[33] Biasa

120 22 0
                                    

[]

SEPANJANG perjalanan pulang, aku sering melamun. Entah apa yang aku pikirkan. Yang aku tahu, saat itu aku merasa amat sangat kosong, Panji.

Ada sesuatu yang hilang, dan aku tahu itu adalah kamu.

Setibanya di rumah, ternyata ada Dimas yang menunggu di ruang tamu dengan bunga mawar tergeletak di atas meja.

Sempat terbesit di pikiranku, jika hari itu juga Dimas akan menyatakan perasaannya padaku. Tapi aku nggak ngerti, kenapa saat itu aku nggak peduli, Panji.

Kata Dimas, "Dari mana aja sih, lo? Gue tungguin juga."

Aku mengendikan bahu sembari tersenyum tipis. Kataku, "Biasalah."

Dimas menuntunku untuk duduk di sebelahnya. Sesaat aku melirik ke arah mawar merah yang teronggok manis di atas meja. Lalu bertanya, "Itu buat siapa?"

Dimas melirik sekilas, "Lo."

Aku terkesiap, "Buat gue?"

Dimas mengangguk mantap. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Dimas lebih dulu bersuara dengan begitu semangat.

Katanya, "Jadi...," Dimas membetulkan posisi duduknya menghadapku, "Gue akhirnya di terima, Gin!"

Keningku lantas berkerut, "Hah?"

Dimas menatapku girang, "Gue nggak jomblo lagi, Gin. Gue nggak jomblo!"

Aku betul-betul nggak mengerti saat itu. Jadi aku bertanya, "Maksud lo apaan, sih?"

Seketika, raut girang Dimas luntur. Dia mendengus, "Ah, lemot lo."

Aku diam, malas menggubris. Nggak lama, Dimas melanjutkan ucapannya.

Dia bercerita jika hari ini dia baru saja menembak gadis pujaannya sejak kelas 10--yang ternyata bukan aku--dan diterima.

Aku jadi malu sendiri memikirkan kenyataannya yang sangat jauh dari yang aku pikirkan.

Aku terlalu percaya diri, Panji. Dan kepercayaan diriku yang terlalu tinggi itu justru membuat aku kehilangan kamu.

"Namanya siapa, dah?"

"Gea."

"Trus, itu bunga kok buat gue?"

Dimas meraih bunga mawar itu dan meletakannya di pangkuanku. Katanya, "Gea nggak suka bunga ternyata, jadi gue kasih ke lo aja, dari pada mubajir."

Setelahnya, Dimas bercerita banyak soal pacar barunya yang mempunyai inisial nama yang mirip denganku.

Aneh, Panji. Jika aku menyukai Dimas, pasti ada rasa cemburu yang menyelinap di hatiku ketika Dimas memuji pacar barunya itu. Atau pasti ada rasa kecewa yang aku rasa ketika tahu bukan aku cewek yang Dimas suka.

Tapi nyatanya, aku sama sekali nggak merasakan apapun. Semuanya biasa saja.[]

memori tentang panji Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang