Semalaman, Leve mengamuk. Gadis yang awalnya pendiam itu, ternyata jauh lebih mengerikan sekali marah.
Membentak.
Mengucap decap serapah.
Hingga malam itu, malam yang panjang, malam untuk empat hari terakhir... dia tertidur. Dia lelah.
Dan Damb hanya menyeringai tajam. Menerima suka hati keluh desah Leve tanpa membantah. Memberikan Leve kesempatan beristirahat. "Aku diam bukan berarti aku merasa bersalah, Leve."
Malam itu, malam yang berat, Leve akhirnya terlelap.
✏✏
Pagi harinya, Leve bangun dengan badan kaku. Tangan kakinya keram. Napasnya tersendat.
Sedangkan di sisi ranjang, Damb duduk bersila sambil tersenyum licik.
"Apa yang kaulakukan di tempat tidurku?!" Leve berusaha berbicara. Nada suaranya masih sekasar kemarin
"Semalam aku mengamatimu tidur."
"Kau gila."
"Semalaman aku menjagamu. Berapa usiamu sekarang?"
"400 tahun."
"Maaf?" Damb mengintrupsi.
"400 tahun," ulang Leve lagi. Jelas-jelas itu bohong.
"Itu umurku, Leve." Damb menggeleng-geleng. "Kau manusia. Mana mungkin usiamu beratus-ratus."
Leve mengesah. Dia mengambil napas. Semalaman juga, Damb membiarkannya tertidur?
"Aku membiarkanmu tidur bukan karena aku merasa bersalah." Damb seolah tahu apa pertanyaan di benak Leve. "Aku hanya ingin kau lebih kuat untuk ujian dariku lagi nantinya—"
"BERHENTI!" suruh Leve mendesak. "Aku sudah muak."
Leve memejamkan matanya. Sekilas luka di hatinya kemarin kembali datang menyusup dadanya. Sesak. Sakit.
"Aku membencimu." Leve buru-buru bangkit. Dia berusaha berdiri meskipun seluruh tubuhnya terasa sakit.
Terutama hatinya.
Orang baik sepertinya, mungkin akan mudah memaafkan. Tapi jika dia jelas-jelas melihat kejahatan nyata tanpa dia bisa berbuat apa-apa, itu menyedihkan.
Leve cepat-cepat menuju kamar mandi, kemudian keluar selang beberapa menit. Dia tak berdandan. Dia hanya mengolesi bedak tipis, merapikan rambut.
Sengaja dia mengenakan pakaian lengan panjang agar luka-luka di tangannya tertutup. Dia tak ingin membuat masalah jika nantinya orang-orang melihatnya terluka.
"Kau jadi lebih seenak diri pagi ini," komentar Damb. Pria jahat satu itu masih berbaring di atas tempat tidur Leve seraya meminum stok darah Ms. Merry kemarin.
"Aku ingin hidup normal. Mulai pagi ini." Leve meneguhkan hatinya. "Setidaknya aku ingin melindungi diriku sendiri."
"Dari siapa?"
"Darimu, Damb." Leve memelas jujur. Tangannya sekarang terlihat mengemasi barang-barangnya. "Aku ingin menjadi Leve yang dulu. Yang pendiam, sibuk sendiri, tersenyum tanpa orang tahu. Leve yang pemalu. Yang bahagia, ketika tak ada orang sepertimu."
"Kau takut padaku?
"Aku hanya ingin sendiri. Hatiku akan jauh lebih tenang jika kau menjauh."
Masih dengan gaya santainya, Damb mengangguk-angguk di atas tempat tidur. Dia menatap gerak-gerik Leve melalui ujung mata. Bibir mendesis kecil. "Kau jadi membuatku merasa lebih tertantang, Leve."
Leve menelan ludah. "Intinya," Leve memelas. "Biarkan aku pergi. Biarkan aku menghilang."
Leve tak pernah mengenal Damb. Gadis itu bahkan tak tahu urusan Damb sesungguhnya dengannya, kenapa Damb lebih memilihnya daripada orang lain untuk diusik.
Tapi, yang jelas Leve tahu apa yang harus dilakukan demi kebaikannya sendiri. Simpel. Karena Damb tak berkenan menjauh, maka dialah yang akan menjauh.
"Aku ingin melupakan semua sakit, hidup normal, dan aku berjanji. Aku berusaha," suara Leve tercekat. "Aku akan melupakanmu."
Semua demi dirinya sendiri. Demi hidupnya, demi masa depan, demi kebahagiaan tanpa mau ingat bahwa tadinya hidupnya semula hancur. Tanpa mau ingat bahwa vampir itu ada.
Hari itu dia percaya. Jadi lebih tegas adalah jawaban terbaik, dan melupakan adalah langkah awal memulai lembaran baru.
Leve bersemangat ketika dia telah selesai mengemasi barang lalu mengangkut tas besar di punggung.
"Biarkan aku menghilang."
✏✏
Leve menahan napas. Sekarang dia sedang berada di bis kota... entah mau ke mana. Pikirannya masih agak buyar.
Sekilas dia teringat kejadian menit-menit lalu.
Saat ketika Damb hanya tersenyum untuk pertemuan terakhir. Pria itu tidak mencegahnya pergi, tapi hanya memperingati. "Kuharap kau tak menyesali keputusanmu kali ini, Leve."
Itu sukses membuat hati Leve bimbang itu sementara. Garis bawahi, sementara. Karena sekali lagi gadis itu sudah meneguhkan hati.
Hidup bersama Damb, sama saja memasrahkan dirinya sendiri untuk dibuat sengsara. Dia bahkan tak tahu mengapa Damb selalu jahat.
Apa kemarin-kemarin Leve pernah melakukan kesalahan berarti?
Tolong jawab.
Sekali lagi, tolong jawab. Tolong tenangkan dia.
Hati Leve panik. Bertambah kalut.
Bis berhenti mendadak. Memang, di bis ini memang hanya ada dirinya dengan supir. Katanya, memang di akhir-akhir ini penumpang lebih memilih mengenakan kendaraan sendiri.
Leve tersadar dari lamunannya. Dia menggigit bibir bertambah resah. Ditambah bis berhenti di jalan penuh hutan kosong.
Ada yang tidak beres.
"Ada apa, Pak?" Leve turun dari bis dan menghampiri si supir yang sudah lebih dulu turun memperbaiki mesin.
"Hmmm." Si supir yang memunggunginya itu hanya bergumam. Leve jadi curiga.
Baru ketika si supir itu membalikkan badannya, Leve mematung melihat sosok sesungguhnya si supir ini.
Sempurna sudah.
Akhirnya dia tahu apa yang benar-benar akan terjadi, dan sempurnanya lagi nyawanya dalam bahaya.
--
TBC!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Soul
VampireAku ingin mati. Kalimat itulah yang selalu dirapal Leve akhir-akhir ini. Dia ingin mati. Bukan karena dia sedang membenci kehidupan atau pun dia sedang pasrah pada nasibnya, tapi karena dia telah lelah dikejar-kejar oleh seorang... Vampir. Dia gadis...