Bersikap tenang seolah tak menyukai keadaan adalah hal yang paling ampuh untuk menyembunyikan kegugupan.
-Vania-
Ketika seorang gadis dihadapkan dengan sebuah kenyataan buruk dalam hidupnya, saat itu juga mereka akan merasa bersyukur dan berterima kasih karena takdir telah membawakan pengalaman buruk yang bisa dijadikan pembelajaran untuk masa depannya kelak. Tapi tidak semua, jika memang bisa melewatinya mungkin itu terdengar sangat menguntungkan, tapi jika tidak, penyesalan dan juga rasa keterpurukan telah mengantri di dalam benaknya.
Vania tak tahu harus merasa gugup, takut, atau pun malu ketika kakinya berpijak di samping halaman sebuah rumah bersama Franky. Mereka baru saja memarkirkan motor di pekarangan sebuah rumah yang cukup luas halamannya. Keduanya terdiam sesaat sembari memperhatikan keadaan di sekitar yang terlihat begitu sepi.
“Kamu gak ikut masuk, Ky?” Vania memegangi tas selempang kecilnya karena gugup.
“Gue tunggu di sini aja kayaknya, lo gak papa kan masuk sendiri?”
Franky tentu saja merasa tak enak ketika mengucapkannya. Tapi dia yakin keadaan akan lebih buruk lagi nantinya ketika Alaric tahu bahwa Vania datang ke sini bersamanya.
“Gue gak papa tapi gue gak yakin.”
Mata Vania terus-menerus memandangi letak rumah yang kini berdiri menjulang di depannya. Mereka berdua sengaja memarkirkan motor di halaman rumah yang sedikit jauh dari arah depan rumah itu agar ketika pintu rumah terbuka, keadaan mereka tidak diketahui.
Franky mendudukkan bokongnya di atas jok motornya sendiri. Memandang iba pada Vania yang harus berkorban saat ini membuatnya tak tega juga. Tapi jika Vania tidak melakukannya ... otomatis Franky membiarkan semua keadaan yang terjadi akan tetap seperti ini. Pria itu hanya ingin mencoba untuk memperbaiki keadaan, tapi entahlah ... yang jelas dia sudah berusaha.
“Gue juga gak yakin sih Va, tapi cuma lo yang bisa gue andelin. Gue mohon lakuin ini buat kita semua, karena gue juga gak tahu harus ngapain lagi biar Alaric mau pulang.”
Membulatkan tekad dengan semua kepercayaan diri yang ada pada dirinya, Vania menghirup udara banyak-banyak sebelum dia hempaskan lagi dengan perlahan. Gerakan matanya selalu tertuju pada rumah yang berada di depannya sedari tadi, memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi nantinya membuat nyali Vania menciut seketika.
Jika Vania terus saja tak yakin mana mungkin semua akan berjalan dengan lancar.
“Gue akan berusaha, apapun yang akan terjadi nanti lo harus terima Ky, oke?”
Perlahan Vania mengarahkan posisi tubuhnya ke arah Franky, mengambil semua harapan yang ada di pria itu untuk dia kabulkan perlahan. Mungkin tidak semua harapan, tapi setidaknya gadis itu masih ada niat untuk membantu.
Senyuman langsung terpancar saat itu juga di kedua belah bibir Franky, pria itu tahu dan meyakini bahwa gadis yang saat ini tengah bersamanya pasti akan membantu dan memberikan semua yang dia bisa demi persahabatan antara Alaric dan juga Franky.
“Gue sayang sama lo, Va ....” Dengan refleks Franky bangkit dari atas jok motornya, sedikit melangkah maju agar berada tepat di depan Vania dan mulai menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya. “Gue gak tahu apa yang saat ini gue rasain buat lo, tapi yang gue tahu, gue yakin banget lo gak akan pernah membuat gue jauh dari sahabat gue sendiri.”
Keadaan menjadi menghangat seketika, tubuh lemas Vania seakan termakan habis oleh dekapan seorang pria secara tiba-tiba. Gadis itu menempatkan dagunya tepat di atas pundak pria itu, memejamkan mata dan membiarkan waktu meraja rela di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Sempurna (Completed) ✓
Teen Fiction[PART MASIH LENGKAP] ~~SEGERA PRIVATE SECARA ACAK~~ Terbitnya sang matahari membuat semua sadar bahwa hari baru akan segera dimulai. Saat itu semua insan ingin lari dari kenyataan, tapi selalu gagal dan tak terkalahkan karena pagi akan segera usai...