10-Dijauhi dan menjauh

85 22 36
                                    

Selamat Membaca

Setiap hari Ale semakin jarang mengunjungi Ayahnya. Bukan karena kemauannya. Hanya saja, Ibu melarangnya belakangan ini.

"Kau mau ke mana?" Pertanyaan Ibu mengintrogasinya, seperti seorang maling yang sedang kedapatan, Ale hanya mampu terdiam saat Ibunya  memergoki dirinya yang tengah menyiapkan makanan di rantang.

"Mengunjungi Ayah. Kenapa, Bu?" Ale tetap bertanya lembut. Ibu mungkin masih terbawa emosi, Ale harusnya tak membiarkan emosinya. Namun, membiarkan Ibunya lebih banyak beristirahat untuk menyengarkan pikiran.

"Untuk apa? Hah? Kau saja tak berniat membantunya. Jadi, lebih baik jika kau tak lagi mengunjunginya. Ayah bisa muak melihatmu terus yang selalu berkelit dengan alasan!"

"Gak, Bu! Aku gak seperti itu, aku hanya belum bisa membantu Ayah. Jadi, biarkan kali ini aku meringkan sedikit bebannya."

"Sudahlah, Za. Anggap saja ini sebagai baktimu pada Ayah." Ibu lagi-lagi memberikannya perintah yang sulit. Apa sebenarnya Ayah terganggu atas kedatangan Aleza? Aleza hanya ingin bertanya langsung dengan Ayahnya, tapi sekarang saja Ibunya tak lagi mengizinkannya. Jadi, bagaimana mungkin untuk Aleza menemui Ayah.

Untuk melawan perintah Ibu, Ale sama sekali tak berani. Baginya, perintah orangtua adalah yang nomor satu dan perintah Agama yang berasal dari Tuhan adalah perintah utama, dan menurutnya orangtua adalah sosok malaikat kiriman Tuhan di dunia ini. Pasti kalian setuju bukan dengan pernyataan Aleza?

Akhirnya Ale memundurkan langkahnya. Dia sudah beralih menuju kamar dan hanya belajar. Omong-omong soal kerja, Ale sudah tak bekerja lagi di sana. Ibunya bilang, jika ia masih sanggup, ia tak ingin menerima bantuan dari Aleza.

***
"Za, kemarilah!" Aleza dengan ragu-ragu mendekat ke arah Gerald, karena dia sudah berjanji pada Ibunya untuk menjauh dari Gerald dan ternyata, menjauh dari Gerald itu sangat sulit.

"Ada apa, Ral?" Dengan senyum canggung Aleza mencoba menyembunyikan sikap tak enaknya.

"Belakangan ini kulihat kau jarang menemuiku, kenapa?"

"Tidak, itu hanya perasaanmu saja." elak Aleza.

"Tapi, aku tak yakin. Katakan apa yang membuatmu harus seperti ini." Ternyata membohongi Gerald tak ada artinya sama sekali. Buktinya, Gerald langsung mengetahui perubahan sikap Aleza. Mungkin, ini yang dinamakan 'seorang sahabat dapat melihat luka di balik senyuman'

"Baiklah, akan kujelaskan. Tapi, tidak di sini." Ditarik Aleza tangan Gerald menuju belakang sekolah. Di sana merupakan tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian.

"Ka-u jangan marah ya Ral," tanya Aleza takut-takut, untuk memastikan bahwa Gerald benar tidak akan marah.

"Kenapa kau jadi seperti ini? Ayolah, kau tak bisa berbohong padaku, Za."

"Maafkan aku, Ral. Tapi, kau berjanji tak akan marah padaku ya?" Takut-takut aku melihat mata Gerald lalu menunduk kembali.

"Tentu," balasnya singkat dengan sebuah senyuman.

"Ib-u yang menyuruhku," balasan singkat Aleza mendapat tatapan tak percaya dari Gerald.

"Kenapa, Za? Bukankah selama ini kita memang selalu bersama dan tak pernah dilarang?"

"Aku tak tau, hanya itu yang Ibu katakan," balasan ucapan Aleza dengan volume yang lebih kecil lagi.

"Kau sudah bertanya alasannya?" Dari samping Aleza, Gerald menoleh ke arah kanan, tepat ke arah Aleza. Di sana, ditemukan Ale wajah bingung bercampur sedih Gerald.

"Sudah. Kata Ibu, nanti aku akan mengetahuinya sendiri," jawaban Aleza semakin membuat Gerald bingung.

"Jadi, kau menjauhiku karena permintaan Ibumu? Begitu?" Tidak. Geral tak marah. Dia hanya memastikan apakah itu kemauan Aleza, jadi dia bertanya dengan lembut.

"Ral.. Aku..." Kata-kata Aleza mendadak hilang dan tak bisa dilanjutkan sehingga tergantung.

