Selamat Membaca
"Sudah beres?" Ale menganggukkan kepalanya sebagai balasan dari pertanyaan Kiki. Sebenarnya Kiki ini terpaut 4 tahun dari Ale, tapi Kiki tak mau dipanggil Kakak. Katanya, panggil nama saja agar lebih dekat.
Kadang Ale berpikir, kenapa nama panggilannya jadi Kiki? Nama asli Kiki adalah Nikita Veronika. Dia bilang tak mungkin dipanggil kita, apalagi Niki, kesannya seperti laki-laki. Jadilah dipanggil Kiki.
Sekarang Ale sudah memakai seragam sekolah barunya. Beberapa hari yang lalu, Ale diantarkan oleh Kiki ke salah satu sekolah swasta di Medan. Kiki bilang, di sekolah ini Ale bisa mendapat beasiswa jika surat permohonannya terima dan dengan karya ilmiah yang kuikut-sertakan. Namun, untuk saat ini harus bayar dulu.
"Ayo kita berangkat!" Kiki menggandeng tangan Ale erat. Dia bercerita banyak tentang Kota Medan. Mulai dari hal-hal besar sampai hal-hal kecil yang tidak diketahui Ale.
"Kau tau gak, Za di Medan makanan khasnya apa?" tanya Kiki tersenyum pada Ale, dan Ale menggelengkan kepala karena tak mengetahuinya.
"Jadi, makanan khas Kota Medan itu Bika Ambon, aneh kan? Namanya doang Ambon tapi asalnya dari Medan." Kiki terus tertawa selama perjalanan.
Mereka hanya berjalan kaki menuju sekolah baru Ale. Kiki bilang, untuk menghemat. Sejenak Ale melupakan kisah kelamnya di Palembang. Meski belum bisa dilupakan, tapi setidaknya kini Ale mulai bisa tersenyum.
Ayah, tunggu Aku tamat sekolah nanti ya. Aku akan kembali membebaskan dirimu.
Omong-omong soal Ayahnya Aleza, beliau menekam di lembaga pemasyarakayatan sampai 15 tahun. Kadang kita berpikir, mengapa hukuman atas hutang sekitar RP 30.000.000, kenapa bisa selama itu kurungannya? Lantas, bagaimana dengan mereka para koruptor yang memakan uang rakyat hingga milyaran, bahkan triliun?
Ale hanya menghela napas pendek, menyadari kadang dunia ini tak adil.
Setelah sampai di sekolah, Kiki menasehatinya agar tidak bertindak yang aneh-aneh. Ale hanya mengangguk dan mengudarakan jari jempolnya.
***
Kini Ale telah dibawa menuju kelas barunya. Dilihatnya di atas tiang pintu itu bertuliskan X-MS F dan mereka memasuki kelas itu."Selamat pagi anak-anak!" sapa Ibu guru itu di samping Aleza. Murid-murid yang ada membalas sapaan Ibu guru itu semangat. Terlihat dari beberapa rongga mulut mereka yang lebar, sangat semangat menjawab, dengan suara yang memekakkan telinga.
Apa memang begini semua anak Medan? Ale tersenyum kecil sembari menggigit bibir bawahnya.
"Sekarang kalian ada teman baru. Mari, Nak perkenalkan dirimu." Ibu guru itu mempersilahkan Aleza. Ale mengedarkan pandangannya, lalu mulai mengembuskan napas pelan-pelan. Aleza gugup.
"Perkenalkan nama Saya Aleza Davina. Saya berasal dari Palembang. Salam kenal semua." katanya pelan lalu menunduk.
Beberapa siswa laki-laki yang ada sempat men-cie-ciekannya Entah apa yang salah?
Sedangkan siswa perempuan, mereka hanya diam tanpa mau berkomentar.
"Semua harap tenang. Aleza sekarang kamu boleh duduk di sebelah sana," tunjuk Ibu guru pada bangku yang kosong. Ale segera berjalan dan menduduki bangku itu. Nyaman juga.
Setelahnya, Ibu guru itu pergi. Dia adalah seorang PKS dan tak mengajar, makanya harus pergi karena ada urusan.
Ale mendudukkan bokongnya di tempat yang ditunjuk oleh Ibu PKS itu, dan tiba-tiba sudah ada suara asing yang terdengar di indera pendengaran Ale.
"Aku Lamina, panggil saja Ami." Gadis di sebelahnya menjulurkan tangannya dan disambut Ale Mereka berjabat tangan.
