"Jangan mendekat jika kau tak ingin Leve mati!" Pather memeringati Damb dengan mencekik leher Leve. Gadis yang hari ini genap berusia tujuh belah tahun itu megap-megap. Dia sesak napas.
"Pather, jangan main-main." Damb terlihat tenang.
"Musuh bebuyutan... Damb." Pather memicingkan mata. Meremehkan. "Leve milikku."
"Tidak. Dia milikku." Mata Damb semakin berkobar. Di antara keduanya terjadi perdebatan besar.
"Dia sekarang berada di tanganku. Leve milikku," bantah Pather tak mau kalah.
"Serakah. Kau sudah mendapatkan yang sebelumnya. Kau tahu? Ketamakan akan membuatmu bahagia. Tapi kesederhanaan akan membuatmu jauh lebih mengerti hidup yang sebenarnya."
"Payah." Pather memutar bola mata. Kemudian, seolah tak ingin berbasa-basi lagi, dia segera menusukkan taringnya ke leher Leve.
Dengan sigap, Pather menghisap darah Leve. Dia tak ingin keduluan Damb, dan dia harus memenuhi hasrat terakhirnya. Maka dia akan menjadi kuat. Lebih kuat dari sebelumnya.
"Damb!" Leve melolong. Gadis itu masih berontak untuk terakhir kali.
Lagi-lagi, Damb melihat tatapan memelas Leve. Tatapan yang sama ketika dia akan menjatuhkan Leve dari atap. Tatapan hampa.
Tolong.
Tatapan yang begitu memancarkan kesenduan, meminta belas kasihan.
Tapi di sana, masih berada di pintu yang didobrak sebelummya, Damb dan kawan-kawannya hanya diam. Mereka tak bertindak. Seolah mereka... setuju-setuju saja jika Leve diterkam Pather. Mereka jahat.
"Sekarang Leve menjadi milikmu, Pather."
Tapi, sebelum Damb benar-benar akan melanjutkan perkataannya, Leve sudah tidak sadarkan diri. Saat itu hatinya hancur. Apa sekarang dia... sudah mati?
Dan Damb baru saja menghianatinya. Lantas apa arti cinta dan pengharapannya yang bersemoga untuk Damb membelanya?
Lantas apa kabar dadanya yang sesak dan menjelang kematiannya yang tiada artinya?
Leve hancur. Sakitnya bukan hanya di fisik. Bukan hanya di luar. Tapi juga di dalam.
Di hatinya.
✏✏
"Damb..." Leve terisak. Baru saja dia menangis. Sekarang dia seolah berada di alam lain. Kakinya memijak awan-awan putih. "Damb!" Leve merengkuh dirinya takut.
"Aku sudah mati." Tiba-tiba Leve merasakan sesuatu yang berat menimpa tubuhnya.
"Kau belum mati, Leve." Setelahnya, Leve benar-benar terbangun. Dia membelalakkan matanya kaget setelah tahu bahwa yang barusan bicara dengannya adalah Damb. Dia menjauh.
"Penghianat," Leve melepas tangan kekar Damb yang menimpa tubuhnya. "Aku sudah mati."
Aku mati. Aku sudah tak hidup lagi.
"Kau tak tahu apa-apa," Damb mengibaskan tangannya sombong.
"Jelas aku tahu! Kemarin kau menghancurkanku! Kemarin kau membiarkanku diterkam Pather! Kemarin kau menghianatiku, kemarin kau menghancurkan harapan-harapanku." Leve merasakan kaki-kakinya yang memijak pada lantai kayu markas Damb. "Tunggu! Tunggu, aku masih hidup?!"
Damb tertawa lagi. "Pagi yang indah, Leve. Kemarin terjadi tragedi yang besar. Sekarang kawan-kawanku sedang beristirahat di tempat lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Soul
VampireAku ingin mati. Kalimat itulah yang selalu dirapal Leve akhir-akhir ini. Dia ingin mati. Bukan karena dia sedang membenci kehidupan atau pun dia sedang pasrah pada nasibnya, tapi karena dia telah lelah dikejar-kejar oleh seorang... Vampir. Dia gadis...