"Tak apa. Aku akan menuruti perkataanmu."

"Maksudmu, Ral?" Ada nada cemas dalam kalimat Ale barusan. Sesungguhnya, dia juga bingung harus bagaimana. Dia tak mau kehilangan Gerald, sahabatnya.

"Bukankah kau begini karena Ibumu? Kau tau bukan, orangtua adalah bentuk Tuhan di dalam dunia? Lantas, bisa apa Aku menolaknya?" Kata-kata yang terlontar dari Gerald menusuk hati Aleza. Seharusnya Ale senang bukan, ketika Gerald menuruti kemuannya? Tapi, kenapa dada Ale rasanya sesak? Apa yang salah sebenarnya? Perasaan Ale sangat tidak rela ketika mendapat balasan Gerald seperti itu.

"Ral..  maksudku bukan begitu---" Susah payah Ale menyusun kalimat untuk mengubah keputusan Gerald, tapi dengan cepat Gerald memotongnya.

"Sudahlah, Za. Aku hanya tak mau membuat posisimu sulit dan tertekan. Sudah cukup aku melihatmu tersiksa seperti yang lalu, Aku tak mau membuat posisimu semakin tersudut lagi. Aku hanya tak ingin kau kenapa-kenapa lagi. Berjanjilah padaku, walau kita tak berteman dekat lagi, kau masih menghubungiku waktu kau susah dan banyak masalah." Pesan Gerald begitu menohok hati Ale. Ale hanya mampu mengangguk lemah. Ale tau bahwa dirinya memang tak sanggup. Ale ingin memeluk Gerald, tapi tak bisa. Budaya timur di negara, apalagi kota Ale saat ini, sangat menentang hal itu. Ale tak mau orang banyak salah paham padanya. Baginya, Gerald sudah sepertinya kakaknya sendiri. Akhirnya Ale lebih memilih untuk tersenyum ke arahnya.

***

Kini hari-hari Ale tak lagi ceria. Bagaimana mau ceria? Setiap hari Ale tak lagi memiliki teman. Gerald? Sejak kejadian tempo lalu, di mana Ale memintanya untuk menjauh, dia benar-benar menjauh dan melaksanakan apa yang dikatakannya. Memang seharusnya, bukan? Bukankah kita sebagai manusia harus memegang perkataan kita? Tapi, mengapa ketika dia sudah menjauh, perasaan Ale jadi tak enak?

Belum lagi Ibu, semakin hari Ibu semakin tak suka pada Aleza. Ibu selalu marah-marah dan sering membentaknya. Tak jarang Ibu juga memukuli Aleza, walau sakitnya tak semenyakitkan hatinya yang terluka dibuatnya.

Waktu itu, ketika Ale pulang sekolah kemalaman karena perayaan hari jadi kotanya, ponselnya mati dan Ale sudah menelepon Ibu dengan nomor temannya, tapi Ibu tidak mengangkatnya. Akhirnya, Ale memilih untuk menitipkan pesan pada temannya yang rumahnya dekat dengan rumah kontrakan mereka. Aleza segera mengirimkan pesan singkat pada tetangganya itu. Tapi, begitu Ale pulang, Ibu langsung menarik tangannya kasar, memarahinya habis-habisan dan tak pernah lagi mau berbicara pada Aleza. Kalau boleh jujur, Ale sebenarnya sudah tak kuat lagi. Bagaimana mungkin Ale bertahan ketika orang-orang di sekelilingnya tak lagi dipihaknya?

Untung saja Ale masih memiliki Anya dan Edgar yang selalu bisa membuat penutupan harinya terasa cerah. Mendapati mereka berdua yang tertidur saat tengah mengerjakan tugasnya, membuat Aleza tersenyum. Tak lupa Ale menyelimuti mereka berdua dan berlalu menuju kamarnya.

Melihat mereka, semangat Aleza semakin bertambah. Ale tak boleh menyerah, masih ada Anya dan Edgar yang menjadi alasannya untuk bertahan. Ale hanya perlu bersabar.  Hanya itu. Ale hanya perlu mengingat janjinya pada Ayahnya, dan Ale harus melaksanakan janjinya.

Ale membuka pintu kamarnya dan tidur di kasur kecil itu. Baginya, sekarang ini bukan masa kini, tapi masa yang akan datang. Bukankah ada pelagi sehabis hujan? Lantas, mengapa Ale sangat khawatir dengan keadaan dirinya yang sekacau sekarang ini?

Ale terlalu larut dalam kesedihan, sampai lupa bahwa Ia masih memiliki Tuhan. Dia selalu mendengarkan doa-doa Hamba-Nya. Ale segera bangkit dari kasurnya dan berdoa berharap ketenangan akan menghampiri.

Kuatkan Hamba ya Tuhan...

TBC






She Is My Shinning AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang