Perfection Of Love - 09 - Never Been Us

508 28 9
                                    

"Tak ada yang mengerti ku merasa semakin sendiri,bagaikan rumput kecil yang tumbuh di gurun pasir yang sepi"-Iman

***

Ruangan yang luas dan cukup megah kini hanya nampak seperti kuburan saking sepinya. Ruang keluarga bernuansa krem dengan berbagai furniture dominan berwarna coklat terasa begitu kosong karena kesenyapan antara Aray dan papa Thalia yang hanya duduk dan berdiam diri. Aray enggan memulai pembicaraan. Khawatir Aray merasa terabaikan, akhirnya Ayah Thalia memulai percakapan dengan memandang lelaki tinggi yang sedang duduk dan menunduk dihadapannya.

"Ray, betul kamu anak Marthin dan Anne?" Tanya Papa Thalia pelan-pelan.

"Iya om," jawab Aray singkat.

"Trus kabar mereka gimana sekarang?"

"Waktu Aray kelas 3 SMP, mama meninggal."

Seketika mata Ayah Thalia membulat dan menegakkan punggungnya yang tadinya bersandar di sofa. Nyaris tidak percaya dengan apa saja yang baru saja didengarnya. "Me-meninggal? kenapa?"

"Iya, Mama meninggal karena kecelakaan pesawat saat mau nyusul Aray ke Milan saat itu," jawab Aray yang merasakan pelupuk matanya kembali memanas. "dan papa baru kemarin ikut menyusul Mama akibat komplikasi hati dan jantung." Lanjutnya masih sembari menahan Air mata.

Papa Thalia makin tersentak dengan penjelasan lanjutan Aray. Kecewa pada diri sendiri karena belum sempat memohon maaf pada Marthin, teman kuliah yang dulu sangat di sakitinya karena telah merebut wanita yang sangat di cintainya dan juga karena belum sempat melihat kembali wajah elok wanita yang sangat ia rindukan.

"Maafkan saya Ray, bahkan saya belum sempat meminta maaf pada orang tuamu, saya sangat menyesal." Ujar Papa Thalia menunduk .

Aray hanya terdiam, begitu banyak kejadian yang mengaduk-aduk perasaan dan menguras pikirannya. Kemarin ayahnya baru saja pergi untuk selama-lamanya, dan sekarang dia pun harus menerima sebuah kenyataan bahwa gadis yang sangat ia cintai adalah adiknya. Haruskah dia kembali kehilangan?

"Om, apa benar Aray dan Thalia bersaudara?" Aray mulai mengalihkan pembicaraan.

"Iya, kalian saudara seibu.Kalian sama-sama lahir dari rahim Martha. Jadi saat ini keluarga kamu satu-satunya tinggal Thalia. Kamu kakaknya," ayah Thalia mulai berdiri ke Arah aray dan langsung menempelkan kedua lutut dan menundukkan kepalanya tepat di hadapan Aray yang sedang duduk melongo heran melihat apa yang baru saja di lakukannya. "Jika kamu tidak keberatan, bisakah kamu anggap aku papamu? aku akan sangat menyesal kalau aku tidak bisa menebus segala kesalahanku pada orang tuamu. Aku akan benar-benar menjaga dan menganggapmu seperti anak kandungku sendiri nak." Lanjutnya dengan pelupuk mata yang mulai basah.

"Om..om..jangan seperti ini...," Aray mencoba membuat ayah Thalia kembali berdiri dan tidak sampai menyentuh kakinya, tapi ayah Thalia kekeh untuk tetap berlutut.

"Maafkan saya nak, izinkan saya menjagamu." Ujar ayah Thalia masih berlutut dengan hati penuh sesal.

"Oke, oke om, sudahlah. Aray sudah maafin Om. Please berdiri. Tidak sepantasnya Aray mendapat perlakuan seperti ini dari Om. Aray seorang anak, sangat tidak pantas seorang Ayah berlutut di kaki anaknya." terang Aray mulai kembali menuntut Ayah Thalia untuk berdiri lalu memeluknya sambil mengeluarkan air mata yang kini tak mampu lagi dibendungnya.

Thalia yang baru saja turun dari kamarnya ikut menyaksikan suasana haru antara Aray dan Ayahnya. Matanya sembab, tak ada senyum sama sekali terlukis dibibir tipisnya.

"Pa...," panggil Thalia lirih

Mendengar suara putrinya tengah memanggilnya, ayah Thalia perlahan melepaskan pelukannya bersama Aray dan menoleh ke sumber suara yang baru saja didengarnya.

Perfection Of Love - [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang