Selamat Membaca
Hari ini, hari pertama Ale tanpa Ayahnya. Maksudnya, tanpa ditemani Ayah. Ale ingat benar pesan Ayahnya. Jadi, Ale memutuskan untuk tetap bersekolah sambil mengunjungi Ayahnya.
"Kak, kami lapar." Fanya dan Edgar memelas sampil menunjukkan dua piring kosong pada Aleza. Apa Ibu tak memasak?
Ale akhirnya memasak telur mata sapi dan nasi goreng untuk mereka bertiga.
"Bu, uang jajanku mana?" Fanya berdiri di hadapan Ibu sambil membuka telapak tangannya. Dengan cepat Ibu memberinya uang dan ia pergi ke sekolah. Begitu juga dengan Edgar. Meski kedua adiknya Aleza masih kelas 5 SD dan 3 SD, tapi mereka sudah mandiri dengan pergi ke sekolah sendiri.
Kini giliran Ale yang akan pergi. Ale berbegas mengambil tas dan hendak mencium tangan Ibu. Namun, saat Ale hendak menyalam tangan Ibunya, Ibunya menarik tangannya kasar dan membuat kepala Ale langsung terhuyung. Ale tahu, mungkin Ibunya masih marah. Tapi, bukankah itu artinya dia lebih senang jika Ale yang membayar hutang itu?
Ale hanya terdiam dan pergi dengan mengucapkan salam saja.
***
"Hai Za!""Hai, Ral!"
"Kenapa wajahmu lagi? Heum? Bukankah kau bilang kau sudah menemukan jalan keluar?" Ale hanya mengangguk pertanda iya.
"Seharusnya aku sudah menyelesaikan masalah ini, Ral. Tapi, Ibu tak mau bekerja sama denganku. Ia lebih memilih untuk mencari dana itu secara sepihak."
"Maksudmu?" Gerald berubah ekspresi. Kini mimik wajahnya tanpa kebingungan.
"Ini, aku mengembalikan uangmu. Maaf sudah merepotkanmu, dan terimakasih banyak sudah mau menolongku." Ale menyerahkan amplop berisi uang pada Gerald.
"Kenapa kau mengembalikannya padaku? Kau memerlukan itu, Za. Sudahlah, aku bilang kau bisa menggantinya kapan pun kau bisa."
"Ya. Aku mengerti, Ral niatan mu baik. Tapi, maaf. Ibu tak mengizinkanku menerima bantuan darimu."
"Kenapa? Ada yang salah dengan membantumu?"
"Entahlah, Ral. Aku tidak tahu. Ibu yang menyuruhku. Alasan apapun itu, bukankah lebih baik menaati perintah orangtua?"
"Baiklah jika itu kemauanmu, aku terima. Tapi, kau mau kan menerima sedikit dari uang ini? Suatu saat nanti, aku yakin kau akan memerlukannya."
"Tidak, aku gak bisa menerimanya, Ral." Tolak Ale halus pada Gerald.
"Aku tak menerima penolakan." Gerald menyelipkan satu ikat uang itu pada Ale. Kadang, Ale berpikir kenapa dia sebaik itu pada Aleza? Bahkan, mereka bukan bersahabat sejak kecil, hanya mulai sejak SD kelas 5.
"Baik jika itu maumu, tapi biarkan aku menggantinya nanti ya, setelah gajiku untuk bukan selanjutnya keluar." Dilihat Ale Gerald hanya mengangguk pertanda setuju.
***
"Ayah, bagaimana kabarmu?" Ale mengunjungi Ayahnya di penjara. Seluruh ruangan itu sangat menakutkan baginya. Tidak penjahat maupun penangkap orang jahat, mereka sama-sama tampak menyeramkan di mata Aleza."Baik, apalagi saat melihatmu." Ale hanya mampu tersenyum miris pada Ayahnya. Dia kira dapat menutupi kesedihannya? nyatanya tidak. Ale melihat kejujuran dari matanya yang berbanding terbalik dengan ucapan Ayahnya barusan.
"Ayah, kumohon jangan berbohong, aku dapat merasakan apa yang kau rasakan, percayalah." Suara serak Ale terdengar di indera pendengaran Ayahnya. Suara serak itu mungkin karena belakangan ini Ale selalu tidur larut malam, karena banyak pikiran.
"Tidak, Nak. Ayah tak berbohong. Kalau kau mau melihat Ayahmu ini tersenyum, maka sukseskan sekolahmu dan bantu kedua adik juga Ibumu, mengerti?"
Ale hanya mampu menangguk lemah. Dilihatnya penjaga lapas itu sudah memberi tanda bahwa waktunya sudah habis. Kini, terpaksa Ayahnya harus kembali lagi ke sel tahanannya.
***
"Dari mana saja kau pulang selarut ini?!" Ibu membentak Aleza dengan keras. Ale tak mengerti mengapa Ibu jadi membencinya belakangan ini. Bukankah, Ibunya dulu sempat berbuat dan berkata lembut padanya?"Aku baru pulang bekerja, Bu."
"Sudahlah, Za. Tak ada artinya lagi kau bekerja. Ayahmu juga sudah ditahan, bukan? Jadi, untuk apa kau bekerja lagi?"
"Ibu, kita akan tetap membebaskan Ayah tapi, tunggu aku memiliki uang yang cukup untuk menyewa pengacara. Aku akan membuktikan di persidangan bahwa Ayah adalah korban penipuan."
"Sudahlah, Za. Semua itu tak ada gunanya lagi!"
"Ibu, aku akan tetap bekerja, setidaknya jika tak cukup akan aku gunakan untuk membiayai keperluan Fanya dan Edgar."
"Jadi, kau anggap apa Ibu ini, Za?!" Lihat, sekarang Ibunya malah membentaknya lagi. Memangnya apa yang salah dari perkataan Aleza? Bukankah itu niatan baik?
"Sudah! Semuanya sudah terlambat, Za. Jangan bertingkah lagi, Ibu mohon dan satu lagi, Jauhi Gerald!"
"Kenapa aku harus menjauhinya Bu?"
"Kau ingin membantah orangtua?"
"Tidak, Bu. Aku akan menurutinya. Hanya saja, bisa Ibu jelaskan apa alasan Ibu membenci Gerald sehingga aku harus menjauhinya?"
"Sudahlah, Za. Lakukan apa yang Ibu mau. Apa itu terlihat sulit bagimu? Suatu saat nanti kau juga akan mengetahui alasannya."
Trak!!!
Ibunya membanting pintu Kamar. Sebenarnya, apa kesalahan yang dilakukan Gerald sehingga Ibu membencinya sedemikian rupa? Gerald satu-satunya sahabat yang dimiliki Aleza. Dia itu sahabat sekaligus saudara bagi Aleza. Jadi, bagaimana caranya Aleza untuk menjauhinya? Tanpa alasan pula, seperti ini. Ale semakin penasaran apa alasan di balik ini semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is My Shinning Angel
General FictionBerawal dari kehidupan keluarga yang terlilit hutang, Aleza Davina minggat dari rumah. Pergi dengan membawa segala berkas beserta baju yang pas-pasan, ia berniat memulai hidup baru. Bertemu dengan Maxime Geodeva yang memiliki wajah tampan, nan dingi...