Satu kesalahan tak seharusnya menutupi beribu kebaikan sebelumnya.
¤'¤
"Sebelum kita memulai rapatnya, izinkan gue buat angkat bicara dulu tentang satu hal yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan acara kita nanti."
Suara Sita terdengar begitu lantang ketika membuka acara rapat OSIS di sekolah. Mereka memang bukan pengurus OSIS lagi dan yang menjadi panitia di acara graduation nanti adalah OSIS angkatan baru. Tapi mereka masih harus turun tangan untuk mengatur tentang susunan acara apa saja yang akan mereka tampilkan nanti.
Namun, bukannya Sita segera mengarahkan semuanya untuk menyusun acara, dia malah membawa mereka semua ke arah pembicaraan yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan rapat hari ini.
"Apa gue diizinkan buat bicara?"
"Lo punya kuasa di sini, bicara aja!" sahut Genta.
"Bagus!"
Sita bangkit dari duduknya dan kini dia menjadi satu-satunya murid yang berdiri di antara semua mantan pengurus yang duduk di ruang OSIS.
"Gue cuma mau mengingatkan tentang beberapa hal yang bisa aja terjadi di antara kita setelah lulus nanti. Pertama saling melupakan, kedua, ingat tapi malu buat ngechat duluan. So? Apa yang sebenarnya harus kita lakukan agar meskipun kita jauh nanti, tapi kita masih terasa seperti saat ini. Kuncinya cuma satu, saling ingat satu sama lain."
Yang lainnya terdiam dengan tenang untuk mendengarkan perkataan Sita yang dirasa masih sangat melenceng dari tema rapat yang akan mereka bahas hari ini.
"Kita udah sama-sama sejak hampir tiga tahun yang lalu. Kita masuk sekolah bareng, MPLS bareng, ya meskipun di antara kita ada anak baru yang nggak masuk bareng, tapi kita tetep sama-sama, 'kan?"
Lirikan mata Sita terarah kepada Vania yang duduk cukup jauh dari tempatnya berdiri. Tapi Vania sedari tadi hanya diam mendengarkan tanpa ekspresi yang berarti sama sekali.
"Kita pernah merasa jadi adik kelas yang tertindas karena kita sering disuruh inilah itulah sama senior. Kita juga nggak jarang ngeluh kalau dapet hukuman. Bahagia kita bisa datang ketika kita sama-sama, karena percaya atau enggak, kehadiran organisasi seperti ini membuat gue mengerti akan beberapa hal tentang pentingnya kebersamaan.
"Ya, kita mungkin nggak terlalu akrab satu sama lain secara keseluruhan, tapi kita punya keinginan dan kerja sama yang menakjubkan sampai kita semua berada di titik ini. Kita hanya perlu sadar dengan keberadaan orang-orang di sekitar kita. Meski kalian sendirian, ingatlah, kita semua sebenarnya nggak pernah sendiri, kita selalu sama-sama."
Teman satu angkatan Sita yang berada di dalam ruangan OSIS satu per satu mulai mengembangkan senyum lebarnya. Mereka mulai mengerti mau ke mana pembahasan mereka yang sebenarnya.
"Gue merasa kita emang nggak seharusnya berpisah kayak gini. Rasa nyaman yang bisa kita rasakan di sini belum tentu ada di tempat lain. Tapi mau gimana pun juga semuanya emang udah harus terjadi, di mana pertemuan akan diakhiri dengan perpisahan. Mungkin ini terdengar sederhana, tapi percayalah ... gue secara pribadi nggak pernah mengharapkan semua ini akan terjadi."
Sita memang sosok gadis yang sangat tegas, tak salah dirinya dijadikan sebagai ketua OSIS oleh pihak sekolah. Tingkat kepeduliannya terhadap satu sama lain membuat dia terlihat seperti seorang pemimpin yang sempurna. Sita juga tak pernah memilih-milih teman, dia akan berteman dengan orang yang menganggapnya sebagai teman.
Vania, gadis yang saat ini duduk sedikit jauh dari keberadaan Sita hanya bisa memandang kosong ke arah di mana sahabat yang sangat dicintainya sedang berdiri. Dia tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, yang dia tahu saat ini hanyalah ... satu kesalahan tak seharusnya menutupi beribu kebaikan sebelumnya.
Mungkin Sita membuat Vania sedikit terluka, tapi percayalah ... hubungan di antara mereka sudah terlalu jauh hingga tak mampu untuk saling diam terlalu lama.
"Gue akan membuat sedikit pengakuan di sini," ucap Sita dengan nada suara tidak sesemangat tadi, "gue harap lo bisa ngerti, Vania."
Hampir semua murid di dalam ruangan itu menolehkan pandangannya ke arah Vania secara bersamaan, dan gadis itu memasang wajah heran ke arah Sita. Franky yang berada di sana juga dengan terpaksa melihat keberadaan Vania setelah berusaha sedari tadi untuk tidak melihatnya.
"Saat itu gue emang ada di sana, gue ngeliat lo, ngerekam perbuatan lo, bahkan gue sempet ambil gambar lo sore hari itu. Sejak saat itu, gue nunggu lo buat cerita ke gue, tapi nyatanya ... lo nggak cerita sama sekali tentang hal itu."
Vania tahu bahwa dirinya saat itu memang sengaja menutupi semuanya dari siapa pun. Tapi dia melakukan ini karena punya alasan, dia tak ingin satu orang pun tahu tentang bagaimana buruknya dia. Meskipun saat itu Franky tahu lebih awal, tapi Vania terus berusaha menutupi kesalahannya.
"Bukannya gue selalu ada buat lo? Kita deket 'kan, Va? Tapi kenapa lo diem aja dan nyembunyiin semuanya dari gue seakan-akan lo takut kalau gue akan sebarin semuanya? Apa itu yang lo dipikirkan?"
Hati Vania berteriak dengan kencang mengatakan 'iya', memang itu yang Vania khawatirkan. Dia tak ingin terlihat salah dengan kesalahannya sendiri, karena dia tahu bahwa itu akan sangat terdengar memalukan.
"Gue bukan seorang sahabat yang nggak punya hati buat bikin sahabatnya sendiri terlihat buruk di depan orang lain. Tadinya gue nggak akan sebarin hal itu di mading kalau lo bilang ke gue, tapi kenapa lo nggak bilang sama sekali? Apa sebegitu nggak pentingnya gue di hidup lo?"
Vania dengan refleks bangkit dari duduknya sampai membuat murid yang lainnya mengarahkan kembali pandangan ke arah Vania.
"Maafin gue, Vania ... mungkin gue terlihat seperti orang yang paling jahat saat ini, tapi percayalah ... gue nggak akan pernah punya pemikiran buat ngehancurin lo, nggak sama sekali."
Hati Vania hancur berkeping saat itu juga. Bagaimana mungkin dia telah menyakiti perasaan sahabatnya sendiri saat ini? Dia tak menyangka bahwa dirinya ternyata sejahat itu.
"Gue cuma ngerasa nggak dihargain, Va. Kita sering sama-sama, berangkat-pulang bareng, kita ngereceh bareng, bahkan lo nggak jarang bikin gue kesel karena tingkah lo yang kadang konyol saat kita ada di keadaan yang terasa sangat bahagia. Lo ngelupain semua itu? Apa kedekatan kita nggak ada artinya sampai lo harus nutupin semuanya dari gue?"
Nada suara Sita yang sedari tadi meilirih membuat kedua matanya memerah dan akhirnya buliran air mata jatuh dari sana.
"Sita ...."
Vania membuang semua rasa yang mengganjal di dalam dirinya, segera dia berlari ke arah Sita dan memeluk tubuh sahabatnya dengan erat.
"Gue yang harusnya minta maaf sama lo, gue bener-bener minta maaf. Mana gue tau kalau ternyata kita akan kayak gini, maafin gue ...."
Sita membalas pelukan Vania jauh lebih erat. Tangis dari mereka berdua membuat semua yang berada di dalam ruangan langsung ikut bangkit dan menghampiri Sita bersama Vania, mereka memeluk tubuh keduanya secara bersamaan.
Perpisahan yang sebenarnya bukan untuk saling melepaskan, tapi untuk saling mengikat agar sejauh apapun jarak yang mereka tempuh akan terasa dekat. Tidak peduli dengan seberapa jauh mereka akan terpisahkan nantinya, yang harus dipedulikan saat ini hanyalah ... kebersamaan, kedekatan, dan saling ketergantungan yang harus terbiasa dihapuskan.
Bukan untuk saling melupakan, tapi hanya untuk menjadi persiapan agar tanpa mereka bersama pun, keadaan hangat seperti saat ini akan tetap terasa di mana pun mereka berada nantinya.
The end.
To be continued.
Regards,
Viia;))
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Sempurna (Completed) ✓
Ficção Adolescente[PART MASIH LENGKAP] ~~SEGERA PRIVATE SECARA ACAK~~ Terbitnya sang matahari membuat semua sadar bahwa hari baru akan segera dimulai. Saat itu semua insan ingin lari dari kenyataan, tapi selalu gagal dan tak terkalahkan karena pagi akan segera usai...