3-Menghindar

188 31 46
                                    

Selamat membaca

Pagi harinya, Aleza sudah bersiap untuk pergi sekolah. Dia buru-buru berangkat. Namun, ibunya memanggil.

"Za..." Ale akhirnya menoleh.

Dilihatnya ada Ibu juga Ayahnya. Sungguh, perasaan Ale tak enak.

"Ya, Bu?" sahut Ale lemah.

"Kemari, Nak. Ada yang ingin Ibu dan Ayah bicarakan." Perkataan itu semakin membuat Aleza takut. Langsung saja, Aleza berdalih. Ale mencari-cari alasan untuk pergi, meski ia tahu menghindari masalah tak ada gunanya.

"Huh? A... Aku buru-buru, Yah, Bu, mungkin lain kali saja. Dah...." Ale melambaikan tangan. Ia berajalan buru-buru sampai melupakan kebiasaannya untuk mencium kedua tangan orangtuanya.

"Fiyuhh..." diembuskannya napas lega, akhirnya Ale selamat. Setidaknya untuk hari ini, Aleza bisa terbebas. Meski selama apapun dia menghindar, akan tetap harus dihadapi juga.

Ale berjalan menuju simpang rumahnya, menunggu angkutan kota lewat. Tak lama, ada angkutan yang lewat dan membawanya sampai ke simpang sekolahnya.

Dari simpang itu, Ale terus melangkahkan kakinya cepat, untuk tiba di sekolah dengan cepat. Setidaknya di sekolah yang masih pagi seperti ini, dapat membuat Ale bisa menenangkan pikirannya.

Aleza akhirnya sampai di kelas, dia datang terlalu pagi dan kelas masih sunyi. Benar-benar seperti dugaannya.

***
Pelajaran dimulai, Aleza sungguh tak fokus. Semua potongan-potongan kejadian semalam terngiang-ngiang di kepalanya

Guru yang menerangkan pelajaran Matematika itu, tak lagi menjadi fokusnya. Mulutnya terlihat terus komat-kamit dan berjalan mondar mandir. Semua tulisannya di papan putih itu seperti bergerak-gerak dalam pandangan Aleza.

Aleza sungguh tak bisa berkonsentrasi sekarang ini. Pikirannya benar-benar kacau. Memori otaknya mengeluarkan berbagai potongan kejadian kemarin dan juga bayangan wajah sedih Ayah, Ibu, Edgar juga Anya.

"Akhhh!!!"

Tanpa sadar Ale berteriak sangat keras. Dan kalian pasti tahu, apa kejadian selanjutnya. Ya, Ale langsung dipanggil guru yang bersangkutan.

"ALEZA DAVINA! Apa yang Kamu teriakkan?!" tanya guru matematika itu dengan nada tinggi.

" Ha-h? Maaf Bu, Saya.. Saya engg---"

"Sekarang cepat keluar! Saya tidak membutuhkan murid pemalas seperti kamu!"

Akhirnya Ale pasrah, ia keluar dari kelas. Sungguh, malang nasib Aleza.

Ale berlari ke belakang sekolah, tepatnya di taman. Ini tempat yang paling tenang dari seluruh sudut sekolahnya.

Di tempat ini, Ale menangis sesenggukkan. Entah apa sebenarnya salahnya hingga menanggung beban seberat ini.

"Hemhm...." Suara deheman seorang anak laki-laki terdengar di indera pendengaran Ale, hal ini membuat Ale langsung mendongak dan menghapus sisa air mata yang masih jelas terlihat di pipinya.

"Sedang apa?" tanya pria itu pada Aleza. Dia adalah Gerald, sahabat Ale sejak kecil. Lebih tepatnya sejak SD.

"Tak apa, hanya merimangi nasib. Kau? Sedang apa di sini?" balas Ale pada Gerald.

"Aku tahu, kau sedang bersedih. Mau cerita? Siapa tahu aku bisa membantumu, atau paling tidak bisa mengurangi beban dengan curhat," tanya Gerald lembut.

