"Di bawah langit kau adalah doa yang terbisik, di dalam puisi kau adalah kiasan yang terindah, di dalam paragraf kau adalah kata yang terbaik. Disiku, menunggu membuat aku menjadi lebih kuat, mengerti apa itu kesabaran dan kesadaran, yang mengajarkan aku akan arti bertahan"-Aray
***
Dengan tergesa Aray yang di dampingi para perawat beserta dokter setengah berlari mendorong ranjang kecil ber-roda empat yang membawa tubuh Thalia di koridor rumah sakit. Tidak jauh dari mereka terlihat pintu ruangan bertulis UGD mulai terbuka,tim medis yang akan menolong gadis 17 tahun itu segera masuk tanpa membiarkan Aray tetap mengikuti dan mendampingi mereka.
"Maaf, anda tidak boleh masuk. Biarkan kami melakukan apa yang harus kami lakukan. Silahkan tunggu diluar saja." Ujar salah satu perawat wanita pemilik nametag 'Zulaeha' bertubuh minimalis pada Aray yang dipenuhi peluh disekujur tubuhnya.
Aray memandangi perawat itu dengan tatapan kecewa, napasnya tersengal,"Tolong biarkan saya masuk suster. Dia...adikku" lanjutnya dengan tenggorokan yang teras tercekot setelah mengucapkan kata terakhirnya.
"Silahkan tunggu adik anda diluar. Biarkan kami bekerja dengan maksimal!" ujar kembali suster Zulaeha lalu menutup pintu UGD dan membiarkan Aray berdiri mematung di depan pintu.
Aray mengacak rambutnya frustasy, rasa takut kehilangan kini menggelayutinya. Cepat-cepat dia merogoh saku depan celananya untuk mengambil ponsel berlogo apple berwarna hitam miliknya lalu memencet fast dial nomor 2 yang tersambung ke nomor ponsel ayah Thalia.
"Halo Papa... Thalia kecelakaan...." Ujar Aray dalam telfon dengan wajah cemas.
***
Lima belas menit berlalu namun pintu UGD belum juga terbuka. Aray terus menatap pintu kaca putih tebal itu dengan perasaan takut dan khawatir. Tidak lama kemudian, Ayah Thalia yang wajahnya panik menghampirinya.
"Aray.. Gimana Thalia? " tanya Ayah Thalia cemas lalu menatap ke arah pintu UGD yang masih tertutup.
"Thalia tadi ketabrak lari pa, Aray bener-bener gak berguna! Maafin Aray. " Ujar Aray sambil terus memukuli kepalanya dengan kedua tangannya hingga tangan ayah Thalia menghentikannya.
"Cukup.. Cukup.. Ini bukan salahmu. Lebih baik kita berdoa semoga Thalia baik-baik saja. " ujar ayah Thalia bijak sambil merengkuh pundak Aray yang duduk di kursi tunggu besi yang ada berada tidak jauh dari ruang UGD.
Selang beberapa menit kemudian wajah Aray dan Ayah Thalia menoleh ke Arah pintu UGD yang perlahan terbuka lalu berlari kesana saat dokter yang didampingi beberapa perawat mulai menampakkan batang hidung mereka.
"Bagaimana kondisi Thalia dok? " tanya Aray pada dokter muda pria berusia sekitar 30 tahunan yang menangani Thalia. Nampak tulisan 'Dr. David mohena,Sp.PD' pada jas putihnya.
Sang dokter mendengus pelan, "Pasien kehilangan banyak darah. Kita butuh pendonor dengan golongan darah A+ untuk menyelamatkannya."
Wajah Aray dan Ayah Thalia memucat. Ayah Thalia tidak memiliki golongan darah yang sama seperti yang baru saja dokter sebutkan. Memory lama yang tiba-tiba diingatnya jika golongan darah A+ sama seperti yang dimiliki Alm. Anne mantan istrinya membuatnya makin frustasy. Sementara Aray yang ogah-ogahan dengan jarum suntik memberanikan dirinya sebagai pendonor.
"Ambil darah saya saja dok," Ujar Aray yakin.
"Apa darah anda cocok? " tanya dokter David sambil tersenyum memastikan keyakinan Aray, rasa lega sedikit dirasakannya.
"Semoga saja cocok. Saya kakaknya,"
"Baiklah, silahkan ikut kami." ujar dokter David. Aray menatap ayah Thalia meminta persetujuan darinya, Ayah Thalia mengangguk pelan sambil tersenyum ke arahnya. Dengan langkah cepat dia segera menyusul di belakang Dr. David bersama para perawat yang menuntunnya ke laboratorium darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfection Of Love - [END] ✔
РомантикаEmpat semester bukanlah waktu yang singkat bagi Thalia mengagumi dan mencintai seorang Aray, hingga pada suatu ketika Aray mengakui memiliki perasaan yang sama sepertinya. Berharap sebuah penantian dan kesabaran nya yang berbuah manis akan berlangs...