22 - Trauma [2]

6.7K 927 253
                                    

Sangat menyarankan untuk membaca terlebih dulu chapter 15 - Trauma karena ini masih kelanjutan cerita tersebut. Dan disini udah aku hilangin bagian ratednya😊

Aku akan sangat semangat kalau kalian ga jadi siderㅠㅠ oh iya, frode ga up dulu hari ini, oke?

So, enjoy!

Jihoon menggigiti kukunya dengan cemas, terus menerus menatap ke arah pintu Operatie Kamer disebrangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jihoon menggigiti kukunya dengan cemas, terus menerus menatap ke arah pintu Operatie Kamer disebrangnya. Ia mengabaikan dahinya yang mulai berkeringat dan mengabaikan pula tatapan kasihan dari keluarga suaminya.

"Jihoon-ah,"

Jihoon menggeleng cepat, berjongkok dengan bersandar pada tembok. Ia ingin pintu tersebut cepat terbuka dan mulai menangis lagi. Ia ingin segera mengetahui keadaan suaminya yang sedang kembali berjuang antara hidup dan mati di dalam sana. Dan badannya mulai bergetar ketakutan. Bagaimana jika Guanlin tidak mampu melaluinya kali ini? Bagaimana jika Guanlin menyerah?

Menangis begitu sedih, begitu pilu, hingga suaranya menggema di lorong rumah sakit ini. Menyayat hati siapapun yang mendengarnya

Jihoon ingin pintu ruangan itu cepat terbuka, lalu ia akan berlari ke dalam. Masuk ke dalam pelukan suaminya yang sangat ia rindukan. Obat penawarnya. Orang yang selalu mengingatkannya akan magic word. Orang yang mendukungnya sampai pulih. Orang yang memegang tangannya ketika rasa takut itu datang. Orang yang begitu kuat disaat ia sendiri ingin menyerah.

Karena tidak ada lagi selain Guanlin, yang memperlakukannya sangat berharga. Seolah Jihoon tidak memiliki kekurangan apapun, bahkan ketika semua orang mengatakan mentalnya terganggu. Ketika semua orang mengatakan dirinya gila, hanya Guanlin yang bilang; "Baby, kamu sempurna apa adanya,"

Syok Hipovolemik.

Begitu mereka mematahkan semangat Jihoon ketika mengetahui Guanlin sudah sadar. Tetapi bukan untuk merajut cinta bersamanya lagi, melainkan pendarahan otak yang terjadi secara tiba-tiba memaksanya bangun dan merasa keterkejutan yang luar biasa. Dan lagi, Jihoon membiarkan Guanlin berjuang menahan rasa sakit sendirian lagi.

Jihoon menyesal meninggalkan Guanlin siang tadi.

Jika memang Guanlin akan tertidur kembali, untuk waktu yang lebih lama, setidaknya Jihoon sudah sempat melihatnya membuka mata dan mengusap air matanya.

Ia menutup telinga, suara berisik terus memekakkan telinga.

Ia tidak ingin gila.

Ia tidak ingin disebut gila.

Ia menutup telinga, bahkan meremas telinganya benci, suara-suara terus berdatangan memenuhi pendengarannya dan Jihoon luluh lantah menangis begitu kencang disertai dengan hati yang gelisah, "Ma, bilang sama Jihoon, kalau Guanlin pasti akan bangun lagi!!!" jeritnya seperti orang kesetanan.

Liefde [PanWink] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang