"Geo!! Kamu gimana, Nak? Apa yang luka? Lukanya gimana? Gimana kejadiannya? Mama khawatir sekali waktu dengar kabarmu," pertanyaan beruntun itu bersasal dari Bu Grace, Mamanya Maxime Geodeva, yang langsung berlari dari ambang pintu menuju brankar Max. Bu Grace langsung mengecek setiap inci dari tubuh anaknya dengan teliti. Disentuhnya badan Max dengan penuh kelembutan dan hati-hati.
Bu Grace datang bersama Pak Wijaya, Papanya Max. Hanya berdua.
"Gak apa-apa," balas Max pelan sembari bangkit dari brankar mencoba meyakinkan Bu Grace.
Melihat Max akan bangun, Bu Grace langsung menahan lengan Max. Dilihatnya kepala anak semata wayangnya itu dibalut dengan perban, betapa teriris hati melihatnya.
"Udah, kamu jangan bangun dulu. Istirahat yang banyak! Mama sama Papa panik banget waktu dapat telepon dari Bayu tadi pagi. Mama langsung telepon Papa, dan langsung ke rumah sakit ini." Bu Grace menghela napas panjang setelah berbicara tanpa henti.
Pak Wijaya mengelus pundak Istrinya dengan lembut untuk menenangkannya. Memang, Max mendapat luka yang cukup parah. Namun, Max cepat dibawa ke rumah sakit dan ditangani oleh dokter yang tepat, hasilnya Max sudah mulai membaik, walau masih harus menunggu bekas jahitannya mengering.
"Kamu kenapa? Sampai bisa gini," seru Pak Wijaya sambil memegang perban Max dan tak sengaja mengenai luka bekas jahitan tadi.
"Agh..." Max meringis pelan mencoba untuk tidak terlihat oleh Pak Wijaya. Nyatanya, dia tak bisa menutupi rasa sakitnya. Pak Wijaya yang baru tersadar langsung buru-buru menarik tangannya dari luka Max dan pergi menjauh dari brankar Max.
Melihat kondisi yang seperti itu, membuat Bu Grace langsung mengalihkan pembicaraan. Bu Grace berkata, "kapan kamu bisa balik kata dokter?" tanya Bu Grace dengan nada rendah dan pelan.
"Tiga hari lagi," jawab Max membuat Bu Grace diam dan tak bertanya apa pun lagi.
Setelah menjawab itu, tak ada lagi pembicaraan antara Max dengan orang tuanya. Tak lama, Pak Wijaya pulang ke rumah untuk mengambil barang-barang keperluan Max selama tiga hari kedepan.
Tadi, setelah sampai ke rumah sakit, Bu Grace dan Pak Wijaya baru ingat kalau mereka lupa membawa pakaian juga keperluan Max lainnya selama tiga hari kedepannya. Oleh karena itu, Pak Wijaya kembali lagi ke rumah dan mengambil barang-barang yang sudah dipesankan oleh istrinya. Sekarang tinggalah Bu Grace dengan Max berdua di kamar perawatan Max.
Bu Grace hanya duduk, namun posisinya terlihat tidak nyaman. Sebentar Bu Grace berdiri, lalu duduk lagi. Tak lama Bu Grace membuka jendela lalu menutupnya lagi. Entah apa maksudnya.
Sepeninggalan Pak Wijaya, Max tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya tidur berbaring dan sesekali menutup matanya. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Hal itulah yang membuat Bu Grace bingung harus melakukan apa. Baginya, susah untuk mencari obrolan bersama anak semata wayangnya ini.
Suara bunyi pintu terbuka bagai penyelamat keheningan di antara mereka. Bu Grace langsung berdiri dan membantu Pak Wijaya menata barang-barang yang sudah dibawa.
Baju-baju Max dimasukkan ke dalam lemari kecil di samping brankar Max. Di sampingnya, terdapat tikar dan juga selimut. Ini tidak heran, karena malam nanti, Max akan ditemani oleh Bu Grace dan Bu Grace paling tidak bisa tidur di kursi. Lebih baik di tikar, menurutnya.
Setelah selesai berbenah, Max sendiri lagi. Papa dan Bu Grace pulang sebentar untuk mengawasi pekerjaannya dulu, lalu nanti setelah malam, kembali ke rumah sakit.
Berita tentang kecelakaan Max membuat mereka langsung menghentikan pekerjaan mereka. Alhasil, mereka harus kembali dan memantau apakah sudah berjalan baik atau tidak?
Ayahnya Max adalah seorang Manager di sebuah perusahaan baja di Medan. Sedangkan ibunya, dia bekerja sebagai staff finance.
Sibuk. Itulah gambaran kedua orangtuanya Max. Tapi, untuk Max mereka meluangkan waktu mereka untuk Max. Karena yang terpenting bagi mereka ada keluarga, bukan yang lain. Namun, ya seperti inilah mereka, jarang berbicara ketika di rumah. Hal ini lumrah karena Papa dan Bu Grace pulang dalam keadaan lelah. Begitu juga dengan Max, menjadi ketua ekskul dan mengikuti perlombaan membuat waktunya tersita lebih banyak di sekolah dibanding di rumah.
Ada banyak les, diskusi, rapat, seminar dan hal lainnya yang membuat Max sibuk.
***
Max melihat matahari yang sudah terbenam dari jendela kamarnya dan bertepatan dengan itu, Bu Grace datang kembali membawa bungkusan berisi makanan.
"Geo, ini Mama bawakan makanan kesukaan kamu, rendang daging!" seru Bu Grace antusias. Max melihat sekilas ke arah Bu Grace lalu mengangguk sekali.
Setelah menggelar tikar di lantai kamar Max, Bu Grace mengajak Max untuk makan malam. Bu Grace melihat Max yang sejak tadi hanya diam dengan wajah yang pucat. Sejak tadi Max hanya berbaring di atas brankar nya, tidak lebih. Hal ini memang anjuran dari dokter, agar luka cepat membaik.
"Nak, ayo makan," ajak Bu Grace dengan lembut. Jiwa keibuannya jelas terlihat saat memandang Max dengan tatapan teduh dan kasih sayang yang memang jarang tersalurkan.
Max tetap diam.
"Kamu mau Mama suapi ya?" canda Bu Grace dengan tertawa berbahan Max mau menerima tawarannya, atau paling tidak tersenyum.
Mendengar itu, Max bukannya tersenyum atau mengangguk, dia langsung mengambil bungkusan dari atas meja di samping brankarnya, yang berisi nasi kotak dari rumah makan Padang kesukaannya.
Max memakannya secara perlahan, namun pasti. Melihat Max yang seperti itu, membuat Bu Grace jadi tersenyum getir. Namun, buru-buru Bu Grace mengusap wajah, untuk mengganti raut wajahnya agar terlihat tak kecewa.
Setelah menunggu lima belas menit, Max selesai makan. Dia duduk di atas brankar tanpa berniat tidur. Sejak tadi televisi yang terputar bukan menjadi objeknya. Pikirannya melayang dengan perasaan yang campur aduk.
Max. Seorang anak yang dibesarkan dengan keluarga yang berkecukupan, namun jarang ditemani oleh orangtuanya. Dia jarang mengeluarkan suaranya, juga jarang menunjukkan bagaimana perasaan hatinya. Satu-satunya hal yang selalu dan disenangi Max adalah diam. Dengan diam, Max akan menyelami pikirannya dan mencoba menemukan titik terang dari hal ketidaktahuannya.
Melihat kondisi rumah yang sepi, membuat Max sering menyendiri. Dan hal seperti ini dijadikan Max sebagai hal positif. Max selalu membaca artikel, buku juga hal-hal yang berbau dengan pengetahuan setelah pulang sekolah.
Dia tidak lelah? Jelas lelah! Tapi, Max lebih lelah jika dia tidak mengerjakan suatu hal apapun.
Masuk ke rumah sakit seperti ini membuat Max bingung harus berbuat apa. Dia ingin membaca buku, tapi tak ada satu pun buku kesukaannya yang ada di sini. Artikel? Max lebih suka membaca dari laptop nya dari pada hapenya. Karena, jika sudah mendapat hal-hal baru dan menurutnya benar, Max akan mewarnai bacaan itu dan akan mencari bahan lain yang mendukung gagasan tulisan tersebut dan akan membuat tulisan baru berdasarkan pendalaman pemikiran dan dukungan dari fakta-fakta yang ditemukannya.
Tak tau harus berbuat apa membuat Max bosan, akhirnya Max tertidur dengan wajah tenang yang terlihat oleh Bu Grace.
Melihat Max tidur dengan damai membuat Bu Grace menarik selimut Max hingga ke dadanya dan merapikan rambut yang menutupi dahi Max.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
She Is My Shinning Angel
General FictionBerawal dari kehidupan keluarga yang terlilit hutang, Aleza Davina minggat dari rumah. Pergi dengan membawa segala berkas beserta baju yang pas-pasan, ia berniat memulai hidup baru. Bertemu dengan Maxime Geodeva yang memiliki wajah tampan, nan dingi...