Jangan terus mencoba membuatku kesal karena keinginanmu, karena itu membuatku semakin ingin terus menjauh darimu dan semua pembahasan tak jelas tentangmu.
-Alaric-
“Jadi, lo tau dari siapa gue ada di sini?” Alaric mengulangi pertanyaannya yang dihiraukan oleh Vania.
“Dari Franky,” ujar Vania tanpa berpikir panjang untuk mencari jawaban lain, "lo aja tau tentang gue dari Franky, ya kali gue gak boleh tau tentang lo juga dari dia.”
Satu sama. Alaric yang mendengarkan penuturan itu hanya bisa memutar kedua bola matanya dengan jengah. Tidak ada yang salah dari ucapan Vania tadi, tapi perkataan itu seakan mewakili sesuatu dalam dirinya.
“Kemaren Franky dateng ke gue setelah ujian sekolah di hari terakhir, dia ngobrol sama gue dan minta bantuan gue.” Kini posisi duduk Vania sedikit miring karena ingin bersitatap dengan Alaric yang hanya menatap kosong ke depan. “Awalnya gue enggan ngobrol lagi sama dia, terlebih lagi setelah kejadian siang hari itu membuat gue, lo, sama dia makin canggung kelihatannya. Lo tau apa yang gue rasain sekarang?”
Kedua tangan Alaric bergerak untuk menaruh gelas kopinya di atas meja, tatapan matanya terfokus pada gelas lain yang masih utuh isinya. “Lo gak minum?”
Vania tersenyum tipis hampir ingin tertawa, tangan kanannya segera meraih gelas itu dan menyeruput setengah dari isinya. “Bahkan ketika gue denger apa permintaan dari Franky, gue hampir pengen pingsan. Lo mau tahu apa penyebabnya?”
“Green teanya enak gak? Kalau lo mau gue bisa suruh bikinin lagi buat lo.”
“Gak.”
Dengan kesal Vania mengalihkan pandangan matanya ke arah lain, ke arah yang benar-benar tak ada pemandangan seorang Alaric yang bisa tertangkap oleh matanya. Pembicaraan mereka terdengar sangat membingungkan, saling sahut tapi dengan arah pembicaraan yang berbeda. Mungkin ini adalah sebuah kekesalan yang Vania rasakan, tapi bukan itu yang dia utamakan saat ini, melainkan tentang ... bagaimana caranya agar Alaric mau menanggapi ucapannya?
“Apa yang membuat lo harus datang ke sini dan ngomong gak jelas sama gue?”
“Lo bahkan gak jawab pertanyaan gue, Al ...,” lirih Vania sembari menggaruk hidung minimalisnya. “Bukannya gak adil ketika gue harus jawab pertanyaan lo tapi lo gak hiraukan gue sama sekali?”
“Kalau gitu lo bisa pulang sekarang karena gue gak pernah mau denger semua itu,” ujar Alaric dengan tegas sembari memiringkan badannya ke arah Vania.
“Apa kata lo? Pulang?” Perlahan Vania menolehkan pandangan matanya lagi ke arah Alaric. “Apa lo gak mau tau apa yang udah gue korbanin sebelum gue bisa dateng ke sini?”
Bangkit dari duduknya dan berjalan di depan Vania yang masih terduduk menyamping di kursinya, Alaric berjalan dengan langkah gontai sebelum terhenti dan menyandarkan punggungnya ke dinding rumah sahabatnya. Sedikit menoleh ke arah gadis yang masih terduduk itu membuat pikirannya melambung entah ke mana. Dia tak berharap ada yang mendatanginya hari ini, tidak sama sekali.
“Lo bahkan belum denger apa tujuan gue yang sebenarnya.” Vania perlahan bangkit dan mengikuti apa yang Alaric lakukan. “Apa gue masih diberi kesempatan untuk itu?”
Vania tak menyandarkan punggungnya, dia lebih memilih untuk berdiri tepat di depan Alaric dan menatap matanya dengan lama.
“Kemaren Franky bilang, orang tua lo dateng ke rumahnya buat nyari lo. Apa lo udah gak pulang segitu lamanya sampai bikin orang tua lo khawatir?”
Posisi Vania yang berada tepat di depan Alaric membuat pria itu tak bisa berkutik dan tak tahu harus menjawab apa. Dia tak mungkin menunduk dan terlihat gugup, berusaha sekuat tenaga untuk berdiri tegap dan berlagak seperti tidak terjadi apa-apa. Meskipun berbagai rasa telah hinggap dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Sempurna (Completed) ✓
Teen Fiction[PART MASIH LENGKAP] ~~SEGERA PRIVATE SECARA ACAK~~ Terbitnya sang matahari membuat semua sadar bahwa hari baru akan segera dimulai. Saat itu semua insan ingin lari dari kenyataan, tapi selalu gagal dan tak terkalahkan karena pagi akan segera usai...