***Aina Thalia Zahrani POV
"Papa..." panggilku lirih pada seorang lelaki paruh baya yang kulihat sedang duduk sambil menenggelamkan kakinya di bibir kolam renang.
Papa yang terlihat melamun sedari tadi akhirnya menoleh ke arahku dengan tatapan datar dan terlihat muram. Wajahnya terlihat lelah, kerutan mulai nampak di wajah tegasnya yang masih terlihat sangat tampan. 'Wait? What time is it? 11.30,tumben jam segini papa ada dirumah'
Perlahan-lahan senyum tipis mulai terlukis di bibirnya.
"Eh Thalia, udah pulang nak?"
"I-iya. Papa gak kerja?" tanyaku sambil berjalan perlahan ke arahnya.
"Papa sengaja cepet pulang, hari ini gak ada meeting, kerjaan juga gak begitu banyak. Papa lagi pengen santai sekali-sekali di rumah." jawab papa yang masih memajang senyum tipisnya. Ku daratkan bokongku di samping papa sambil melakukan hal yang sama sepertinya.
"Betul dia Mama Thalia?" tanyaku to the point tanpa memperdulikan mata papa yang sedang menatapku.
"Itu......."
"Tolong Pa,"
"Iya Thal, dia memang mama kamu." jawab papa singkat lalu mengalihkan pandangannya ke kolam.
Mataku menunduk setelah mendengar penjelasan papa sekitar 2 detik yang lalu, Cairan kristal yang menumpuk di pelupuk mataku tak mampu lagi ku bendung. Air mata yang berusaha ku tenggelamkan dalam tabahku kini jebol. Mendegar isakan putri kecilnya, papa merengkuh tubuhku ke pelukannya dan membelai rambutku dengan lembut.
"Maafin Papa Thalia," Ujarnya lirih.
"Tolong jelasin semuanya sekarang Pa. Siapa mama Thalia sebenarnya?" Tanyaku sambil melepas pelukan papa dan menatapnya penuh harap. Papa menghela napas panjang.
"Mama kamu-
Sebenarnya dia belum meninggal Thalia." jawab papa lalu menundukkan pandangannya. Sempat kulihat ibu jarinya tengah mengusap ujung-ujung matanya yang mulai terlihat berair.Petir seakan-akan kembali menghujam tubuhku, bibirku bergetar tanpa ku tau harus mengucapkan apa. Ku pandangi wajah papa lekat-lekat sambil ku pegang erat tangannya yang terasa hangat.
"Pa...tolong lanjutkan. Kalo memang mama belum meninggal, sekarang dia ada dimana?"ujarku lirih.
"Maafin Papa Thalia, Papa gak tau dimana mama kamu sekarang. Sejak kami bercerai 15 tahun lalu, mama kamu meninggalkan Jakarta." terang papa sambil mengelus tanganku lembut .
"Setega itu kah mama ninggalin kita Pa?"
"Papa yang egois Thalia. Papa yang udah ngerebut mama kamu dari laki-laki yang sangat dia cintai. Papa yang memaksa untuk menikahi mama kamu." Terang Papa yang mulai tidak mampu membendung air matanya.
"Maksud Papa?" Tanyaku yang makin tersentak mendengar penjelasan papa.
"Orang tua mama dulu terlilit utang sama orang tua papa. Bersamaan dengan saat itu, kakek kamu, ayah papa, menyuruh Papa menikah dan papa hanya ingin menikahi Anne, Mamamu, dia adalah satu-satunya gadis yang sangat papa cintai. Meski Papa tau, saat itu Mamamu sedang ada hubungan dengan Marthin, kami semua satu universitas saat kuliah dulu."
"Lalu?"
"Akhirnya secara paksa Papa berhasil menikah dengan mama kamu karena kondisi keluarga Mama kamu yang sedang terlilit utang pada saat itu. Meski papa tau kalo papa salah telah memaksa menikahi mama kamu yang sama sekali tidak pernah mencintai Papa. 3 tahun usia pernikahan kami, dan sudah dikaruniai gadis cantik seperti kamu...," papa menghela napas panjang, "tapi ternyata sampai saat itu pun mama kamu tidak pernah bahagia dengan pernikahan kami. Kamu tau? Senyuman mama kamu di foto itu palsu Thalia, setelah itu kami bertengkar hebat yang membuat Papa akhirnya harus rela melepaskan mama kamu."
"Sesampai hati itu kah mama ninggalin Thalia Pa? Sejahat itu kah Mama ninggalin Thalia yang bahkan belum bisa mengenali wajahnya saat itu?" Tanyaku lirih sambil menutup wajahku dengan kedua pergelangan tanganku, tangisku makin pecah saat membayangkan betapa tega mama ninggalin aku disaat aku bahkan belum mampu menopang kakiku untuk bisa berdiri sendiri. Papa merangkul pundakku yang mungil dan menepuknya untuk menenangkanku.
"Mama gak sejahat itu Thalia. Waktu itu mama ngotot ingin membawa kamu. Tapi Papa memohon dengan sangat untuk mengambil hak asuh kamu karena hanya kamu satu-satu nya kenangan yang bisa papa simpan bersamanya. Mamamu akhirnya mengiyakan. Terakhir dari yang Papa dengar dari kerabat Papa, Mama kamu kembali bersama Marthin dan melanjutkan hidupnya ke Italy."
Mendengar semua penjelasan Papa akhirnya aku mengerti segalanya.Aku hanyalah korban dari keegoisan kedua orang tuaku. Papa begitu egois telah memaksakan perasaannya yang sama sekali tidak pernah terbalas dengan mengandalkan segala kekuasaan yang dimilikinya saat itu, dan keegoisan Mama yang dengan mudah meninggalkanku begitu saja lalu memilih pergi dengan laki-laki lain dengan alasan cinta.
Kupeluk erat tubuh kekar tinggi lelaki paruh baya disampingku. Setidaknya, Papa sama sekali tidak pernah meninggalkanku dengan alasan apapun.
"Om....."
Terdengar suara lirih seorang lelaki yang sangat tidak asing ditelingaku. Kepalaku dan kepala papa menoleh bersamaan ke sumber suara yang baru saja terdengar. Mataku membulat ketika kudapati orang yang sangat kucintai setelah Papa tengah berdiri mematung di Pintu masuk kolam renang yang terbuka. Aray telah mendengarkan semuanya.
"A-Aray?" aku melepaskan pelukan papa dan berdiri saat melihat sosoknya disana. Aray berjalan perlahan menuju kami sambil membawa dua carik foto di tangannya. Langkahnya terhenti tepat di hadapanku. Lesung Pipi yang selalu kudamba kini tidak terukir di wajah manisnya, hanya terlihat Mata hazel yang tegas dan berkaca-kaca tengah menatapku.
"Om, apakah Anne dan Marthin adalah mereka?"
Aray mengalihkan pandangannya ke Papa sambil mengulurkan foto yang persis seperti yang kulihat di rumahnya waktu itu namun kini versi kecilnya. "Thalia, ini punya kamu" Aray mulai memaksakan sedikit senyumnya padaku sambil mengulurkan foto yang ku temukan dari lemari papa. Senyum itu menyimpan sakit dan kepedihan.Papa yang masih duduk dibibir kolam menerima foto yang diulurkan Aray, posturnya yang tinggi tidak menyulitkannya mengambil foto itu meskipun dia sedang duduk. Matanya membulat ketika melihat sosok wanita di foto itu. Pandangannya beralih ke Aray yang masih berdiri dihadapanku meski matanya saat ini sama sekali tidak menatapku. Senyumnya kini lenyap.
"Kamu...,"ucap papa menerka.
"Iya Om, mereka Mama dan Papa saya." ujar Aray mencoba menahan tangis.
Suasana mendadak tegang dan senyap. Kami sama-sama merasa shock. Spontan papa buru-buru berdiri dan langsung memeluk Aray.
"Akhirnya saya bisa bertemu kamu nak. Satu-satunya keluarga Anne yang tersisa setelah orang tuanya meninggal." Ujar Papa senang sambil menyeka air matanya. Terlihat raut bahagia di wajahnya.
"Jadi, Aray dan Thalia...benar-benar...,"Ucap Aray terbata-bata.
"Iya nak, kamu dan Thalia bersaudara, kalian sedarah."
Disaat papa lagi bahagia-bahagianya karena bertemu dengan anak laki-laki wanita yang sangat dicintainya, aku dan Aray makin shock. Aray yang sedang di pelukan papa mulai menatapku dengan pelupuk mata yang mulai memerah tanpa adanya sepatah kata apapun keluar dari mulutnya. Dan aku...hanya bisa berdiri mematung. Kurasakan kakiku kini sangat lemas dan tak mampu lagi menopang tubuhku untuk tetap berdiri. Kupejamkan mata dan kujatuhkan tubuhku ke kolam renang yang berada di dibelakangku, tetap pasrah dan tanpa gerak.
'I HATE THIS! '
(bersambung)
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfection Of Love - [END] ✔
RomanceEmpat semester bukanlah waktu yang singkat bagi Thalia mengagumi dan mencintai seorang Aray, hingga pada suatu ketika Aray mengakui memiliki perasaan yang sama sepertinya. Berharap sebuah penantian dan kesabaran nya yang berbuah manis akan berlangs...