"Aku Aleza, panggil--" Belum selesai Ale mengucapkan maksudnya, Ami lebih dulu memotongnya.
"Aku panggil Ale saja ya?"
"Boleh." Sambil tersenyum Ale menganggukan kepalanya.
Berada di kota orang ternyata tidak seburuk bayangan Aleza. Orang-orang di Medan tergolong ramah dan baik, meski intonasi suaranya agak keras, bahkan ada juga yang sangat keras. Setidaknya mereka jujur atau mungkin bisa dibilang tidak pandai berbasa-basi. Jadi, apa kamu tertarik untuk datang ke Kota Medan?
Sejak perkenalan dengan Ami, teman sebangku Ale, Ale berusaha mengikuti pelajaran yang ada. Susah memang bila mengikuti pelajaran yang dimulai bukan sejak awal, tapi Ale tak akan menyerah. Dia tetap berjuang demi tekadnya.
Sebelum jam pulang sekolah, Ale di suruh datang oleh Pak Fahmi ke ruang koperasi, untuk membeli buku jiga baju olahraga.
Ale melangkahkan kakinya menuju ruang koperasi setelah bertanya pada seorang siswa. Ale tak ditemani Ami, karena Ami sedang berada di kantin. Sejak awal istirahat tadi
Tok..tok..tok..
"Permisi, Pak." Suara panggilan Ale membuat pandangan Pak Fahmi langsung beralih ke arah Ale.
"Silahkan masuk, Nak," balas Pak Fahmi dengan suara bassnya.
"Saya siswa baru, Pak, pindahan dari Pekan Baru." Baru Ale hendak memulai kata-katanya, Pak Fahmi langsung mengerti niatan Ale.
"Kamu siswa baru itu? Ah, iya silahkan ambil bukunya. Ini semua buku untuk semester ini, Ya. Dan ini juga baju batik untuk dipakai hari rabu dan kami, serta baju olahraga. Totalnya sembilan ratus ribu. Mulai besok kamu bisa mencicilnya sampai sebulan sebelum ujian akhir semeter." Perkataan Pak Fahmi disanggupi Ale dan Ale segera keluar setelah memberi salam.
Sambil membawa buku paket, dengan beberapa LKS, baju batik dan juga baju olahraga yang dimasukkannya dalam sebuah plastik besar, Ale berjalan lamban. Di lorong sekolah, dia memperhatikan tiap sudut sekolah batunya ini.
Besar juga.
Ale melihat siswa lainnya yang sedang lewat, mereka benar-benar berbeda dari teman satu sekolahnya dulu.
Tidak ada menyapa, tidak ada basa-basi. Apa mereka memang secuek itu?
Tidak. Mereka tidak secuek itu. Aleza adalah siswa baru, jadi wajar bukan, kalau dia tidak dikenal dan tak disapa?
Ale terus berjalan sampai akhirnya dia tiba di kelasnya dengan aman.
Tunggu--- ke mana tas Ale berada? Tadi, Ale menaruhnya di sini, di atas bangku nomor tiga dari meja guru. Tapi, kenapa sekarang sudah berganti jadi tas bewarna hitam? Padahal, tas Ale kan berwarna coklat. Apa iya, Ale buta warna? Ah tidak mungkin.
Ale menggelengkan kepalanya lemah. Dia sepertinya sedang pusing. Segera Ale duduk di bangku itu, tanpa berniat memikirkannya lagi.
"Ekhem." Suara itu menyapa indera pendengaran Ale. Karena malas, Ale tak mau menoleh. Ale pikir hanya orang asing.
"Ekhem." Suara itu lagi. Ale tetap tidak mau menoleh, takut dibilang 'perasaan' atau 'kegeeran'.
Karena gemas, orang itu segera berputar, menuju ke hadapan Ale sambil berkata, "Ini bangku ku. Kau kenapa si sini?"
Mendengar itu, Ale kebingungan. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, ternyata benar. Dilihatnya kumpulan anak-anak tengah memakai seragam olahraga mendekat, memasuki tempat Ale berada.
Ini hari senin, 'kan? Kata Ami olahraga kelas hari Rabu, kenapa dipercepat?
Dengan takut-takut, Ale memandangi seseorang yang sejak tadi berdehem.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is My Shinning Angel
General FictionBerawal dari kehidupan keluarga yang terlilit hutang, Aleza Davina minggat dari rumah. Pergi dengan membawa segala berkas beserta baju yang pas-pasan, ia berniat memulai hidup baru. Bertemu dengan Maxime Geodeva yang memiliki wajah tampan, nan dingi...