10. Satu hari sebelum penghabisan

3K 229 18
                                    

Esoknya, Leve terbangun di rumah pohon Damb. Leve tahu Damb dengan sengaja tidak langsung menyerbunya, karena Damb sedang menunggu satu hari lagi untuk saat penghabisan itu tiba.

"Leve, kau tak akan aman berada di sini selalu. Kita harus bergegas pergi." Damb terlihat sudah bersiap.

Leve masih setengah sadar dari tidurnya. Dia masih lelah. "Kau saja yang pergi. Ujung-ujungnya kau juga akan membunuhku. Percuma aku mengikuti kemanapun kau pergi!"

"Leve!" teriak Damb. Leve terkesiap. "Jangan membantahku!"

Kali ini Leve membisu. Matanya menyipit takut. "Aku tak ingin ikut."

Damb menggeleng. Dia bangkit dari duduknya dan menghampiri Leve di atas tempat tidur. Setelahnya dia menarik tengkuk Leve, mengamit kedua tungkai Leve dan mulai menggendongnya.

Tentu saja Leve takut. Bahkan sekarang dia semakin takut. "Aku membencimu, dan aku lebih baik ditangkap para rioters daripada harus bersamamu!" Leve membantah. "Aku tak ingin ikut."

"Kau harus ikut. Mereka sekarang sudah melesat mencarimu." Damb membawa Leve keluar rumah. Mungkin tatapan pria itu terlihat keras. Tapi, entah bagaimana Leve bisa melihat sirat kasih sayang di dalamnya. "Katamu kau tak ingin mati?"

Leve terdiam. Dia membiarkan Damb menggendongnya sambil berlari kencang entah hendak ke mana. Tapi yang sekarang ada di benak Leve, mungkin kemarin aku tak pernah menginginkan kata mati. Tapi esok, semuanya beda dengan hari ini. Esok pendapat itu bisa jadi berubah.

✏✏

"Damb... Lapar."

Entah berapa lamanya Damb berlari. Pria itu bahkan sama sekali tidak terlihat lelah. Kali ini dia memelankan langkahnya dan menurunkan Leve di tengah hutan. Jauh dari kotanya, jauh dari rumahnya.

"Sebentar." Damb celingukan mencari sesuatu. Kemudian dia melangkah ke salah satu pohon. Setelahnya dia kembali dengan sekantong buah-buahan yang diwadahi karung. "Makanlah," suruhnya mendengus.

Sambil menunggu Leve makan hingga puas, Damb duduk di samping Leve, duduk di atas tanah hutan yang dipenuhi daun berserakan.

Pria itu mengamati gerak-gerik Leve. Dan tatapannya terkunci pada wajah polos Leve. Gadis yang sehari lagi berusia tujuh belas tahun itu begitu lugu. Manis. Rambutnya yang tergerai jatuh itu begitu bebas.

"Aku menginginkanmu," Damb bersuara sambil bertopang dagu. Dia masih semangat mengamati Leve melakukan kegiatannya.

Tanpa sadar, Damb semakin mendekat. Damb juga tanpa sadar sudah lancang menangkupkan wajah Leve dan membuat Leve menghentikan makannya.

"Damb, hentikan." Tapi Damb seolah tak mendengar. Dia masih menangkup wajah Leve begitu khidmat.

"Sssh. Biarkan aku melihat matamu sejenak."

"Apa di mataku sudah ada tanda-tanda bahwa aku akan berubah dan memiliki kekuatan?"

"Ya," Damb berkata. "Matamu sudah memiliki kekuatan."

Kekuatan yang mampu meluluhkan hati Damb saat itu juga. Mata itu memancarkan kepercayaan, keyakinan, dan keberanian yang menyilaukan.

"Matamu semakin memabukkan." Damb mengelus kantung mata Leve. Sedangkan Leve menahan napasnya. Dia ingin mencekal tapi entah mengapa badannya juga susah untuk digerakkan.

My SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang