21-Ucapan terimakasih

63 4 0
                                    

Selamat Membaca

Dengan tergesa-gesa Ale berjalan menuju rumah sakit. Dia menyempatkan diri untuk menjenguk Max yang masih dirawat. Dokter bilang, Max akan dirawat sampai tiga hari, untuk memastikan lukanya pulih benar. Jadilah Ale merasa bersalah dan selalu menjenguk Max.

Sebenarnya tak ada artinya Ale menjenguk Max. Saat Ale datang, Max pasti akan mengusirnya. Dia pura-pura tertidur, tidak ingin diganggu atau menyuruh orang lain untuk mengusir Ale.

"Pagi, Kak. Bagaimana kabar kakak sekarang? Sudah baikan? Ini aku bawakan roti ganda untuk kakak, dimakan ya kak," seru Ale ketika dia baru sampai ke ruangan Max.

Max tak memedulikannya, dia memalingkan wajahnya dan berharap Ale segera pergi. Selama Ale menjenguk Max, Ale tak pernah mendengar suara Max. Sedikit pun Ale tak mendengarnya, bahkan dengan orang lain, Max tak mau juga berbicara. Dia hanya mengangguk lalu mengedipkan matanya untuk suatu keperluan.

"Kak Max, aku benar-benar minta maaf. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah ku buat. Aku.. aku tidak tau harus bagaimana lagi membalas kebaikan kakak, dan aku sudah berkali-kali membuat kesalahan. Apa yang harus kulakukan untuk membalasnya, Kak. Tolong katakan," Ale mulai terisak, dia duduk di samping brankar Max sambil menutupi wajahnya. Tetesan air matanya menetes tanpa henti.

Ale benar-benar menyesal, dia tak bermaksud untuk menganggu Max.

Max tetap tidak mau merespons Ale, dia hanya diam dan bibirnya tak bergerak sedikitpun.

Yang membuat Ale takut adalah Max tidak bisa berbicara karena syok berkepanjangan akibat kejadian tempo lalu.

"Kakak tidak mau berbicara padaku ya? Ah iya, aku mengerti. Aku datang ke sini untuk minta maaf pada kakak. Mulai dari kejadian sewaktu patroli, kipas yang mengenai mata kakak, sampai kejadian tempo lalu yang membuat kakak masuk rumah sakit seperti ini. Aku benar-benar tidak sengaja kak, aku minta maaf."

Ale menjeda kalimatnya untuk menyeka air matanya juga menggosok hidungnya yang kian memerah.

"Maaf untuk semuanya kak, tolong kali ini beritahu aku apa yang harus kulakukan agar kau mau memaafkan ku, Kak? Aku pasti akan lakukan. Kumohon, kak," Ale mulai menangis lagi. Ale merasa bersalah pada Max, karena dirawat di rumah sakit seperti sekarang ini, Max tak jadi mengikuti ajang perlombaan yang waktu itu sudah dibicarakan Max dengan salah seorang guru Fisika di sekolah itu.

Secara langsung, hal ini terjadi karena menyelamatkan Ale, Max tidak jadi mewakili sekolah untuk perlombaan itu. Padahal, pihak sekolah sudah yakin, jika Max maju, maka Max setidaknya akan masuk tiga besar juara.

Karena hal itulah, Ale menjadi sangat bersalah. Banyak siswa yang menyalahkan dirinya, dan hal ini disebabkan guru yang memberitahu lewat apel pagi, bahwa sekolah mereka tidak jadi mengikuti perlombaan Fisika tinggkat Kota itu, karena nama Max sudah didaftar dan tidak bisa digantikan oleh orang lain, sekali pun alasannya sakit.

Kini hanya suara isakan yang didengar Max, Max tidak suka mendengar suara tangisan, apalagi melihat air mata. Max menutup matanya seolah ingin tidur. Melihat itu, Ale menoleh ke arah Max dan buru-buru menghapus jejak air mata yang sempat ada di pipinya.

"Kak? Kakak ingin apa? Biar aku Carikan." Bodoh. Ale memang bodoh. Max tetaplah akan menjadi Max yang jarang mengeluarkan suara, dia sama sekali belum pernah mendengar suara Max selama menjenguk Max di rumah sakit.

"Tolonglah kak, sekali ini katakan padaku apa yang harus kulakukan. Aku merasa bersalah karena ku kau tak jadi mengikuti perlombaan Fisika itu. Tolong kak, jangan buat aku tenggelam dalam rasa bersalahku," seru Ale frustrasi. Dia benar-benar kehilangan kata-kata bila bertemu Max dan sekarang dia hanya menunduk membelakangi Max. Dan hal ini membuat suasana hening.

Max tau kalau Ale sedang duduk sambil menangis. Max paling tidak suka urusannya diusik oleh siapapun. Oleh karena itu, Max hanya akan dikunjungi oleh keluarganya sore hingga pagi.

Max tidak suka dengan kehadiran Ale. Perlahan tapi pasti, Max menggerakkan bibirnya lalu berucap, "pergi! Kau bisa pergi dan aku sudah memaafkan mu."

Kepala Ale terangkat dan dia melihat Max dengan tatapan tak percaya.

Baru saja kak Max berbicara padaku?

Ale menatap Max dengan tatapan tak percaya. Sekian lama Ale berbicara pada Max selalu tak mendapat balasan dan sekarang, sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak pada Ale.

Ale sudah tersenyum menatap Max. Matanya berbinar mendengar Max berbicara padanya.

"Keluar dan pergi!" teriakan dari Max membuat Ale yang tadinya senang sekarang sudah terkejut bukan main.

"Kau tuli? Silahkan keluar!" Baru saja Max membuat Ale sakit hati. Ale tersenyum kecut dan sadar bahwa dirinya tidak diharapkan. Kaki Ale sampai melemas ketika Max membentaknya seperti itu.

Tanpa berpikir lagi, Ale keluar dari ruangan Max dan mengusap air matanya yang semakin deras.
***

Seusai kepergian Ale, Max mengusap wajahnya kasar. Dia menghapus keringat di dahinya. Selama seharian ini Max terlalu banyak mendapat hal-hal mengejutkan dan dia butuh energi yang lebih, tapi Max tidak mempunyai napsu makan. Dia tidak berselera makan apapun.

Dia juga berpikir, bagaimana mungkin ada seorang perempuan seperti Ale yang tingkahnya sangat tidak terduga. Max berharap dia tidak pernah lagi berurusan dengan Ale.

Mengenai tragedi menolong Ale tempo hari, itu bukan kesengajaan. Max melihat Ale dalam bahaya karena terkena pot keramik yang jatuh dari lantai tiga, maka dari itu Max mendorong Ale kencang agar tidak terkena pot keramik itu.

Memang tragedi menolong Max ini jauh dari kata romantis seperti yang di film. Max malah mendorong Ale dengan keras agar tidak terkena pot keramik itu, namun naas Max malah terkena pot keramik yang satunya lagi. Setelah pot bunga yang akan mengenai Ale jatuh, beberapa detik kemudian, jatuh lagi pot bunga keramik yang tersenggol akibat perdebatan dua siswa di lantai tiga.

Dan sekarang, Max sudah merencanakan jika ia sudah pulih, dia akan melaporkan kedua anak itu kepada pihak sekolah. Karena ulah mereka berdua Max gagal mengikuti lomba dan masuk rumah sakit pula.

Perut Max tiba-tiba lapar. Max tidak suka makanan rumah sakit. Sejujurnya bau rumah sakit terlalu menyengat di indera penciuman Max. Max tidak suka bau-bauan semacam itu, namun apa boleh buat, tidak mungkin Max hanya dirawat di rumah, dirinya butuh penanganan khusus rumah sakit.

Berdebat dengan pikirannya, Max ingin membeli makanan di luar. Tapi, pada siapa dia menyuruhnya. Sial! Max sudah menyuruh teman sekelasnya, namun mereka belum tidak datang lagi berkunjung.

Terpaksa, Max harus memakan makanan yang ada dulu, sebelum keluarganya datang menjenguk. Dilirik Max roti yang dibawakan Ale.

Roti ganda?

Pikiran Max menerka bahwa itu adalah roti ganda, dan memang benar. Roti ganda adalah makanan khas Kota Siantar yang menjadi makanan kesukaan Max. Entah tau dari mana Ale bahwa Roti ganda adalah makanan kesukaan Max.

Max bisa saja makan roti ganda setiap hari untuk menggantikan makan nasi, namun roti ganda memang tidak ada di jual di Medan. Hanya ada di Kota Siantar, itu akibatnya Max jarang memakan roti ganda.

Melihat roti ganda itu, Max teringat dengan suatu peristiwa. Tadinya Max ingin memakan roti ganda itu, namun tidak jadi.

Max sekarang bangkit perlahan-lahan dari brankar nya. Dia berjalan dengan lamban lalu mengambil plastik yang berisi roti ganda itu. Perlahan Max mengambil bungkusan itu lalu mulai berjalan. Max membuka tong sampah itu lalu melepaskan bungkusan itu ke dalam tong sampah.

Ya. Max membuang roti ganda pemberian Ale.

Ingin berkata Max kejam? Biarlah, karena Max juga mempunyai alasannya sendiri untuk melakukan hal tersebut.

-----***-----
TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

She Is My Shinning AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang