Leve mendudukkan tubuhnya di atas kursi rotan kecil di balkon rumah.
Setelah menaruh berbagai bahan di keranjang tadi dan memasak, Leve sekarang memutuskan untuk membaca buku-buku tebalnya.
Entah mengapa, terasa asyik sekali.
Bersama buku Romeo and Juliet, gadis enam belas tahun itu terlarut menikmati isi buku.
Bahkan ketika baru membaca sepenggal kata saja, matanya sudah berkaca-kaca. Entah bagaimana jika nantinya dia sudah tiba di pertengahan. Kesedihan di lubuknya yang tenggelam dalam buku itu mungkin saja akan semakin besar. Bisa jadi air matanya sudah tumpah.
"Apa pentingnya membaca buku?"
Dari kejauhan, Damb, si vampir itu duduk di atas atap rumah bergumam sambil menggenggam payung hitamnya. Pria itu bertopang dagu. Sekilas dia dapat melihat gadis incarannya itu menangis, menghapus air mata yang turun. Begitu menerus.
"Aakh!" Gadis itu terlihat berteriak frustasi karena kisah di dalam buku itu menohok hatinya. Membuat Damb menyunggingkan bibirnya. Itu lucu.
Dari orang-orang, Damb tahu bahwa gadis yang bernama Leve itu merupakan seorang pendiam. Gadis manis berkulit putih bersih dengan mata hazel itu sosok tertutup.
Tapi, dari atas balkon, sekarang Damb tidak heran lagi. Jelas saja. Gadis itu terlihat bebas. Ketika seseorang tak lagi di keramaian, topengnya akan mudah terlepas. Seperti gadis itu.
Sosok kaku itu sekarang terlihat lepas. Tak lagi malu menutupi sedihnya sendiri. Berani bertaruh, Damb merupakan pria yang pertama kali melihat gadis itu seperti ini.
Sejenak Damb berpikir. Dia juga beranjak dari tempatnya ketika gadis itu beranjak dan menutup buku mengetahui langit sudah menggelap.
Gadis itu masuk ke dalam, menutup pintu balkon dengan mata sembab. Dan inilah waktunya Damb melaksanakan rencananya.
✏✏
Usai membersihkan tubuhnya, Leve menuju ke kebun khususnya. Tidak seperti kebun lain yang berada bebas di luar rumah, kebun milik Leve justru berada di dalam rumah.
Mata hazelnya sekarang terpaku pada tanaman-tanamannya. Dia mendesah. Buah-buah yang ditanamnya syukur baik-baik saja. Tak ada bekas gigitan.
Merasa lega, Leve membiarkan tanaman hidroponiknya begitu saja. Tanaman yang telah disiramnya dini hari tadi masih begitu bagus. Tak ada tanda-tanda buruk selama dia menjalani harinya. Apakah Mr. Robinson berbohong?
Kecewa sudah dirinya. Ternyata semua orang masih sama. Masih sama-sama suka menakutinya.
Kamu sendirian, Leve. Konon katanya, orang yang hidup sendirian akan mengalami sindrom berat.
Matamu akan buta jika melulu membaca.
Kamu seperti buku-buku baru yang tergeletak begitu saja. Masih muda, tapi begitu kusut. Pendiam. Mimpi buruk pasti sedang menghantuimu.
Dan Leve menganggap, orang-orang di sekitarnyalah yang merupakan mimpi buruk itu sendiri. Membuat Leve ketakutan setiap malam. Menggigil, berdiam, merenung.
Tapi sekarang, Leve yang jauh lebih tegar ini telah berbeda. Dia sudah kebal. Dia tahan. Tapi yang tak pernah gadis itu tahu, dirinya terlalu polos itu mengetahui suatu kebenaran. Nyatanya orang-orang di sekitarnya tak seburuk itu.
Swiiing. Sepertinya, angin malam ini terlalu lebat sehingga membuat sisi jendela kamarnya terbuka. Leve menegak ludah terkejut. Cepat-cepat dia menuju ke jendela panik. Sekilas terlintas ingatan pagi hari tadi ketika dia mendengar derap langkah kaki mengikutinya di belakang.
"Mengerikan!" teriaknya sambil menutup jendela kamarnya kencang-kencang menggunakan dua tangan.
Tapi alangkah mengerikannya lagi, ketika dia membalikkan badan, seorang pria tinggi berwajah pucat tengah berdiri menghadapnya.
Jantung Leve berdetak cepat. Matanya membulat kaget ketika pria bermata merah gelap itu menyala-nyala. Berkobar. Seolah melalui tatapannya, Leve tahu bahwa sebentar lagi mimpi buruk yang kerap dibicarakan orang-orang terhadapnya kemarin-kemarin akan menjadi... nyata.
"Namaku, Damb."
"Eh! Ka-kau," suara Leve tercekat di tenggorokkan. Setelahnya, yang mampu Leve rasakan adalah bahunya yang dibenturkan, didorong menatap dinding. Rasa-rasanya tulangnya seketika itu patah.
Dia belum pernah diperlakukan sebegini kerasnya.
Pria itu mendekat. Kali ini mencekik leher Leve dengan ujung kuku tajamnya, menyeringai. Kemudian menghirup aroma tubuh Leve lekat-lekat. Mata merahnya terlihat semakin membara.
Dia bahkan mengabaikan rontaan Leve. Seolah membuat gadis itu sesak napas adalah hal biasa.
"Hai, Leve."
--
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
My Soul
VampireAku ingin mati. Kalimat itulah yang selalu dirapal Leve akhir-akhir ini. Dia ingin mati. Bukan karena dia sedang membenci kehidupan atau pun dia sedang pasrah pada nasibnya, tapi karena dia telah lelah dikejar-kejar oleh seorang... Vampir. Dia gadis...