9. Bahaya Baru (2)

2.7K 244 14
                                    

Si supir itu membuka maskernya. Tersenyum culas.

"Leve, keponakanku," panggilnya.

Tapi Leve hanya diam. Dia gentar. "Jors?" Leve terbata-bata. Langkahnya satu langkah lebih mundur ketika Jors mendekatinya.

"Bukankah kau masih di dalam penjara?" Leve mengatupkan mulutnya. "Bukankah kau sedang dalam masa penyiksaan?"

Leve ingat sekali dengan pencurian emas di kotanya. Leve ingat tempat penyimpanan uang terbesar Volterra yang dirampok besar-besaran. Leve ingat siapa yang selalu meneror warga-warga atas nama harta, dan pengintaian atas nama dendam.

"Aku sudah bebas." Jors menyeringai lepas. "Sekawanan makhluk membantuku keluar dari penjara."

Sekilas, Jors melepas bajunya. Menunjukkan bekas cambukan di punggungnya, bekas goresan pisau di tangan kakinya, mata hidungnya yang bengkak, dan sudut bibirnya yang berdarah-darah. Seperempat rambutnya dibotak.

"Kau pantas mendapatkannya, Jors," Leve bergumam. Intonasi suaranya tinggi.

"Panggil aku 'Paman'. Di mana sopan santunmu terakhir kali kita bertemu?"

"Aku memang hanya memilikimu sebagai keluarga. Tapi sekarang aku menganggap diriku sebatang kara," Leve tersenyum sendu. Rasa sakit di hatinya runtuh. "Kau bukan pamanku. Kau hanya seorang pencuri." Jors... bukan siapa-siapa lagi untuknya.

"Aku datang padamu bukan tanpa alasan, Leve. Aku dibebaskan sekawanan makhluk yang juga meminta imbalan padaku." Jors menerangkan. "Mereka menginginkanmu."

Hening sejenak.

"Keluarlah rioters, para perusuh," Jors terlihat seolah memanggil seseorang. Padahal di jalanan penuh hutan ini tidak ada siapa-siapa.

Baru setelah Jors memanggil sebanyak tiga kali, sekawanan itu muncul. Bayang-bayang yang berlari, berkelebat tampak mengelilingi mereka dengan kabut asap.

"Dia orangnya." Jors menunjukkan jarinya ke arah Leve, menyuruh sekawanan itu mengambil bagiannya.

Sejenak, sekawanan itu berhenti berlari. Ada sekitar tujuh orang dengan payung hitam masih mengelilingi mereka. Gigi taringnya memberi lampu merah di kepala Leve, bahwa mereka yang dimaksud rioters adalah... sekawanan vampir.

Leve mengatur detak jantungnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Leve mengatur detak jantungnya. Dia sudah duluan berlari sebelum rioters itu menyerbunya. Tapi kemudian, Leve merasa usaha kaburnya percuma.

Karena setelahnya, ada seseorang yang menangkapnya, membekap mulutnya, dan membawanya pergi entah ke mana.

✏✏

"Leve," panggil seseorang itu setelah mereka berhenti di sebuah rumah pohon klasik. Cahaya senja membuat rumah itu terlihat indah.

 Cahaya senja membuat rumah itu terlihat indah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Leve yang masih memejamkan mata hanya diam. Bibirnya bergetar. Dengan seluruh keberanian, dia membuka mata. Melihat sosok yang sekarang sedang menggendongnya.

"Damb?" Leve terkejut. "Damb?" ulangnya lagi.

Damb hanya terkikik melihat tingkah Leve.

"Aku sudah bilang jangan mengikutiku," suruhnya.

"Aku juga sudah bilang kau akan menyesali keputusanmu," Damb membalas tak mau kalah.

"Kau sekawanan dengan mereka, bukan?" Leve berontak dalam gendongannya, kemudian memaksa turun, tetapi Damb jauh lebih kuat dan mencekalnya. "Kau menyiksaku, kau... vampir psikopat."

"Kau salah paham Leve. Terserahlah." Damb menurunkan Leve, kemudian mendudukkan diri di tepi teras rumah. "Mereka akan jauh lebih ganas daripada aku."

"Astaga, apa yang mereka inginkan dariku?!" Leve mengacak rambutnya. Masih menatap sekeliling waspada.

"Berapa usiamu?" Itu pertanyaan yang sama beberapa waktu lalu. Damb menguji Leve, "Jujurlah kali ini."

"Dua hari lagi tujuh belas tahun."

Damb seketika tertawa. Sedangkan Leve mendengus bingung.

"Darahmu manis, Leve. Aromamu, harum kehidupan dalam lekuk kulitmu menjaminkan kekuatan. Berarti dua hari lagi adalah saat-saat penghabisan." Damb yang sekarang telah melihat Leve duduk di sampingnya segera membuka luka di balik lengan Leve. Dihirupnya bekas darah itu tergiur. "Mereka menginginkan ini."

"Tidak masuk akal." Leve mendelik. "Kau tahu Jors? Bagaimana bisa dia bekerjasama dengan rioters?"

"Lelaki sampah itu pernah didatangi salah satu dari mereka. Menjalin kooperatif, membentuk simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan, Leve," jelas Damb. "Dan imbalan yang diberikan Jors untuk mereka adalah dirimu."

Leve terdiam. Dia kehabisan kata-kata. "Apa hanya aku yang memiliki darah ini?"

"Ada yang lain. Setiap empat ratus tahun sekali, akan ada satu gadis usia tujuh belas tahun yang akan mendapati anugerah itu. Anugerah yang jatuh secara acak di belahan bumi. Gadis itu akan memiliki kekuatan tak terkalahkan."

Damb dan Leve saling bertatapan untuk sebentar, seolah melalui tatapan itu, Damb sedang mencari kebenaran, dan Leve mencari kepercayaan.

"Gadis yang terakhir kali memiliki anugerah itu sudah jatuh di tangan vampir lain. Sosok vampir itu bahkan sudah menguasai dua samudra terbesar di dunia."

Orang-orang bilang, anugerah itu kutukan. Tapi bangsa vampir menyebutnya keajaiban.

Leve semakin kehabisan kata-kata. Dia ingin bicara lagi, tapi tertahan. Bibirnya terkatup rapat.

"Jangan bercanda, Damb."

"Barang siapa vampir yang mampu menghisap darah itu, dia juga akan diberi hadiah oleh raja vampir berupa bintang pengharapan."

"Maksudnya?"

"Raja itu akan bisa mengabulkan satu permintaan pada siapapun yang mampu mendapatkannya."

Leve gemeteran. Tanpa sadar dia mundur pelan-pelan menjauh dari Damb. "Damb...."

Yang Leve dapat simpulkan, sekarang bahaya sesungguhnya, bahaya sebenarnya yang paling mematikan adalah... Damb. Sosok yang paling dekat denganmu, dialah yang paling berpotensi menebaskan pedangnya pada punggungmu.

Damb mengincar darahnya, Damb pasti akan membunuhnya.

"Leve," sekarang suara Damb terdengar parau mengerikan. "Aku yang pertama menemukanmu, maka akulah yang pantas mendapatkanmu."

••
TBC!

Sebentar lagi damb akan melaksanakan misi sesungguhnya!

My SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang