Perfection Of Love - 16 - Kepercayaan yang telah rusak

333 23 9
                                    


"Kini harus aku lewati sepi hariku tanpa dirimu lagi. Biarkan kini ku berdiri melawan waktuku tuk melupakanmu. Walau pedih hati. Namun, aku bertahan." - Glenn

***

Penuh isakan Thalia berlari menuju kamarnya setelah mendengar pernyataan hamil dari mulut Vanessa, kamar yang tadinya rapi kini seakan baru saja terjadi gempa yang memberantakan semuanya. Bantal empuk di ranjangnya habis dicabik-cabik oleh gadis dengan perasaan penuh amarah itu. Suhu panas menjalar diseluruh tubuhnya. Dengan kasar, di lemparkannya Map putih yang tadi dipeluknya ke sembarang arah.

"Sialan! Wajah polos yang selalu gue dambakan itu ternyata cuma kedok!" umpat Thalia terisak sambil mencabik bantal dipangkuannya. "Hebat banget lo sampe hamilin anak orang, brengsek? gue bener-bener gak nyangka kalo selama ini gue mencintai sampah!"

Tiba-tiba suara ketukan pintu sedikit merusak aktivitas brutalnya. Disekanya air matanya dengan kasar lalu bergegas turun dari ranjang dan membuka pintunya dengan kasar. Wajahnya kembali merah padam saat melihat Aray berdiri dihadapannya. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

"Mau apa?" tanya Thalia ketus.

"Aku denger kamu teriak." jawabnya polos

"Sok tau!"

"Suara kamu terdengar sampai bawah. Ada apa, Thal? Kamu ada masalah?" tanya Aray dengan tatapan mulai khawatir dan berusaha menyentuh pipi Thalia.

"Jangan sentuh gue!" Tepis Thalia kasar.

"what's wrong, Thalia? "

(Sialan! Sok polos banget loe didepan gue?)batin Thalia.

"..."

"Ada apa, Thal?"

"Bukan urusan lo, mending lo pergi! Jangan ganggu gue!" maki Thalia lalu menutup pintunya kasar.

Aray terperangah melihat perubahan sikap Thalia yang secara tiba-tiba, bahkan ini kali pertama dia mendengar Thalia menggunakan panggilan "loe-gue" dengannya dan memandangnya dengan tatapan jijik.

***

"Pa, Thalia keterima di University of Milan. Thalia berangkat minggu depan." ujar Thalia datar.

Ayahnya yang sedang santai di loteng yang menyeruput kopi hangatnya terpaku mendengar ucapan putri nya barusan, dia sedikit tersedak,"Are you sure, Thalia? Kok tiba-tiba?"

"Thalia udah pernah bilang kalo Thalia bakal kuliah di Italy."

"Papa kira kamu berubah pikiran,nak."

"Enggak Pa, Thalia tetap teguh sama pendirian Thalia. Tolong hargain keputusan aku. Aku berangkat minggu depan."

"Jangan pergi, Thalia." ujar lelaki yang muncul dari balik pintu, menuju ke arah ayah dan anak yang sedang duduk berbincang di teras. Aray.

"Loe siapa mau ngelarang gue?" tanya Thalia ketus dan buang muka.

"Thalia, jaga sikap! Dia kakakmu," tegur ayah Thalia lantang.

"Thalia gak pernah punya kakak!" ujar Thalia makin ketus dan berdiri meninggalkan mereka.

"Maafkan Thalia ya, Ray." ujar ayah Thalia sambil melihat Aray dengan tatapan tidak enak hati.

Aray tersenyum kecut, hatinya kembali pilu. Dengan perlahan ia mendaratkan bokongnya ke kursi kayu di seberang ayah Thalia, di batasi meja kayu kecil berbentuk bulat."Gak pa-pa kok, pa. Aray ngerti. "

"Perasaan semenjak Thalia keluar dari rumah sakit beberapa bulan yang lalu dia baik-baik aja. Sikapnya normal sebelum hari ini."

Aray hanya bergeming tanpa merespon perkataan ayah Thalia tentang perubahan sikap Thalia hari ini. Yang dia inginkan hanyalah tidak ingin Thalia pergi dan betul-betul meninggalkannya."Tolong jangan izinkan Thalia pergi, pa."

Ayah Thalia menghela nafas panjang,"Papa juga maunya begitu, Ray. Tapi ini sudah keinginan Thalia dari awal, demi cita-citanya. Papa gak bisa ngelarang dia."

