[24] Debaran

126 20 0
                                    

[]

WAKTU itu, liburan kenaikan kelas. Kamu menginjak kelas dua belas, sedang aku kelas sebelas.

Selama liburan, jujur aja, aku rindu. Maksudku, kamu nggak pernah main ke rumahku, malam minggu juga nggak. Kita hanya berkomunikasi lewat handphone.

Kata kamu, kamu udah harus mulai serius mempersiapkan diri kamu untuk berkuliah di Jerman. Dan kamu minta aku untuk mengerti.

Iya, sejauh ini aku sangat mengerti kamu. Karena saat itu, ada Dimas di hidupku.

Selama liburan, Dimas yang selalu menemani aku dari pagi sampai malam. Ada aja tingkahnya yang membuat aku senang atau ... berdebar.

Seperti pagi itu. Dia datang ke rumahku pagi-pagi, sekitar jam enam kurang. Tentu, di hari libur seperti itu aku masih terlelap di bawah selimut.

Dan Dimas masuk untuk membuat rusuh. Berusaha keras membuatku terbangun dengan alasan untuk menemaninya lari pagi.

Butuh waktu lebih dari sepuluh menit agar aku bisa duduk di atas kasur, itu pun kedua mataku masih terpejam.

Mungkin saat itu Dimas mulai jengkel, jadinya dia mulai mendaratkan bokongnya di pinggir kasur, dan menepuk kedua pipiku.

Katanya, "Kebo banget, elah."

Saat itu aku nggak peduli. Jadinya aku menguap lebar dan berniat untuk merebahkan tubuhku lagi. Tapi, Dimas dengan gesit menarik kedua tanganku. Jelas aku kaget dan membuka kedua mataku lebar.

Nyatanya, jarakku dengan Dimas cukup dekat. Hanya tiga puluh centimeter, mungkin. Beberapa detik aku terpaku, dan Dimas terkekeh.

Katanya, "Emang bener ya kata orang, kalo cewek baru bangun lebih cantik, natural banget."

Kamu tahu, Panji? Rasanya itu persis seperti yang aku rasain waktu pertama kali aku menyukai kamu. Berdebar.

Iya. Aku berdebar.

Dan aku mulai berpikir saat itu, "Jangan-jangan gue suka sama Dimas lagi." []

memori tentang panji Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang