25. Pertanyaan sesat

1.9K 164 28
                                    

Sekarang, Damb dan Leve berada di kamar. Mereka berdua duduk di tempat tidur Leve, saling berhadapan.

"Kenapa kau ke kamarku?" Leve membaringkan tubuhnya lemas. Mengamati Damb yang asyik menepuki kepalanya sayang.

"Aku ingin menemani calon istriku," seru Damb singkat.

"Apa?" Leve menoyor kening Damb, "Sampai kapanpun aku tak akan mau bersamamu. Kau menyebalkan."

"Sungguh?" Damb memiringkan kepala dengan raut menggoda lagi.

"Sungguh dan sangat sangat sangat sungguh!"

Damb berhenti menepuki puncak kepala Leve. Pria itu terlihat bangkit dari duduknya, beranjak menuju laci kamar. Gerak-geriknya cepat. Sekarang dia telah kembali dengan sebuah alat yang Leve tak tahu apa namanya dan bagaimana bisa berada di sana.

"Apa yang akan kaulakukan?"

Damb tidak menjawab.

Pria itu hanya duduk kembali di sisi Leve, di atas tempat tidur, kemudian memain-mainkan alat seperti pena itu dengan raut jenaka.

"Aku akan menunjukanmu seperti apa cintaku."

Setelahnya, Damb menekan pucuk alat itu ke pergelangan tangannya, menuliskan sepenggal kata 'Leve' secara latin dan horizontal dengan raut kesakitan. Menahan ngilu.

Baru setelahnya, Leve menyadari bahwa alat itu semacam pembuat tato.

Tunggu.

Apa? Tato?

Damb menuliskan namanya di pergelangan tangannya sendiri menggunakan tato?

"Apa maksudmu, Damb? Itu tidak permanen, bukan? Mengapa kautuliskan namaku?!"

"Lantas apa masalahnya?"

"Namaku berharga! Tidak sembarang orang bisa menggunakannya!"

Dengan bangga, Damb mengangguk. "Dan aku adalah satu-satunya orang yang bisa menggunakan namamu."

"Kau gila, Damb."

"Aku gila. Sama seperti aku mencintaimu, aku begitu tidak waras. Aku begitu ingin memilikimu, hingga aku sampai di titik ini," Damb masih melukis di atas pergelangan tangannya, "Aku tahu cinta itu sederhana. Maka aku menunjukkannya."

"Menunjukkan apa maksudmu?"

"Menunjukkan bahwa aku adalah milikmu. Ada mimpi kelabu yang dulu samar tak bisa kuraih, dan sekarang aku memilikimu."

"Kau tahu, Damb? Cinta tak harus memiliki."

"Selesai. Ini permanen," Damb berujar santai sambil mengembalikan alat aneh itu. Seolah tidak terjadi apa-apa. Kemudian dia kembali, meraih kepala Leve dan menepukinya lagi. "Aku ingin menunjukkan, bahwa jika suatu saat ada wanita lain yang ingin menyentuhku, mereka membatalkan niatnya karena dia melihat ini. Dia melihat namamu."

"Haruskah aku percaya dengan cintamu?" Leve membuang muka. "Kau menyebalkan! Kau sama sekali tak hebat tapi semua orang menjunjungmu! Aku heran."

"Bagaimana dengan ini?" Lagi, Damb bertindak mengejutkan lagi. Pria itu meraih kepala Leve, mencium kening Leve begitu lama.

Lama.

Sangat lama.

Karena keduanya, mereka saling membeku, saling memberikan kehangatan dan sama-sama ingin memberhentikan waktu. Agar kali ini saja, waktu enggan berbaik hati untuk membiarkan mereka dalam kondisi ini.

Kondisi menerima.

Kondisi saling memberi cinta tanpa harus terkekang atau merasa bersalah.

"Aku mencintaimu, Leve," Damb memberi jeda sejenak, mengembuskan napasnya tepat di depan wajah gadis itu. Pria itu masih menarik tengkuk Leve dan mencari kejujuran dari sepasang mata hazel itu.

"Kau boleh tak percaya cinta. Tapi jika semua itu tentangku, maka kau harus percaya."

Leve tertegun, mencoba lepas tapi badannya kaku. Pipinya bersemu. Ada rona kemerahan di pipinya dan dia begitu malu. Dia begitu malu untuk mengakui bahwa dia suka diperlakukan selembut itu.

Dia malu untuk mengakui bahwa sekarang Damb meluluhkan hatinya, dan Damb memang berhak mengenai semua tentangnya termasuk dirinya.

"Jadi," Damb mengurai kalimatnya. Masih dengan senyum yang tersungging di bibir gagahnya, "Apa kau mau menikah denganku?"

"Tidak."

Leve mencoba untuk menjaga harga dirinya, meski dalam hatinya dia sedang bersorak.

Aku mau, Damb! Tembak dan katakan saja terus bahwa kau mencintaiku sampai aku mati karena sekarang aku sedang ingin tenggelam, agar siapapun tak mampu melihat aku memendam cinta!

Agar aku tak lagi resah untuk menutupi semua kebenaran dengan kebohongan karena semua ini begitu susah.

Bahwa aku mencintaimu, Damb

Sangat.

Dan Leve heran mengapa Damb selalu menanyakannya padahal jauh di lubuk hati Leve dia selalu berkata iya.

"Aku tanya sekali lagi," Damb mendorong tengkuk Leve untuk jauh lebih dekat. Hidung mereka bersentuhan. Dan Leve semakin tak mampu untuk meredam degup jantungnya yang berdebar. "Jawab ini dengan jujur, Leve. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau memang menerimaku."

Leve diam. Menunduk. Senandung lagu klasik yang diputar dengan waktu khusus kembali menaungi mereka berdua.

"Apakah kau mencintaiku?"

Tentu, Damb.

"Apakah kau berkenan menikah denganku?"

Leve mengatupkan mulutnya sebentar. Diam. Untuk beberapa saat dia diam hingga tiba-tiba saja, dia memeluk Damb, menangis di balik punggung Damb dengan seribu ungkap yang tertimbun.

"Yah, Damb," Leve menumpahkan napasnya, merasa sesak, "Aku mencintaimu dan aku mau menikah denganmu."

---
TBC!

Jangan ketawa di sini karena bahagia mereka gt.

Berisik soalnya.

My SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang