16. Suzy

2.2K 469 61
                                    

She didn't want love, she wanted to be loved. And that was entirely different. - Atticus

-----
Suzy

"Kau yakin tidak mau ikut ke kampusku? Kau bisa menunggu di mobil, kami tidak akan lama, Suzy." Ucap Ellen sambil melirik kepadaku. Ellen sedang mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer di meja rias. Sedangkan aku, duduk di ujung ranjang dengan rambut tergelung rapi di kepala.

Aku menggeleng, "Tidak. Aku ikut Ibu saja." Jawabku.

Oh yang benar saja! Bisa mati bosan aku menunggu di dalam mobil sementara Ellen dan Soojung masuk ke kelas mereka. Dan lagipula, aku belum siap jika melihat Myungsoo.

Aku yakin seribu persen jika Myungsoo pasti akan menunggu sampai mobil putih milik Ellen terlihat di parkiran. Kenapa aku dapat yakin seperti itu? Karena sejak setengah jam yang lalu ponselku terus bergetar dengan id caller dengan nama Myungsoo yang menari-nari di layar.

Aku hendak mengangkat panggilan itu, namun Ellen menghentikanku. "Jangan berani kau mengangkatnya, Suzy."

Aku mendesah. Menatap ponselku dengan pandangan menerawang, lalu mengangguk, "Aku tidak akan mengangkatnya." Kataku kemudian.

Setelahnya, aku menemukan ada dua puluh panggilan tak terjawab yang berasal dari satu id caller yang sama. Aku mencoba untuk tidak melakukan apapun dengan ponselku agar aku tidak tergiur untuk balas memanggil nomor Myungsoo.

Sejujurnya, aku sama sekali tidak marah dengan Myungsoo karena itu adalah hak nya untuk berciuman dengan siapa saja. Namun, yang membuatku kesal adalah karena dia mencium Jiyeon pada saat mengatakan kalau dia menyukaiku. Oh my god! Dia benar-benar sesuatu.

Dan juga selain itu... Dia mengambil ciuman pertamaku.

Wajahku memerah. Bisa-bisa nya aku sempat terbuai dengan kata-kata Myungsoo tanpa ingat kalau Myungsoo adalah seorang yang brengsek--menurut Ellen dan Soojung-- tentu saja.

"Kau yakin tidak akan bosan ikut dengan Ibu?" Ibu menoleh sekilas menghadapku. Lalu, kembali memusatkan pandangannya pada jalanan raya.

Blazer dengan rambutnya yang tergelung, membuat Ibuku semakin terlihat cantik walaupun umurnya sudah tidak bisa dikatakan muda lagi. My role model. Aku selalu ingin seperti Ibu.

Aku menggeleng, "Lebih baik daripada aku berdiam di dalam rumah seharian, Bu."

Kulihat Ibu menyunggingkan senyumnya mendengar jawabanku. "Kau bisa menunggu di kedai kopi samping Firma kalau kau sudah merasa bosan duduk di dalam ruang kerjaku, sayang."

Aku tersenyum dan mengiyakan.

Sepuluh menit kemudian mobil sudah terparkir di basement. Kemudian Ibu mengajakku untuk mengikutinya menuju lift yang akan membawa kami ke ruangan kerjanya.

"Good morning, mrs. Bae." Sapa seorang dari balik meja kerjanya. Rambutnya tergelung rapi kebelakang, sama seperti Ibu. Bedanya, blazer yang dipakai wanita berumur kisaran tiga puluhan yang menyapa Ibu ini sama dengan wanita yang kejumpai di lantai bawah sebelum masuk kedalam lift tadi.

Kulihat Ibu menyunggingkan senyum nya dan membalas sapaan wanita itu. Aku otomatis tersenyum juga ketika wanita bersanggul itu beralih tersenyum kearahku. "Ellen? Ada angin apa--"

"Dia anakku, Suzy. Adik kembarnya Ellen." Sela Ibu.

Wanita bersanggul itu nampak kaget mendengar ucapan Ibu. Lalu, matanya menatapku seolah tidak percaya. Aku mendesah, tentu saja. Hal ini selalu terjadi pada setiap saat ketika mereka mengetahui aku atau Ellen adalah kembar. Bahkan, aku mengingat dengan samar kalau dulu ada yang sampai memfoto kami berdua yang sedang duduk bersisian.

Spring Blooming #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang