" Yang ku tau, jika cinta tidak mungkin pernah pergi. Faktanya, Cinta itu tidak semudah kau mengatakan I LOVE YOU" -Author
***
"A-annelys Al-lessan-dra?" ucap Thalia terbata-bata sambil memandangi Dave dan batu nisan di hadapannya secara bergantian.
Dave memandangnya heran, menyipitkan sedikit matanya."Iya, Annelys Alessandra. Itu nama ibuku. What's wrong, Thalia?"
"Mamaaaaa......!!!!!!!" jerit Thalia dengan hati yang berkecamuk bercampur pilu. Dia memeluk batu nisan itu seraya menumpahkan air matanya.
"Ma-mama?" tanya Dave dengan mata membulat.
Dengan air mata yang masih berlinang di wajahnya, Thalia segera membuka Mini bag yang dibawanya ke manapun dan segera mengambil secarik foto dari dalam dompetnya. Dengan suara sesenggukan dia menyodorkan foto itu pada Dave.
Dave terlonjak, mengedipkan matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa dia sedang tidak salah lihat. "Mana mungkin?" tanya Dave tidak percaya dengan figur keluarga kecil Thalia yang kini berada di tangannya.
"Kamu anak mama dari suaminya yang mana lagi? " tanya Thalia dengan wajah merah padam tanpa menghiraukan pertanyaan Dave.
"Sepertinya kita perlu bicara. Ikut aku! "
"Jawab aku! " tutur Thalia mulai geram dan menatap Dave tajam.
Dengan penuh sabar Dave segera menghela napas panjang dan menghembuskannya pelan. Dengan tenang dia menghapi sikap keras kepala gadis bertingkah aneh di sampingnya. "Ikut aku ya, kita bicara pelan-pelan"
Senyum Dave ternyata mampu meruntuhkan ego dan mendinginkan emosi Thalia yang langsung meluap dari tadi. Entah dorongan dari mana hingga Thalia mau mengikuti arahan dari Dave dengan tenang meskipun Thalia masih sedikit risih memandang tangannya yang kini di genggam Dave sambil berjalan ke arah kursi besi yang berada di luar pemakaman klasik itu.
"Jawab aku, kamu anak mama dari suaminya yang mana lagi? " tanya Thalia sambil menatap wajah pria yang kini duduk di sampingnya.
"Lagi? Memangnya berapa kali ibu menikah? Dan siapa lagi anaknya?" tanya David makin heran.
"Terakhir yang ku tau, mama menikah lagi dengan pria bernama Marthin."
"Marthin?" David mencoba mengingat. Matanya yang tadi sesaat terpejam tiba-tiba terbuka setelah bayangan memory masa lalu mulai diingatnya. "Baiklah, akan ku jelaskan semuanya."
Flashback on :
David POV
Milan, Italy.
Delapan belas tahun lalu ~"Aray, keluar yuk. Ada seseorang yang berkunjung kesini untuk menemui kita." ajakku pada balita berusia tiga tahun yang sedang asyik bermain dengan bola kecil kesayangannya di lantai kamar yang terlihat penuh akibat beberapa ranjang susun kayu di dalamnya.
Aray mengangguk lalu menendang bola itu ke sembarang arah sebelum dia meraih genggaman tanganku dan sama-sama berjalan ke arah ruang depan yang mungkin bisa diibaratkan sebagai ruang tamu bila di rumah biasa pada umumnya.
Nampak disana sepasang suami istri selaku donatur terbesar di Panti Asuhan yang kini ku tinggali, tengah duduk bercengkrama bersama para pengurus panti juga para anak panti lainnya. Wanita muda yang akrab di sapa Anne itu menoleh dan tersenyum ke arahku dan Aray. Senyum hangatnya merekah begitu tulus.
"Hai, mari bergabung disini. Kau David, kan?" sapa Anne sambil melambaikan tangan kanannya ke arahku.
Senyumku mengembang seketika, segera aku berjalan ke arahnya masih dengan menggenggam tangan Aray yang belum mengerti apa-apa. Anne langsung memelukku hangat, dan suaminya yang bernama Marthin langsung meletakkan Aray ke dalam pangkuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfection Of Love - [END] ✔
RomanceEmpat semester bukanlah waktu yang singkat bagi Thalia mengagumi dan mencintai seorang Aray, hingga pada suatu ketika Aray mengakui memiliki perasaan yang sama sepertinya. Berharap sebuah penantian dan kesabaran nya yang berbuah manis akan berlangs...