***Arya Bramasta Marthin POV
Didalam kamarku, masih dengan Tas Thalia di tangan aku menghempaskan tubuhku yang lelah setelah berlari ke atas ranjang. Lalu kembali duduk, menyandarkan punggungku di kepala ranjang.
"Pantes aja gak diangkat, HPnya aja ketinggalan disini." Ujarku sambil membuka Tas Thalia dan mengambil ponsel dengan case ungu miliknya.
Tiba-tiba Aku menemukan sesuatu yang menakjubkan terselip disitu, secarik foto berukuran kecil yang menampakkan seorang lelaki paruh Baya bersama seorang bayi perempuan yang digendong oleh seorang wanita yang berwajah persis seperti orang yang sangat aku kenal.
'Mamaa.....' pikirku heran sambil mengucek mata untuk memastikan bahwa aku sedang tidak salah lihat. Dengan segala kebingungan yang masih bergantungan di kepala, kucoba membaca tulisan dibalik foto itu. Mata hazelku langsung terbelalak dan sontak kaget melihat apa yang baru saja kubaca. "Ichsan, Thalia, Anne."
Ingatanku langsung Flashback dengan apa yang baru saja terjadi pada Thalia, akhirnya aku mengerti alasan shock dan kaget Thalia saat melihat foto keluargaku diruang tengah tadi. Terlebih saat aku mulai menyebutkan bahwa wanita yang difoto itu adalah ibuku yang bernama Anne.
Mataku mulai terasa panas, ku usahakan menghirup udara berkali-kali seakan stok oksigen yang berada di paru-paruku mulai menipis. Ku upayakan agar air mataku tak menetes, mencoba tegar dan menguatkan diri. Apa arti semua ini? Apakah ini benar-benar harus menjadi sebuah kenyataan pahit bahwa aku bersama orang yang aku cintai dan mencintaiku adalah 2 orang bersaudara?
Ku turunkan kepalaku dan menindih bantal dibawahnya, memejamkan mata, dan meyakinkan diri bahwa apa yang baru saja terjadi hanyalah mimpi. Namun tak lama, aku terbangun setelah kesadaranku sempat hilang tenggelam dalam tidurku dan kembali lemas saat melihat tanganku yang masih menggenggam foto itu. Oh tuhan, ini bukan mimpi! benarkah dia adalah adikku? adik yang seibu denganku? No! I don't believe it!
Segera kubangkitkan tubuhku yang berpostur tinggi 180 cm, ku tanggalkan seluruh pakaian dari tubuhku, dan melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi yang berada tidak jauh dari tempat tidurku. Ku hidupkan shower dengan volume air yang sangat deras menghantam kepalaku yang begitu berat, mengalirkan air ke seluruh tubuhku yang sangat penat berharap itu bisa mendinginkan kepala dan menyegarkan tubuhku.
Namun tiba-tiba bayang-bayang itu kembali hadir. Bayang-bayang yang selalu menghantui dan mengingatkan bahwa gadis blasteran Turki-Italy itu adalah adikku. Pada akhirnya air mataku tak mampu lagi kubendung, kubiarkan ia menyatu dengan air yang mengalir membasahi seluruh tubuhku. Aku tak pernah rela dan tak ingin cinta yang sempurna yang telah kurajut bersamanya harus berakhir karena ikatan sedarah.
Rasanya aku masih tidak percaya. She is not only my girl, she is my guardian angel. Yang telah tuhan turunkan untuk menjadi pendampingku kelak, yang akan selalu menemani hidup dan matiku, dan yang akan selalu menemani masa tuaku.
Pikiranku kembali pada bayang-bayang foto dan kenyataan sialan itu, amarahku kembali meletup-letup, rasa panas mulai merasuki dada dan pikiranku, Air yang membasahi seluruh tubuhku ternyata belum mampu menepis segalanya. Ku kepalkan tanganku dengan kuat, dan bogem mentah itu akhirnya mendarat kearah cermin besar yang berada di hadapanku. Terlihat cairan berwarna merah mulai mengalir, kurasakan jari-jari tanganku berdenyut dan perih saat air yang mengalir dari shower itu membantu membersihkan luka dan darah ditanganku.
'Aaaaaaaaaakkkkhhhhhhhh!!! kenapa ini bisa terjadi? dia gak boleh jadi adek gue! gak boleh!'
Aku berteriak sekencang-kencangnya, menyadari hanya dinding kamar mandi beserta isi-isinya yang bisa mendengarku. Ku tundukkan kepala, dan melihat banyak pecahan kaca yang hancur berhamburan di lantai, sama seperti hatiku yang terasa hancur dan pecah saat mengetahui kenyataan Pahit bahwa Thalia adalah adikku.
(bersambung)
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfection Of Love - [END] ✔
RomanceEmpat semester bukanlah waktu yang singkat bagi Thalia mengagumi dan mencintai seorang Aray, hingga pada suatu ketika Aray mengakui memiliki perasaan yang sama sepertinya. Berharap sebuah penantian dan kesabaran nya yang berbuah manis akan berlangs...