"Aku bahkan tidak seindah kedipan matamu. Namun dapatkah kau berikan senyum untukku walau itu bukan cinta?" - David
***
"Vanessa?" ucap Thalia kebingungan dan tak membalas pelukan wanita berambut pirang di hadapannya.
"Ya, Thalia. It's me. " jawab Vanessa sumbringah. Perlahan dia melepaskan pelukannya dan beralih memegang kedua tangan milik wanita bermata sipit di hadapannya.
"Aray juga disini? Bersamamu?" tanya Thalia mulai gugup. Bibirnya terasa bergetar saat menyebut nama lelaki yang sudah lama di hindarinya.
Vanessa mengangkat sebelah alisnya, wajahnya berubah heran. "Aray?"
"Sayang, apa kau sudah selesai?" tanya seorang pria tinggi tegap bermata abu dan berambut coklat yang berdiri di belakang David dan Thalia, terlihat seorang balita perempuan tengah di gendongnya. David dan Thalia spontan membalikkan badannya, Vanessa menghampirinya dan mengecup lembut pipi pria dan balita itu.
"Sudah sayang," jawab Vanessa.
"Nessa, dia... Siapa?" tanya Thalia terperangah.
"Dia? Oh maaf, aku lupa mengenalkannya padamu. Dia Bryan, suamiku. Dan ini Nadine, putriku. Usianya hampir menginjak tiga tahun" Vanessa memegang bahu balita yang digendong lelaki itu."Sayang perkenalkan dia Thalia, teman baikku dari Indonesia. " lanjutnya sembari melingkarkan lengannya di pinggang lelaki yang disebut suaminya itu.
Mata Thalia makin membulat, rasa penasaran dan kebingungan makin bersarang di benaknya. Tidak berbeda dengan David, kedua alisnya bertaut saat menatap pria yang memiliki postur sama sepertinya yang kini berdiri bersanding dengan Vanessa di hadapannya.
"Su-suami? Apa kamu menikah lagi, Vanessa?" tanya Thalia yang kini berada di puncak kebingungan.
"Sayang, apa kamu pernah menikah sebelum bersamaku?" tanya Bryan sambil menundukkan wajah ke arah wanita yang merangkul pinggangnya. Senyumnya mengembang saat mendengar perkataan Thalia yang terdengar lucu baginya.
"No, no, no! Aku saat menikah denganmu saja usiaku masih tergolong sangat muda. Bagaimana mungkin aku menikah sebelum bersamamu? Apakah aku harus menikah di usia 15 tahun menurutmu? " timpal Vanessa seraya mengerucutkan bibirnya pada Bryan.
"Bukannya kamu dulu menikah dengan Aray, tiga tahun lalu?" wajah Thalia makin memerah, rasa dongkol di hatinya mulai berkecamuk.
"Aray? Kenapa aku harus menikah dengannya, Thalia. Dia hanya teman kecilku, dan aku mencintai Bryan sudah lebih dari tiga tahun lamanya." ujar Vanessa yang menatap heran pada Thalia yang kini di anggapnya aneh.
Thalia mematung di posisinya, pelupuk matanya mulai terasa panas. Mulutnya kini tertutup rapat, pikiran dan hatinya kini penuh dengan tanya tentang kejelasan hubungan antara Aray dan Vanessa.
David yang hanya bungkam menyaksikan percakapan beberapa orang di hadapannya kini angkat bicara. Seutas senyum tipis kini tersungging di bibirnya. Perlahan ia merangkul pundak Thalia yang kini mematung dan menatap lekat ke arah Vanessa. " Sepertinya aku mencium aroma kesalah pahaman disini. Vanessa, Bryan, bolehkah kita mengobrol di suatu tempat? Sebaiknya kita mengobrol di suatu tempat yang santai dan nyaman. Cofficina? "
"Hei, anda bukannya dokter yang pernah merawat Thalia?" tanya Vanessa tersenyum seraya menatap Dave.
"Iya, aku Dave. David Mohena." ucap Dave sembari mengulurkan tangannya ke arah Vanessa dan suaminya dan disambut hangat oleh sepasang pasutri itu.
"Yah, sepertinya kopi akan sangat bagus menemani kita saat ini. Dan Cofficina ...bukanlah ide yang buruk." ujar Bryan sembari tersenyum hangat pada Dave dan Thalia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfection Of Love - [END] ✔
RomanceEmpat semester bukanlah waktu yang singkat bagi Thalia mengagumi dan mencintai seorang Aray, hingga pada suatu ketika Aray mengakui memiliki perasaan yang sama sepertinya. Berharap sebuah penantian dan kesabaran nya yang berbuah manis akan berlangs...