Part 10

296 46 121
                                    

"Paman, Bibi. Oh, hay tampan."

Astaga, apa-apaan ini? Kean menyapa Ello dengan sebutan tampan. Mengelikan sekali.

Aku jadi curiga, apa mereka menjalin hubungan yang tidak wajar? Seperti menyimpangan seksual mungkin?!

"Aww. Kenapa kau menjitakku?" protesku pada Kean. Seenaknya saja dia menjitak jidatku.

"Aku tahu isi pikiranmu, jangan berpikir yang aneh-aneh. Kau mengerti?!"

"Hm," sahutku malas. Mengabaikan keberadaannya untuk melanjutkan sarapan pagiku.

Kean pun ikut sarapan bersama kami, entah di rumahnya tidak ada makanan atau memang dia suka sekali meminta makanan di rumahku.

"Terimakasih, Bi," ujar Kean saat Mama menghidangkan makanan di piringnya. Sikapnya sangat manis, dan ceria. Seperti biasa.

Sarapan kami berlangsung dalam diam, kebiasaan dari Papa jika sedang  makan tidak boleh banyak banyak bicara. Yeah Papa dan semua peraturannya.

"Paman, aku ingin mengajak Zee jalan-jalan hari ini," ujar Kean setelah kami semua selesai sarapan.

"Ke mana?" tanya Papa.

"Hanya ke kantor, aku kasihan padanya hanya berdiam diri di rumah."

"Baiklah, hati-hati. Jaga Zee dengan baik," kata Papaku tenang.

"Baik, Paman."

"Sayang, jangan nakal dan jangan merepotkan Kean. Mengerti?" Aku mengangguk menyanggupi pesan dari Papa.

Ya ampun, kadang aku kesal diperlakukan seperti ini. Kalian tahu umurku sudah dua puluh satu tahun lebih dan Papa masih memperlakukanku seolah aku ini adalah bocah berumur tujuh tahun.

Hah! Tapi, aku tahu semua itu karena mereka menyayangiku. Kasih sayang keluarga yang baru aku rasakan setelah berumur enam belas tahun.

...

"Siap untuk kalah, Nona?" tanya Kean sembari melepas sabuk pengamannya.

"Harusnya itu dialogku karena kau yang akan kalah," kataku yakin. Mobil Kean telah berhenti di depan loby kantor, ia membantuku turun dan mengambilkan tongkatku yang aku simpan di kursi belakang.

Kean berjalan lebih dulu, namun sesekali ia melihat ke arahku. Sudah dua hari aku tidak bekerja tapi rasanya biasa saja. Tidak ada hal yang aku rindukan di kantor ini, karena mereka semua sangat-sangat membosankan. Hanya Kean yang ramah kepadaku.

Hampir semua pasang mata menatap ke arahku, entah tatapan jenis apa tapi aku merasa menjadi pusat perhatian sekarang.

"Astaga, mereka seperti melihat alien. Apa aku seburuk itu?" gerutuku sambil mengikuti langkah Kean menuju lift.

Akhirnya setelah sekian detik aku menyeberangi lautan mata, akhirnya aku sampai di ruangan Kean. Ia membantuku duduk.

Kean mengambil laptop di meja kerjanya dan mendudukkan diri di sebelahku.

"Aku sudah menyambungkan cctv di ruang kerjamu dan Sean ke laptop ini. Jadi kita bisa memantau Sean dari sini," jelas Kean.

"Kenapa tidak langsung lihat dari loby saja?" tanyaku.

"Tidak, tidak. Itu tidak akan seru nantinya. Begini lebih baik." Aku mengedikkan bahuku, terserahlah. Yang penting aku menang.

...

Seolah menantikan detik-detik pengumuman kelulusan di sekolah. Tanganku bahkan berkeringat. Menantikan pria tengik itu datang terasa sangat lama, padahal kami baru menunggunya lima menit.

Mr. PLAY BoYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang