**
"Kau sudah menemukan jalan keluarnya? Ahh syukurlah." Gerald ikut bahagian karena Ale sudah menemukan jalan keluarnya. Ale hanya mampu mengangguk-anggukkan kepala mengikuti binar senyum Gerald yang kembang."Jam pelajaran pertama akan dimulai. Seluruh siswa diharapkan masuk ke dalam ruang kelasnya masing-masing."
Itu suara bel jam pelajaran yang berkumandang. Sepertinya mereka harus masuk dahulu, kalau tidak? Mereka akan bernasib sama dengan yang kemarin.
"Sepertinya kita harus masuk, Za. Tapi, kau berhutang penjelasan padaku. Nanti temui aku di taman, oke?" Ale hanya mengangguk dan melihat kepergian Gerald yang terkesan terburu-buru. Kalian tahu, ini adalah hari selasa, hari di mana pelajaran Kimia di awal jam pelajaran. Itu adalah alasan Gerald takut terlambat masuk. Guru kimia di sekolah mereka memang galak. Kini kaki Ale berbalik arah menuju ruang kelasnya.
***
" Jadi, bagaimana ceritanya? Ayo ceritakan padaku?!" Gerald menuntut jawaban panjang pada Ale.
"Ehmm begini, sebelumnya maafkan aku yang baru bisa menceritakan masalahku padamu."
"Sudahlah tak apa, Za. Aku tak memikirkan hal itu, yang terpenting sekarang kau sudah bisa tersenyum bukan?" Mata Gerald berbinar sambil mengatakannya.
"Iya, soal masalahku, sebenarnya masalahku adalah hu-hutang keluarga, Ral." Wajah Gerald tampak berubah, ia sedikit terkejut, namun ia sembunyikan. Matanya kini menuntut Ale untuk melanjutkan cerita ini.
"Waktu itu aku pulang sekolah, dan kulihat Ayah dipukuli oleh dua orang pria berbadan besar, dan setelah aku meminta penjelasan dari Ibu, ternyata kedua pria itu adalah suruhan seseorang untuk menagih hutang." Ale menarik napas kasar lalu melanjutkan cerita lagi.
"Aku awalnya tak tau soal hutang itu ada, Ral. Hingga ibu mengatakan bahwa ayah mengutang kepada renternir. Ayah kena tipu oleh temannya sendiri. Kami memang sedang memerlukan uang, maksudku untuk membayar uang kontrakan, makan dan sebagainya, makanya ia tergiur dengan investasi berbunga seperti itu. Namun sayang, Ayah kena tipu. Dia menipu Ayahku dan melarikan uang Ayah, padahal Ayah sudah meminjam uang pada pihak lain hanya untuk itu." Dilihatnya raut wajah Gerald sebentar, sepertinya Gerald menyimpan rasa penasaran akan kelanjutan cerita Ale. Maka dari itu, Ale melanjutkan ceritanya.
"Kedua pria yang mendatangi rumah kami itu memukuli Ayah. Mereka bilang, kami harus membayar seluruh hutang itu dalam waktu seminggu." Akhirnya Ale selesai menceritakannya pada Gerald. Setidaknya hatinya sedikit lega setelah menceritakannya.
"Ahh maaf jika aku bertanya seperti ini, Za. Tapi, aku benar-benar penasaran. Pada siapa Ayahmu mengutang?" tanya Gerald takut Ale tersinggung.
"Aku tak tau, Ral. Yang jelas Ayah bilang dia orang kaya namun, berhati miskin." Kini wajah Gerald jadi bingung. Ale mengerti dia menuntut penjelasan, segera dijelaskan Ale padanya.
"Maksudku, dia kaya harta, namun hatinya tak kaya. Ia sungguh-sungguh tega. Hanya memberikan waktu seminggu untuk nominal sebesar itu, yang benar saja?! Apa dia tak pernah merasakan rasanya di bawah?! Apa dia tak tahu dunia ini akan terus berputar!" Tiba-tiba Ale tersulut emosi. Pundak Ale sampai naik-turun sanking emosinya dia.
"Tenangkan dirimu, Za. Kita masih di sekolah, oke?" Untung saja ada Gerald yang mengingatkan Ale, kalau tidak? Mungkin Ale sudah berteriak-teriak lagi.
"Ahh maafkan aku, Ral. Aku terbawa emosi. Sungguh, aku baru kemarin baru melihat keadaan Ayah di puskesmas. Luka memar akibat dua pria itu masih bengkak, Ral." Ale tertunduk mengingat keadaan Ayahnya yang masih belum pulih. Dia mengentikan ucapannya sebentar, lalu melanjutkannya lagi dengan berkata, "Mereka itu bodoh Ral!! mereka tak membiarkan Ayahku baik-baik saja. Kalau mereka membiarkan Ayahku sehat, Ayahku juga akan berusaha mengumpulkan hutang itu 'kan." Kini Ale mulai menatap nanar kenyataan yang ada.
Dilihatnya sebuah tangan sudah berada di pundaknya. Itu tangan Gerald. Dia mengusap pundak Ale, berharap dapat mengurangi rasa emosi dan kesedihannya sekaligus.
"Aku mengerti perasaanmu. Sekarang kau boleh menangis, oke?"
Gerald memberikan Ale waktu untuk menangis. Setidaknya Gerald benar, air mata Ale jatuh tanpa seizinnya. Setelah cukup kuat, Ale kembali berbincang dengan Gerald.
"Terimakasih, Ral. Sekarang aku sudah agak mendingan," serunya sambil membenahi rambutnya yang sedikit berantakan.
"Syukurlah, aku percaya kau bisa, Za." Hanya gumaman yang dibalas Ale.
"Eumhh, Za.. kalau boleh aku bertanya, berapa nominal uang yang kau butuhkan?" Sebenarnya Ale ragu untuk mengatakanya pada Gerald tapi, bukankah Ale sudah menganggapnya seperti saudara sendiri? Lalu, untuk apa Ale menyembunyikannya? Diberanikannya diri untuk menjawab pertanyaan Gerald.
"Tiga," ucap Ale tanggung.
"Tiga ratus ribu, tiga ju--" Gerald terus menerka-nerka hingga Ale menghentikan ucapannya dalam detik selanjutnya.
"Tiga puluh juta, Ral."
Terkejut dan syok. Itulah dua kata yang menggambarkan ekspresi Gerald sekarang. Biar bagaimana pun, Ale juga seperti dirinya saat pertama kali mendapat penjelasan dari Ibunya.
"It-u.. itu banyak sekali, Za." Gerald menelan ludahnya pertanda berat mengatakannya.
"Aku tau, Ral. Oleh sebab itu, sekarang aku sedang berjuang. Doakan aku ya?" ucap Ale, meminta doa pada Gerald.
"Tentu, Za! Aku akan mendoakan dan membantumu semampuku." Melihat dirinya menyemangati Ale, Ale juga jadi semangat.
"Terimakasih banyak, Ral.. aku.. aku--" Ucapan Ale tergantung, bukan tanpa sebab, Gerald langsung memotongnya.
"Sudah hentikan, Za. Kita kini sudah seperti saudara bukan? Jadi, aku harus selalu di sampingmu. Percayalah! Aku akan menjadi teman berjuangmu. Kita akan berjuang bersama."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is My Shinning Angel
General FictionBerawal dari kehidupan keluarga yang terlilit hutang, Aleza Davina minggat dari rumah. Pergi dengan membawa segala berkas beserta baju yang pas-pasan, ia berniat memulai hidup baru. Bertemu dengan Maxime Geodeva yang memiliki wajah tampan, nan dingi...