Prolognya kemaren aku ganti jadi blurb wkwkw. Ini versi baru semoga suka ya.
**
Ketika semua yang ada di dunia tidak lagi berharga, lantas apa yang kau hargai?Ketika hidup penuh dengan ketidakpercayaan, pada siapa lagi kita harus percaya?
Hidup memang tak melulu soal bahagia, karena pada dasarnya, hidup adalah sebuah proses. Pasti ada masa sedih, marah, kecewa, dan lainnya. Lantas, mengapa masih berdiam dengan itu saja?
***
Di bawah hujan yang lebat, Ale berusaha menyadarkan sosok pria yang jarang mengeluarkan suara itu. Di bawah hujan, Ale menangis. Dia paling tidak suka dilihat orang sedih, karena itu dia hanya akan menangis ketika hujan datang."Kakak harus tau, bahwa semua yang terjadi itu pasti ada alasannya, bukan hanya sebuah kebetulan." Teriakan Ale sukses menghentikan langkah kaki pria dengan sejuta misteri itu.
Pria itu terdiam tanpa kata, menoleh dengan wajah sinis pada Ale.
"Tunggu, Kak. Ada yang akan ku sampaikan. Percayalah, bahwa ketika sesuatu itu terjadi padamu dan mengecewakanmu, jangan pernah berniat balas dendam. Kakak harus ikhlas." Perkataan Ale barusan akhirnya membuat mulut bungkam Maxime Geodeva, akhirnya bersuara.
"Tau apa kau tentang ikhas? Bahkan kau sendiri---" balas Max yang ucapannya terpotong oleh Ale.
"Cukup, Kak! Kakak gak bisa mengungkit masalahku. Masalahku, biarlah jadi masalahku, bukan urusan kakak. Kakak gak tau apa yang aku rencanakan, jadi jangan menghakimiku." Setelah mengatakan itu, Ale pergi. Menjauh dari keberadaan Max dan menangis lagi, setelah menemukan kesunyian sebagai tempat kesukaannya untuk merenung.
Mungkin Kak Max benar. Aku cuma bisa menggurui orang lain, tanpa bisa menggurui diriku sendiri.
Derain air mata bercampur dengan hujan, tak terelakkan Ale.
Di sana, dia menangis tersedu-sedu. Lama dia menangis, ditambah lagi kondisi malam yang semakin gelap, membuatnya ketakutan. Dia benar-benar sendiri.Diliriknya ke arah kanan dan kiri, Ale benar-benar takut.
Namun, rasa ketakutan itu sirna oleh cambukkan perkataan Max yang menusuk hatinya.
Max. Sosok pria dengan sejuta misteri yang dikenal Ale, ternyata menyimpan banyak fakta yang membuat Ale terlalu terkejut.
Semua kumpulan kejadian dan masalah sejak dia berada di Palembang, hingga di Medan menjadi komedi putar dalam pikiran Ale.
Kepalanya terasa berat dan semakin sakit. Ale memegang kepalanya, memijitnya pelan, berusaha mengurangi rasa sakit di kepalanya.
Dilangkahkannya kakinya yang sudah lemas menuju sebuah pos jaga malam yang tak jauh dari sana.
Dengan langkah berat, dan kepala yang berkunang-kunang, Ale tetap berjalan. Belum sampai dia di tempat tujuannya, kepalanya semakin berputar-putar, ingatan di otaknya memaksanya untuk mengingat kesalahannya di masa lalu.
Sudah hampir sampai, Ale melihat ada dua orang pemuda yang sedang duduk sambil meminum kopi, untuk jaga malam. Tangan kanan Ale meraih kayu peyangga pos itu dan akhirnya Ale kalah. Dia terjatuh setelah kakinya semakin lemas dan pikirannya tak bisa dihentikannya sendiri.
Sebelum kesadarannya hilang seratus persen, Ale berusaha keras membuka kelopak matanya dan mengeluarkan suara.
"Namaku Aleza." Hanya kata itu yang keluar dari bibir mungil Ale. Setelah itu, Ale benar-benar direnggut kesadarannya. Dia terjatuh dalam kondisi yang tak stabil dengan air mata yang bercampur air hujan.
Tubuhnya yang ringkih, jatuh menemui tanah sebagai alas tidur terbaiknya. Di sana, Ale bagaikan bermimpi, atau karena terlalu rindu, dia berjumpa dengan keluarganya.
Belum sampai kedua pemuda itu mengantarkan Ale ke rumah sakit, Ale terus menyigau.
"Ayah, Ibu... Maafkan Ale."
Kini, antara kesadaran atau ketidaksadaran yang ada dalam pikiran Ale. Dia benar-benar sedang di ambang batas. Disaat tak sadarkan diri pun, dia masih bisa menangis. Lelehan air matanya terus mengalir tanpa henti sejak tadi. Kini, wajah pucat pasi Ale membuat kedua pemuda itu semakin panik.
Setelah selesai mendorong brankar, Ale dibawa ke ruang UGD. Dia ditangani oleh dokter yang berada di sana.
Tas milik Ale masih berada di kedua pemuda itu. Segera kedua pemuda itu mengambil sesuatu, untuk mengenali seorang gadis yang baru saja mereka tolong. Namun, sial. Telepon seluler Ale mati, karena terkena air hujan.
KTP? Ale belum berusia 17 tahun, wajar kalau dia belum memiliki KTP. Kartu pelajarnya tinggal di tas sekolah. Dan beginilah keadaan Ale sekarang.
***
Di ruangan yang serba putih dengan tirai hijau, Ale perlahan membuka kelopak matanya. Indera penciumannya menangkap bau khas obat-obatan.Ale memegang kepalanya yang terasa pusing.
Aku masih hidup?
Pertanyaan itu yang pertama kali dalam hatinya . Dia berjalan menelusuri setiap sudut rumah sakit. Semakin dalam, dia semakin merasa terbiasa dengan bau obat seperti ini.
Tapi, tunggu. Ayah, Ibu, Anya dan Edgar? Tadi Ale melihat mereka, bukan?
Melihat, atau hanya bermimpi?
Mungkin karena terlalu rindu, Ale sampai memimpikan hal itu. Ale menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum lega.
Rasanya bertemu dengan Ayah Ibunya membuat rindunya berkurang sedikit. Pulang ke rumah, menghadapi keadaan sepertinha adalah jalan yang harus ditempu Ale. Lagi pula, Ale tak memiliki alasan untuk lebih lama lagi di Kota Medan.
Maafkan aku, sepertinya aku akan kembali.
A/N
Gimana prolog edisi terbaruku? Udah ada gambaran pasti la ya. Hehehe.
Sorry lama gak nginjak dunia orange, ada hal yang memaksakan ku untuk Hiatus sementara. Ah setelah selesai aku akan kembali. Itu aja.
Semoga ada yang rindu aku wkwk. Salah hangat👋☀️
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is My Shinning Angel
General FictionBerawal dari kehidupan keluarga yang terlilit hutang, Aleza Davina minggat dari rumah. Pergi dengan membawa segala berkas beserta baju yang pas-pasan, ia berniat memulai hidup baru. Bertemu dengan Maxime Geodeva yang memiliki wajah tampan, nan dingi...