"Gerald... Aku tidak tahu harus bagaimana?" Ale kembali menangis sambil bersandar di bahu Gerald. Dia terus menangis mengingat kejadian semalam.

"Ral, maaf... saat ini aku belum bisa berbagi denganmu." Ale memelas menjawabnya. Namun, tak berpindah dari bahu nyaman  Gerald.

"Yasudah, jika nanti kau sudah siap, tolong hubungi aku. Berbagilah denganku. Aku orang pertama yang selalu ingin mengetahui kabarmu." Sungguh, kali ini Ale ingin memeluknya erat. Namun, tak mungkin.

Segera Ale mendongak melihat wajah Gerald. Sedikit lega. Perasaan Ale sedikit terobati.

"Kau masih menyimpan nomorku kan? Kalau ada apa-apa tolong beritahu aku." Gerald tersenyum mengatakannya pada Ale.

"Ral... kau memang yang terbaik!" Ale kembali menangis di bahu Gerald, sampai melupakan bahwa seragam Gerald sudah basah. Buru-buru Ale duduk normal dan tidak menyandar lagi.

"Maaf, Ral, seragamnya jadi basah gini." Ale menunduk menyesali perbuatannya. Namun, Gerald tidak mempermasalahkannya.

"Tak apa, nanti juga kering."

"Ehm.. Makasih ya, Ral. Omong-omong kenapa kau di sini? Ini kan jam belajar," tanya Ale setelah merasa keadaannya sedikit membaik.

"Eh.. aku.. em, aku... hehehe.. aku kena hukum, Za." Gerald cengengesan menjawabnya.
"Kalau kau?" balasnya lagi bertanya.

"Ohh.. beda, aku diusir karena berteriak di kelas." Ale sudah tertunduk malu.

"Bahahahakaka..." Gerald malah tertawa lebar. Sungguh, melihat senyumnya sedikit beban Ale berkurang. Padahal, beban masalahnya sungguh banyak. Ralat, bukan banyak, namun besar. Apa iya, Ale harus berbagi dengan Gerald? Tapi, bukankah itu sama dengan membuka aib keluarga Aleza? Tapi, jika tidak, bagaimana cara Aleza keluar dari masalah ini?

Mungkin nanti saja. Aku akan mengatasinya sendiri. Begitulah pikir Aleza.

"Ral, bentar lagi pulang, gak balik?" tanya Ale pelan, setelah mereka berbuncang-bincang entah berapa lama. Ale mengatakannya lembut, takut Gerald salah paham.

"Hem.. benar juga. Ya sudah ayo siap-siap. Hapus air matamu."  reflek Ale menghapus air matanya dengan kedua tangannya.

Saat Aleza sudah bangkit dari bangku taman, Gerald menahan lengannya.

"Jika kau ada masalah, maka hadapilah masalah itu, bukan lari." Gerald menjeda kalimatnya sebentar, lalu lanjut lagi berkata,

"Hidup ini sumber masalah, jadi kalau kau tak mau mendapat masalah itu sama artinya dengan kau tak mau hidup. Kau paham kan maksudku?"

"Apapun keputusanmu, aku dukung. Aku yakin kau sudah mampu memilih mana jalan yang benar, sekali pun aku tak tahu apa masalahmu." Itu kata-kata petuah yang terakhir kali Aleza dengar dari Gerald.

Ale melihatnya dengan tatapan percaya. Gerald mampu melihat mata Ale yang penuh dengan beban, meski bibir Ale tengah tersenyum. Ale hanya mengangguk lemah membalas perkataannya.

Kau tak tahu, Ral seberapa besar masalah ini. Aku tak yakin pada diriku sendiri apa aku mampu memilih jalan yang benar? Aku harap Tuhan mampu membukakan jalan keluar bagiku dan masalah ini segera selesai. Aku sunggu terbebani karena ini dan aku hanya punya waktu 6 hari lagi. Aku tak mungkin menghindar setiap hari dari masalah ini, yang ada masalah ini semakin rumit. Baiklah aku akan menghadapinya seperti kata Gerald.

TBC

She Is My Shinning AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang