And I don't care if I die tonight.
-If I die, Dolf x Dj Soda-✏✏
"Cepat bunuh aku."
Leve ingat, kemarin dia pernah begitu pasrah menyuruh Pather membunuhnya. Kemarin dia begitu disiksa, diberi hukuman tanpa ampunan.
Aku ingin mati.
Kemarin juga, Leve memang benar-benar ingin segera mati. Dia lelah diincar para vampir, harus rela ke hutan atau ke tempat tertentu dan disekap seperti uji nyali. Dia penat dijadikan rebutan, hanya karena darahnya yang begitu kental berkekuatan.
"Aku tak pernah menginginkanmu mati, Leve," suara Damb mengintrupsinya seolah-olah dia telah membaca pikiran Leve. "Tapi aku harus melakukannya. Bukan hanya demi hasrat, tapi juga demi misiku yang lain."
"Apa tak ada pilihan lain selain menyesap darahku?" Bahkan Leve telah membayangkan bagaimana kondisi manusia yang tidak lagi memiliki darah karena telah dihisap oleh Vampir. "Lindungi aku."
"Aku dengan senang hati melindungimu, Leve." Damb bahkan sangat sudi jika harus begitu membentengi Leve. Tapi Damb juga memiliki misi. Itu adalah keputusannya. "Kau ingat penawaran yang kauberikan tadi?"
"Penawaran tadi? Penawaran atas kau membalas pertanyaanku?" Leve sudah menduganya. Dalam hati dia merutuk menyesal memberi balasan itu. Dia habis.
"Penawaran bahwa aku boleh menyentuhmu." Damb sumringah, "Raut wajahmu terlihat resah. Kau tidak sabar kulakukan eum, begitu, ya?"
Mengerti apa yang Damb katakan, Leve lekas-lekas menoyor kepala Damb. "Sembarangan." Leve mendelik gemas. "Rasanya aku ingin menyobek-nyobek mulutmu yang frontal." Aku juga ingin menghancurkan matamu yang memabukkan, agar nantinya aku tak lagi mudah terpesona.
"Apa kau bilang?!" Damb mendorong kedua bahu Leve hingga menatap pinggiran kasur. Gadis itu memekik tapi Damb cepat-cepat membungkam mulutnya. Damb mengatur napasnya, entah mengapa dia mudah sekali emosian. "Kau menantangku lagi, Leve."
Melihat Damb mulai melepas bungkaman tangannya, Leve mulai menggunakan kesempatan ini untuk membalas, "Aku jujur, Damb." Leve mengibaskan rambutnya ke belakang. "Aku heran."
"Heran?"
"Aku heran, kenapa kebanyakan pria di dunia selalu menggunakan kekerasan. Emosi saja yang dibesar-besarkan! Nafsu, hasrat, aku bahkan heran otak mereka ada di mana."
Damb mendengarkan dengan jari mengetuk meja. Mata merahnya mengilat tajam lagi. Kemudian dia mendekati Leve, menarik tengkuknya dan menggesekkan hidungnya dengan hidung Leve.
"Aku heran siapa orang tuamu hingga melahirkan iblis sepertimu." Ah, bibir Leve kali ini memang tidak bisa diatur. Tapi Leve memang harus mengatakan ini. Setidaknya agar hatinya lega.
Leve bisa merasakan embusan napas Damb yang penuh amarah, dia bisa melihat urat-urat menonjol Damb yang membuktikan bahwa dia sedang marah.
Tapi, alih-alih menyiksa dan menyakiti Leve lagi... Damb justru memeluknya. Leve bahkan bisa merasakan lengan kekar Damb merengkuh tubuhnya.
"Terima kasih telah membuat hidupku jadi lebih berwarna, Leve." Mata Damb merah berkobar. Yang Leve tak tahu, kobaran mata itu tidak hanya menunjukkan bahwasanya dia marah. Itu juga memberitahu akan macam ekspresi berlebih pada hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Soul
VampiriAku ingin mati. Kalimat itulah yang selalu dirapal Leve akhir-akhir ini. Dia ingin mati. Bukan karena dia sedang membenci kehidupan atau pun dia sedang pasrah pada nasibnya, tapi karena dia telah lelah dikejar-kejar oleh seorang... Vampir. Dia gadis...