"Tapi, pa, "

"Ray, papa kan udah bilang kita bisa mengunjungi dia kesana sesekali. Thalia juga udah dewasa, Gak ada yang perlu dicemaskan."

Aray kembali bergeming, ingatannya kembali pada memory tiga tahun silam. Dimana dia memutuskan meninggalkan Milan dan cinta pertamanya karena rasa trauma sepeninggal ibunya, haruskah dia menjilat ludahnya sendiri demi gadis yang mungkin akan jadi cinta terakhirnya yang tidak bisa kembali di milikinya saat ini?

***

Hari keberangkatan Thalia tiba, seminggu telah berlalu semenjak obrolan ketusnya pada Aray di teras waktu itu. Ayah dan para sahabatnya mengiringinya ke bandara. Aray hanya mampu diam-diam ikut mengiringinya dari kejauhan, sikap dingin dan kasar Thalia membuatnya tak ingin terlalu dekat dengannya, tak ingin membuat Thalia makin membencinya.

"Thalia pergi ya pa, jaga diri papa. Jaga pola makan. Ingat, no gorengan!" Pamit thalia seraya memeluk ayahnya dengan mata berkaca-kaca."No tears, Thalia!" serunya dalam hati.

"Iya sayang. Kamu disana juga jaga diri ya. Selalu jadi kebanggaan papa." balas papa Thalia sambil mengusap pelan Punggung putrinya.

"Of course, papa!" Thalia melepaskan pelukannya dan mencium punggung tangan ayahnya. Lalu berlari ke pelukan para sahabatnya yang juga berdiri disamping ayahnya. "I'll always miss you, guys. See you." pamit Thalia ke para sahabatnya.

"Tega lo Thal bener-bener ninggalin kita." ujar Icha lirih.

"Jadi lo bener-bener mau ngelupain kita gitu?" tambah shila di tengah isakannya.

"Cup..cup..cup.. Gue gak bakalan pernah ngelupain kalian guys. Kalian bakalan selalu ada dihati gue. Gue sayang kalian." ujar Thalia masih menahan air matanya.

"Perhatian untuk seluruh penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA328 tujuan Milan dipersilahkan naik ke pesawat melalui pintu A12,terima kasih."

Suara pengumuman di bandara membuat Thalia segera melepaskan pelukannya dan bergegas masuk ke pintu keberangkatan. Dengan berat hati Thalia menyeret koper violet miliknya lalu membalikkan badan dan meninggalkan Ayah dan para sahabat tercintanya sambil menggenggam tiket di tangannya. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat pria sedang berdiri mematung tidak jauh darinya, mata hazel dan wajahnya memerah, dia baru saja menyeka air matanya. Perlahan Thalia berjalan ke arah Aray yang seakan menunggunya dari tadi.

"Please don't go, Thalia," Ujar Aray lirih. Tangan kekarnya ingin menarik Thalia dan memeluknya.

"Don't touch me!" tepis Thalia kasar."jangan beratkan kepergianku, silahkan lanjutkan hidupmu. Aku pergi. " ujar Thalia sambil membalikkan badannya, langkahnya kembali terhenti setelah dua langkah. "Oh ya, salam untuk Vanessa."

Thalia kembali berjalan tanpa menoleh lagi. Air matanya kini tak mampu lagi di bendungnya.
"Selamat tinggal, aku gak akan mampu membencimu jika aku tetap disini, Ray." Batin Thalia di sela isakannya lalu menyeka air mata yang selalu menghianati prinsipnya dengan punggung tangannya.

Isakan pilu membuat Aray tersimpuh sambil menatap punggung Thalia yang makin jauh dari pandangannya," Gue cuma butuh elo Thalia. Bukan Vanessa!" serunya dalam hati.

(Bersambung)

***

Hai my dearest readers!!!!!!!
Maafkan part ini, udah up nya lama, pendek pula!😢

Sekedar info guys, Perfect Love udah memasuki beberapa part akhir loh. Jadi please, masukin Vote dan kritik beserta sarannya yang buaannynyaak untuk merevisi semuanya ( maksa? Ah gak juga sih, seikhlasnya aja😀)

Masih dengan doa yang sama, Moga yang nyentuh tanda bintang dan komen pada masuk surga🙏😀

See you next part 😘😘

Perfection Of Love - [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang