aku menutup kedua kelopak mataku. Ingin terus membayangkan wajah cantik Felice yang berbentuk oval. Kulitnya kusam dan rambutnya berantakan. Matanya yang berwarna coklat seperti madu yang memerangkapku di dalamnya.

Tunggu! Aku membuka mataku. Itu bukan Felice! Kenapa aku malah membayangkan penyihir jelek sebelum ia berubah menjadi tua!

Ini salah! Tidak seharusnya aku membayangkan si jelek itu. Otakku benar-benar kacau. Lebih baik aku membayangkan dengan mata terbuka.

Aku memposisikan tubuhku bersandar dengan nyaman. Tetapi yang ada malah membayangkan wajah penyihir tua itu! Agh! Apa ia menggunakan sihir agar aku tidak bisa memikirkan Felice?!

Ia pasti melakukannya! Beberapa kali aku membaca pikirannya yang ingin mencelakai Felice. Entah kenapa hanya saat itu saja aku bisa mengetahui pikirannya. Selainnya, aku tidak dapat kecuali membaca dari raut wajahnya yang memikirkan hal yang jahat.

Akhir-akhir ini ia menjadi orang yang berbeda. Aku dapat merasakannya. Ia menjadi penyihir yang ada di buku cerita. Nenek sihir yang jahat. Terutama saat aku tahu ia bisa berubah menjadi monster. Ia sangat mengerikan. Satu-satunya cara saat ia lepas kendali hanya membunuhnya. Menikam jantungnya.

Drrrttt! Suara telepon mengejutkanku. Hampir membuatku jatuh dari kursi. Sialan! Siapa yang menelponku! "Halo" ucapku dengan kasar pada lawan bicara.

"Will, kenapa kamu matikan handphonemu?" Suara di seberang tanpa perlu menanyakannya aku tahu itu siapa penelpon yang mengagetkanku.

"Aku sedang tidak ingin diganggu, Keane" jawabku kesal pada Keane, sahabatku sejak kecil. Memang bukan salahnya menelpon hingga membuatku terkejut. Tetapi aku tidak bisa menahan amarahku. Aku selalu marah.

"Dude, semua orang menanyakan kamu ke aku. Sebagai seorang sahabat aku sangat terganggu tidak tahu kabarmu. Bahkan email ku saja kamu tidak balas"

Ya, aku memang sengaja tidak ingin membaca apalagi membalasnya. Aku tidak ingin melihat reaksinya saat melihatku sekarang. Aku takut ia pergi seperti Jessy. Aku takut mengetahui jika ia mengkhianatiku. Meninggalkanku saat aku susah.

"Aku sedang ingin menyendiri"

"Menyendiri? Kamu pasti tidak waras. Apa kamu sedang patah hati? Ah, tidak. Kalau patah hati kamu akan berpesta. Apa yang terjadi denganmu, Will? Kamu sakit parah?"

"Tidak. Dengar aku hanya sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun"

"Sayang sekali, dude. Kamu tidak bisa melakukan hal itu. Aku tidak akan mengizinkannya. Aku sudah mengundang semua orang untuk berpesta di rumahmu"

"Apa?! Kenapa kamu seenaknya mengundang orang tanpa izinku?!"

"Dude, sejak kapan aku harus meminta izinmu mengadakan pesta?"

Sial! Itu benar. Ia tidak pernah minta izin setiap kali ia mengadakan pesta di rumah ini!

"Anggur di ruang penyimpananmu masih banyak kan?" tanyanya tanpa peduli dengan kekesalanku.

Witch and The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang