Part 9

296 48 145
                                    

Hatiku geram. Bagaimana bisa aku merelakan bibir bekas itu menciumku?

Dan apa tadi katanya? Tidak pernah mencium wanita selain diriku? Lalu apa yang ia lakukan dengan gadis SMA lima tahun yang lalu?

Kami, maksudku Zilvia dan Sean pernah melakukannya.

Waktu itu kami sedang pergi ke taman. Hari sudah menjelang sore, aku baru saja pulang sekolah dan dia sedang ada urusan dengan temannya.

Dan sore itu, ia bilang, "Aku sangat mencintaimu, Vi."

Dia mulai mendekatkan wajahnya dan hari itu ia mengambil ciuman pertamaku, ciuman pertama Zilvia yang bahkan ia lupakan begitu saja.

Terbukti dari ucapannya barusan bahwa ia hanya pernah menciumku.

Mencium Zee. Iya, karena aku saat ini adalah Zee, bukan Zilvia. Aku yakin ia tidak akan pernah tahu bahwa aku adalah Zilvia.

Bagaimana juga dengan jalang yang setiap hari ia bawa, tidak mungkin jika mereka hanya duduk-duduk manis dan menikmati secangkir kopi sampai sore, bukan?

Jadi bisakah aku percaya jika ia hanya pernah menciumku? Dia pikir aku terlalu bodoh untuk menyadari betapa berengseknya dia.

Seandainya waktu bisa aku putar, tidak akan pernah aku biarkan seorang Sean Allano masuk di kehidupanku dan membuat aku merasakan sakit ini.

Setetes kesedihan mengalir dari mataku, ingatan tentang masa lalu itu berputar cepat seolah membawaku kembali ke masa itu. Masa di mana aku hanya seorang gadis cupu dan miskin. Masa di mana tak ada yang mau menjadi temanku. Masa di mana aku tak terlihat dan dengan mudah bisa mereka lupakan.

"Zee, kau menangis?" Suara bariton itu membawaku kembali dalam kesadaran.

Shit, aku lupa jika Sean masih di sini.  Aku mengusap pipiku yang basah.

"Aku ingin istirahat," kataku tanpa menjawab pertanyaannya tadi.

"Baiklah, selamat malam," katanya kemudian meninggalkanku.

Begitu Sean menghilang, aku meluapkan kembali rasa sesak di dadaku, aku menangis, tidak perduli besok mataku tidak akan terlihat karena sembab. Aku hanya ingin menluapkan rasa sakit ini, walaupun aku tahu luka ini tidak akan pernah sembuh sebelum Sean mendapatkan balasan  dariku.

Ini dendamku dan ini kebencianku.

...

Matahari bersinar sangat terik saat aku membuka mata. Aku melirik jam di nakas sebelah kananku. Pantas saja mataharinya seterik ini, sekarang sudah jam delapan pagi.

Aku menangis semalaman dan baru tidur jam empat pagi. Air mataku terbuang hanya untuk menangisi pria sialan itu. Semoga dendamku cepat terbalaskan, aku sudah bosan melihat wajahnya.

Kenapa sepagi ini aku harus membicarakannya? Merusak pagiku saja.

Aku menyingkap selimut yang membungkus tubuhku, kemudian mencoba menapakkan kakiku di lantai. Awalnya biasa saja namun baru saja akan berdiri tubuhku oleng dan nyaris terjatuh jika saja aku tidak bertumpu pada kepala ranjang. Ternyata kakiku masih sakit. Aku pikir sehari saja sudah akan sembuh, hah bodoh sekali aku.

Kembali aku mencoba melangkahkan kakiku, baru satu langkah tubuhku oleng lagi. Sial, aku terlihat seperti orang lumpuh.

Seharusnya aku menuruti perkataan Ello kemarin.

Aku merasakan sentuhan pada bahuku, aku menoleh dan mendapati Sean sedang merangkulku. Siapa yang mengijinkan pria ini masuk ke kamarku?

Sean menuntunku menuju kamar mandi, kemudian membiarkan aku melakukan acara pagiku tanpa mengunci pintu. Dia yang meminta, katanya takut terjadi apa-apa. Awas saja jika ia berani mengintipku, aku akan mencongkel matanya dan aku berikan kepada Pockie, anjing kesayangan Ello.

Mr. PLAY BoYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang